Saya kira, kita perlu dan penting untuk segera membuat daftar orang-orang yang kita benci. Tepatnya tak hanya orang sebagai perseorangan, tetapi juga sebagai kelompok, perkumpulan, golongan, etnis sampai ras. Pun juga tak hanya yang dibenci, tetapi juga yang dikucilkan, disepelekan sampai yang dengan sengaja disingkirkan.
Bukan, bukan untuk semakin mempertegas jurang pemisah, memupuk pertikaian atau membuat jarak polarisasi masa semakin jelas. Tetapi, kita perlu membuat daftar orang yang kita benci agar kita tau siapa yang sebenar-benarnya perlu kita ajak silaturahmi. Menukil apa yang disampaikan Kiai Quraish Shihab, bahwa silaturahmi adalah menyambung, kalau menyambung berarti sebelumnya terputus, sehingga saudara-saudara kita yang terputus atau sengaja diputus hubungan dengan kita, itulah sasaran silaturahmi yang utama.
Gus Dur sering kali menutup beberapa tulisannya dengan kalimat “mudah untuk dikatakan tapi sulit untuk dilakukan”. Saya kira hal itu juga terjadi perihal menyambung silaturahmi, terlebih pada orang-orang yang sengaja kita putus jalinan silaturahminya. Setidaknya perlu jiwa kesatria untuk berani memulai pembicaraan, terlebih pada mereka yang sengaja kita benci.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Beri Jalan Orang Cina” Gus Dur memaparkan dengan jelas runtutan hal-hal buruk yang diterima etnis Tionghoa di Indonesia dari dulu sampai sekarang. Banyak saudara kita yang beretnis Tionghoa sulit mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain. Banyak ditemui di berbagai daerah, orang-orang sangat enteng menghina etnis Tionghoa, padahal mereka sebenarnya tak memiliki masalah khusus dengan etnis Tionghoa, biasanya malah olok-olok itu termasuk olokan turun-temurun. Jadi, mereka tak punya masalah secara pribadi, tetapi melihat para orang yang lebih tua mengolok-olok etnis Tionghoa, mereka ikut-ikut kesal, seperti olokan “Cino medit”/Cina pelit.
Dalam tulisan itu, Gus Dur hanya fokus ke persoalan etnis Tionghoa, saya kira ini adalah bentuk respon pada hal yang paling dibenci saat tulisan itu dibuat, sekitar tahun 1990. Tatanan sosial saat itu membuat kehidupan orang Tionghoa menjadi sangat serba salah, apalagi dengan afirmasi dari pemerintah bahwa Tionghoa memang bangsat!. Kita dengan mudah saja dan secara serampangan mengatakan Cina pelit, Cina PKI sampai Cina atheis. Apakah saat 1990 yang dibenci hanya orang Tionghoa? Tentu tidak, kelompok PKI dan atheis pun sama dibencinya. Sehingga saya kira, kita bisa gunakan kaca mata melihat etnis Tionghoa ini sebagai alat untuk melihat kelompok-kelompok lain yang sama-sama termarjinalkan.
Dalam tulisan itu, Gus Dur menawarkan sebuah alternatif untuk kita bersikap kepada orang etnis Tionghoa, yakni memberikan akses yang sama seperti warna negara yang lain. Disampaikan dengan kalimat yang sederhana, jelas dan tegas “kalau sekarang ada tiga orang Arab menjadi menteri, tanpa ada pertanyaan atau kaitan apa pun dengan asal-usul etnis atau rasial mereka, hal yang sama juga harus diberlakukan bagi orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatas apa pun”.
Akses menjadi sebuah kunci dalam mewujudkan kehidupan yang adil di negeri ini. Bagaimana telah kita temui di banyak sekmen kehidupan kita bersama, bahwa ketidakadilan diawali karena tertutupnya akses oleh mereka yang tertindas. Semisal oleh mereka yang diperlakukan tidak adil dalam proses pembangunan sebuah daerah, mereka tertutup akses untuk berbicara, membela pendapat dan hak menolak. Mereka yang diperlakukan tidak adil dalam pendidikan dikarenakan ada orang yang menutup akses pada setiap orang untuk mendapat pendidikan yang sama baiknya, semisal dengan memberikan harga yang sangat mahal pada pendidikan yang dianggap bagus, sehingga orang miskin tertutup akses untuk mendapat pendidikan yang baik. Mereka yang diperlakukan tidak adil dalam mencari kerja, mereka ditutup akses bukan karena kualitas yang buruk, terlebih-lebih karena latar belakang etnis mereka. Ini ada, dan banyak terjadi di mana-mana.
Kembali ke etnis Tionghoa, kalau saat itu, kita membenci etnis Tionghoa dan tak membenci etnis Arab, beranikah kita memberikan akses yang sama pada orang Tionghoa seperti orang Arab dalam menitih hidupnya di negeri majemuk ini dengan adil dan setara?
Pada waktu itu, kasusnya adalah etnis Tionghoa, namun dalam konteks hari ini, mungkin akan berbeda lagi. Membuka silaturahmi lalu berdialog dan berdiskusi adalah titik awal yang perlu kita lakukan untuk tidak hidup dalam kubangan prasangka. Sehingga perasaan dan pikiran tak hanya berisi asumsi dan opini tanpa bukti. Padahal Islam mengajarkan untuk terus bersilaturrahim kepada siapapun, termasuk kepada musuh kita. Wallahu A’lam.
M. Bakhru Tohir, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.