Cara Memaknai Ibadah Kurban

Cara Memaknai Ibadah Kurban

Cara Memaknai Ibadah Kurban

Ibadah kurban merupakan ibadah yang sangat unik. Selain berdimensi ibadah mahdhah berupa ketaatan murni kepada Allah Swt dalam bentuk menyembelih hewan, kurban juga mempunyai dimensi sosial yang tidak kalah pentingnya. Seorang yang berkurban hendaknya menghayati betul setiap rahasia dan hikmah yang terkandung dibalik pensyariatan ibadah tersebut terhadap manusia.

Betapa beruntungnya manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya-sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah al-Tin ayat ke-4-, dikaruniai akal serta kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan –sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Isra’ ayat ke-70-, namun sayang banyak di antara mereka yang tidak mensyukuri nikmat kemanusiannya.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam penjelasannya terhadap Kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazāli, Maraqi al-‘Ubudiyyah, menerangkan bahwa di dalam diri manusia terdapat empat sifat yang selalu bergejolak dan berperang antar satu sama lain.

Keempat sifat tersebut adalah sifat al-sabu’iyyah (sifat binatang buas), sifat al-bahimiyyah (sifat hewan/ternak), sifat al-syaithaniyyah (sifat setan), dan sifat al-rabbaniyyah (sifat ketuhanan/bijaksana).

Sifat binatang buas terepresentasikan dalam syahwat manusia yang sering diperturutkan demi meraih keinginan. Sifat binatang tercermin dari cara marah manusia yang terkadang tidak terkendali. Sifat setan yang selalu mendorong munculnya syahwat dan marah di hati manusia. Serta sifat ketuhanan berupa akal yang bisa menimbang antara hal baik dan yang buruk.

Ketika tiga sifat pertama menguasai diri seorang manusia, atau dalam kata lain hatinya dipenuhi oleh syahwat yang berlebihan, sifat marah yang tidak terkendali serta sifat setan yang selalu mendorong hawa nafsunya untuk berbuat yang tidak baik, maka ketika itulah manusia jatuh dari derajat kemanusiaannya.

Pada saat itu, manusia berada pada derjat yang paling rendah di antara makhluk lainnya sebagaimana Firman Allah Swt pada ayat ke-6 dari Surah al-Tīn, “Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya”. Serta tidak jarang di antara mereka yang malah lebih rendah dari hewan atau binatang yang paling hina sekalipun sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-179 dari Surah al-A’rāf, “Mereka (tidak ubahnya) seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi”.

Namun manakala sifat keempat lebih mendominasi hati seorang manusia, akalnya difungsikan untuk membedakan antara hal-hal yang positif dan yang negatif dalam kehidupannya, maka ketika itulah manusia mencapai hakikat kemanusiaannya. Pada saat itu ia telah membuktikan bahwa dirinya adalah makhluk terbaik dari semua makhluk yang ada. Ia telah membuktikan kebenaran makna ayat ke-4 Surah al-Tin, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” dan ayat ke-70 Surah al-Isra’, “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.

Hal inilah salah satu di antara sekian banyak hikmah yang kerap kali terlupakan oleh hampir sebagian besar orang yang berkurban. Berkurban hanya dimaknai sebagai sebuah serimonial belaka yang hampa nilai dan substansi, sehingga wajar ibadah ini tidak memberikan bekas apa pun terhadap mereka karena tidak memahami rahasianya.

Allah Swt telah menciptakan hewan dan seluruh binatang melata di muka bumi seperti kuda, keledai, dan binatang-binatang lainnya –sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Nahl ayat ke-8- agar ditunggangi dan dikuasai oleh manusia untuk mempermudah pekerjaan mereka, namun entah kenapa pada saat ini malahan manusialah yang ditunggangi oleh sifat-sifat negatif hewan atau binatang tersebut.

Betapa banyak kekerasan terjadi di negeri ini, orang yang kuat menjajah mereka yang lemah. Betapa banyak kasus-kasus pemerasan dan bahkan pembunuhan menghiasi keseharian kita. Dan betapa banyak kasus-kasus korupsi melanda hampir sebagian besar kalangan elit politik di Negara ini, padahal di sisi lain sebenarnya mereka tahu dan melihat langsung masih banyak anak yatim yang terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita yang menderita busung lapar, banyak rumah Allah yang roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang yang mengais-ngais sampah demi sesuap nasi, serta banyak rumah yatim serta bangunan pesantren yang terbengkalai di tengah-tengah mereka. Namun semuanya dipandang sebelah mata akibat sifat binatang yang belum disembelih dalam jiwa dan hati mereka.

Wajar kiranya –sebagaimana dikutip juga oleh Ali Mustafa Yaqub dalam salah satu bukunya- sementara ahli hikmah memaknai penyembelihan hewan kurban itu dengan penyembelihan sifat-sifat kebinatangan yang terselip di dalam jiwa manusia seperti rakus, tamak, loba dan lain sebagainya. Selama sifat-sifat tersebut masih bercokol dalam hati mereka, maka selama itu juga manusia akan jauh dari hakikat kemanusiaannya.

Sebagai penutup dari tulisan sederhana ini, penulis ingin mengutip sebuah kisah kurban yang pertama kali terjadi di permukaan bumi yang melibatkan dua anak Nabi Adam AS yaitu Habil dan Qabil. Kisah ini diceritakan secara detail oleh al-Qur’an dalam Surah al-Maidah ayat ke-27 sampai dengan 31.

Keduanya sama-sama berkurban dan sama-sama berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan kurbannya diterima. Namun karena hilangnya substansi kurban dari seorang Qabil yang mengorbankan sesuatu yang tidak sempurna dan yang tidak dia sukai, maka kurbannya pun ditolak. Sementara kurban Habil yang dia persiapkan dengan sebaik mungkin akhirnya diterima oleh Allah Swt.

Inti dari cerita tersebut adalah berkurban pada zaman sekarang tidak hanya menghendaki formalitas atau seremonial semata. Dalam arti kata pengorbanan yang kita laksanakan hendaknya memenuhi dua kriteria secara sekaligus. Pertama, harus memenuhi standar sah dan tidaknya menurut hukum syariat (fikih).

Kedua, harus memetik substansi dari ibadah kurban tersebut secara langsung yang nantinya tidak hanya diterapkan pada saat musim kurban semata, namun juga menjadi tradisi dan kebiasaan yang melekat erat di dalam jiwa umat Islam. Seandainya hal ini bisa diwujudkan, maka di sanalah persatuan akan dapat dirajut demi kejayaan Islam pada masa-masa yang akan datang.[]

Yunal Isra, aktif di lembaga penelitian hadis El Bukhori Institute dan saat ini turut mengelola media islam bincangsyariah.com