Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balagah menyatakan, “Al-Qur’an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan oleh manusia.”
Perbedaan pemahaman ayat al-Qur’an selalu terjadi setiap masa karena al-Qur’an adalah “teks terbuka”. Karena hal itu, kemudian muncullah truth claim dari individu atau golongan terhadap pemahaman mereka. Bahkan ada beberapa golongan yang mengaku paling benar pemahamannya hanya dengan bermodal terjemahan al-Qur’an.
Perbedaan pemahaman itulah yang kemudian menyebabkan munculnya berbagai golongan dan aliran dalam memaknai teks al-Qur’an. Bahasa yang digunakan al-Qur’an memang merupakan bahasa manusia, khususnya bahasa Arab. Namun, karena suatu bahasa merupakan kesepakatan-kesepakatan, maka pemaknaannya akan mengalami perubahan ketika kesepakatan-kesepakatan tersebut berubah.
Perubahan pemaknaan yang dimaksud meliputi perluasan, penyempitan, membaik, memburuk, asosiasi, serta sinestesia. Dan hal itu tak bisa terlepas dari aspek sosial budaya.
Oleh karena itu, al-Qur’an meniscayakan pemaknaan yang relevan dengan kondisi ruang dan zamannya, terutama pada ayat-ayat yang memang perlu penafsiran mendalam. Sebelum itu, pemaknaan terhadap al-Qur’an juga mesti memerhatikan konteks turunnya. Dari sini, kita tahu bahwa tak mungkin pemaknaan terhadap suatu ayat dapat kita peroleh dengan mengesampingkan hal-hal yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Memang tak semua ayat memiliki asbabun nuzul spesifik. Namun, sebenarnya ayat yang tak memiliki asbabun nuzul itu juga tak bisa sepenuhnya lepas dari kenyataan bahwa al-Qur’an turun di suatu tempat (masyarakat Arab) dan pada kurun waktu tertentu. Jelaslah kemudian lafal yang digunakan al-Qur’an pun merupakan lafal-lafal yang mewakili ide/gagasan (makna) yang berlaku di masyarakat pada masa itu. Jadi, ada relasi antara lafal dan makna.
Untuk memahami bagaimana relasi antara lafal dan makna, Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) menjadi salah satu tokoh yang patut kita rujuk. Menurut Al-Jurjani, hubungan antara lafal dan makna ibarat wadah (tempat) dengan isinya. Sehingga suatu wadah bisa diisi dengan berbagai isi, asalkan isi itu cocok. Batasan cocok atau tidak itulah yang hanya bisa digali dengan memerhatikan konteks munculnya suatu bahasa, dalam hal ini ialah masa turunnya al-Qur’an.
Misalnya, ketika dalam suatu ayat ada lafal “A”, maka kita harus melihat seperti apa sebenarnya lafal “A” itu digunakan pada masa turunnya ayat itu. Karena kenyataannya pemaknaan terhadap suatu kata (lafal) pun mengalami pergeseran. Karena itu, niscaya bagi kita untuk memerhatikan aspek-aspek di balik lafal sebelum mencoba memaknainya.
Menurut al-Jurjani, antara lafal dan makna tak memiliki ikatan yang pasti, karena suatu lafal sekadar sebagai penanda makna. Menurutnya, bahkan suatu lafal bisa berarti haqiqi (denotasi), bisa juga majazi (konotasi). Jadi, lafal “A” tak serta-merta selalu bisa kita artikan bahwa lafal itu menunjukkan makna “A”. Sebab, bisa jadi suatu waktu lafal itu diperuntukkan sebagai majaz sehingga makna yang dikehendaki bukanlah “A”, tetapi “B”, “C”, atau “D”.
Cara pandang terhadap pemaknaan teks semacam ini semakin terasa penting pada masa kini, misalnya ketika kita dihebohkan dengan surat al-Maa’idah [5]: 51. Apabila kita bersedia untuk menelisik seperti apa sebenarnya konteks ayat itu turun, tentu Indonesia tak akan sampai geger.
Sayangnya, kini malah semakin banyak bermunculan golongan yang bahkan hanya bermodal terjemahan al-Qur’an sudah berani merumuskan suatu hukum. Padahal, terjemahan sama sekali tak bisa mewakili keseluruhan kandungan suatu ayat.
Dalam kasus surat al-Ma’idah [5]: 51, jika kita berkenan mengorek sejarah turunnya, kita akan menemui bahwa ayat tersebut turun pada suatu kejadian, yakni saat situasi perang antara umat Islam dan ahlul kitab. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam menjalin persekutuan, persekongkolan, atau afiliasi dengan mereka. Hal itu karena dalam situasi perang, orang yang bersekutu dengan musuh jelas akan menjadi musuh dalam selimut dan berpotensi menghancurkan Islam dari dalam.
Dalam ayat tersebut memang ada lafal (أولياء) yang secara tekstual bisa dimaknai “pemimpin”, namun nyatanya ketika kita perhatikan konteks turunnya ayat, lafal itu menjadi tak cocok lagi diartikan “pemimpin”. Itulah pentingnya melihat bagaimana suatu lafal pada mulanya diperuntukkan sebelum kita mencoba memahami maknanya.
Hal itu seharusnya menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kita tak bisa sekadar mencukupkan diri dengan berbekal ilmu kebahasaan, atau bahkan malah modal terjemahan, dalam memahami al-Qur’an. Kita juga mesti mengetahui asbabun nuzul ayat, konteks turunnya ayat, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan munculnya (turunnya) suatu ayat.
Ilmu-ilmu lain yang bisa menunjang pun perlu dikuasai, misalnya ilmu sejarah. Karena pada dasarnya, kandungan makna al-Qur’an tak bisa serta-merta kita pahami dengan hanya melihat lafal-lafalnya tanpa memerhatikan konteks lafal-lafal itu.
Dengan demikian, dalam usaha memahami kandungan al-Qur’an, di samping penting untuk menguasai kaidah kebahasaan al-Qur’an, kita juga perlu memerhatikan relasi antara lafal dan makna. Sehingga, kita pun tak tersesat dalam memilih makna suatu lafal.
Wallahu A’lam