Salah satu misi besar yang kerap didengungkan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab (saya singkat dengan MQS) adalah membumikan al-Qur’an dalam lingkup kehidupan masyarakat. Mengapa itu disuarakan? tak lain upaya wujud dari tanggung jawab moral dan intelektualnya sebagai tokoh yang dalam detukan nafas hidupnya ia gunakan mengkaji dan mengajarkan al-Qur’an, bahkan tak berlebihan mufassir yang paling berpengaruh (meskipun tak mau disebut sebagai mufassir) di Indonesia dalam pengembangan kajian tafsir di Indonesia adalah buah dari pikiran-pikirannya.
Baginya membumikan al-Qur’an ini sebuah keharusan, sebab al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia (hudan lin nas). Lantas apa hakikat membumikan al-Qur’an bagi MQS? Beliau mengantar nalar kita pada suatu keyakinan bahwa al-Qur’an diyakini bersumber dari Allah, keyakinan ini pun dikalangan umat Islam Allah dilukiskan yang di atas. Itu berarti al-Qur’an bersumber dari atas. Namun, untuk mengembalikan misi al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk) maka al-Qur’an tak boleh selalu mengada di atas, melainkan al-Qur’an dihadirkan pada setiap peradaban, budaya dan liku kehidupan manusia.
Dengan membumikan al-Qur’an, ia seolah bicara dan menyapa umat manusia sehingga terasa sentuhan pesan nilai kemanusiannya, mendekap nilai kesetaraannya dan nilai nilai keragamannya. Keinginan itu, maka teks al-Qur’an mesti dipahami setiap kandungannya, teks al-Qur’an bergandengan dengan semangat zaman dan kondisi sosial-kebudayaan masyarakat. Bahkan beliau menilai kesalahan manusia mengkaji al-Qur’an, karena ia melepaskan konteks dalam setiap penafsirannya. Alasan ini tersirat pesan bahwa al-Qur’an itu shalih likulli zaman wa makan (al-Qur’an terus bergandengan dengan semangat zaman dan kondisi sosial).
Namun, untuk menghindari kesalahpahaman perlu ditekankan bahwa membumikan al-Qur’an bukanlah untuk menyeragamkan pandangan paham keagamaan, justru dengan masyarakat yang begitu beragam, hamparan bumi begitu luas maka cara membumikannya pun akan berbeda beda. Tak ada yang menjadi penyebab kecuali cara yang berbeda dalam memahami dan menafsirkan setiap teks al-Qur’an.
Alasannya didasarkan karena memang al-Qur’an membuka ruang bagi setiap mufassir untuk melihat sisi moral al-Qur’an dari berbagai aspek. Prinsip demikian, setali dengan ungkapan Syaikh Abdullah Darraz bahwa al-Qur’an itu tak ubahnya intan permata, pada sisi manapun memandangnya ia akan menampilkan pantulan cahaya. Pun memahami dan mengambil pesan al-Qur’an akan selalu memberi ragam pemaknaan disebabkan cara pandang yang digunakan.
Lantas timbul pertanyaan bukankah al-Qur’an dan Islam sudah sempurna, lalu untuk apa dimaknai dengan ragam cara penafsiran? Pertanyaan ini kerap muncul pada segelintir kalangan untuk meragukan tafsiran yang membangun (konstruktif) dan bersifat humanis mereka yang lebih “menuhankan” teks ketimbang misi nilai al-Qur’an.
MQS memulainya dengan penegasan agama sudah sempurna sejak al-Qur’an terakhir diterima oleh Nabi SAW sehingga tak perlu ditambah dan dikurangi. Tapi yang berkembang adalah ilmu agama itu sendiri. Sebab jauh sesudah turunnya al-Qur’an ilmu agama terus berkembang semisal ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu tafsir dan semacamnya.
Pandangan ini, sejatinya ingin mempertegas ada jarak yang berbeda antara agama dengan ilmu agama. Kalau agama pasti benar menurut keyakinan setiap pemeluknya (umat Islam), tapi ilmu agama bisa jadi salah bisa juga benar. Sebab agama kebenarannya tak diragukan melalui penjelasan utusannya, sedangkan ilmu agama termasuk dalam hal ini penafsiran bisa jadi benar apalagi salah.
Oleh sebab itu, membumikan al-Qur’an selalu meniscayakan butuh penafsiran yang benar sesuai dengan masa dan tuntunan kehidupan sosial. Itu artinya, apa yang ditafsirkan ulama sebelumnya tetap dihargai sebagai ijtihad, jika tak lagi relevan dengan sesuai zaman sejatinya bukan tafsirannya yang salah melainkan kondisi yang menuntut untuk menyegarkan kembali penafsiran.