Masyarakat Indonesia kini telah akrab dengan teknologi. Baik kaum urban maupun desa, semuanya bisa mengakses internet tanpa kendala. Bermodal gawai dan kuota yang dijajakan di banyak tempat, masyarakat bisa berselancar sepuasnya di jagat maya.
Maka jangan heran ketika kita mampir di angkringan pinggir jalan, lalu diajak penjualnya untuk berdiskusi seputar isu-isu nasional maupun regional. Jangan heran pula, jika kita melihat anak seusia Sekolah Dasar (SD) sudah lekat dengan gawai, terlebih, dengan adanya fitur game online, semakin membuat anak candu.
Memutus akses anak atas internet bukanlah solusi. Bukankah Ali bin Abi Thalib berwasiat kepada kita supaya mendidik anak sesuai perkembangan zamannya? Begitu juga dengan Kahlil Gibran, yang membuat syair berjudul Hakikat Keturunan, yang berisi tentang hakikat anak yang tak boleh dikekang dengan alasan apapun? Agaknya wasiat menantu Nabi Muhammad Saw. dan penyair Lebanon tersebut perlu kita renungkan.
Sebagai orang dewasa, kita sebenarnya dituntut untuk berlaku bijak, khususnya dalam bermedia. Kita telah sama-sama tahu, bahwa teknologi bisa diakses oleh siapa saja, tak kenal usia. Karenanya, konten-konten yang tersebar di jagat maya juga berpotensi diakses oleh siapapun yang menggunakan internet. Akan baik dampaknya jika konten-konten tersebut menyeru pada kebaikan dan kedamaian, tapi kalau sebaliknya? Tentu akan menjadi bumerang buat kita, dan juga anak-anak yang notabene sebagai generasi masa depan.
Maka dari itu, kita mesti sadar betapa pentingnya kehadiran kita di jagat maya, khususnya berbagai platform media sosial. Kita hadir bukan untuk memperkeruh keadaan, melainkan sebagai duta damai yang siap siaga menjaga kedamaian media sosial.
Tentu kita sama-sama mafhum, potensi bahaya yang menyelinap di balik jubah media sosial. Ada banyak oknum yang cerdik namun picik, menggunakan potensi ini sebagai alat propaganda dan perebutan jabatan politik. Berbagai berita bohong pun diproduksi tiada henti, demi menghancurkan kepercayaan masyarakat atas pihak yang diserangnya. Tak terkecuali kelompok terorisme yang kian canggih, dengan melakukan indoktrinasi melalui media sosial.
Agaknya menarik yang ditawarkan oleh Dr. Amr Khalid (2012), mengenai reaksi kita kepada sesama manusia. Meski ia memaparkan bukan dalam konteks bermedia sosial –melainkan interaksi sosial di masyarakat- tapi tawarannya bisa kita adopsi untuk menebar kedamaian di jagat maya.
Ia memaparkan mengenai bab nasihat dan menasihati. Seorang muslim tentu telah mafhum dengan bab ini, sebagaimana telah diwartakan oleh Rasulullah Saw. dan sesuai dengan perintah Allah Swt. Perintah tersebut termaktub dalam al-Qur’an, surat al-Ashr. Barangkali berpijak dari surat inilah, Amr Khalid menjabarkan langkah konkrit dalam upaya nasihat menasihati dalam kebaikan.
Pertama, meyakini kebenaran nasihat yang disampaikan. Jadi, ucapan kita harus jujur dan benar, sebab orang yang tidak memiliki kejujuran tidak akan mampu memberikan nasehat dengan jujur.
Pada poin ini, kita mesti memiliki pengetahuan yang mumpuni atas suatu hal. Dari pengetahuan itulah, kita bisa menyampaikan nasihat kepada oknum yang menggunakan media sosial sebagai alat pemecahbelah persatuan. Pun, penyampaian nasihat itu perlu disertai dengan kejujuran.
Kita bisa menggunakan ruang ‘status’ di facebook (sebagai salah satu media sosial, bisa digunakan media lain) sebagai alat untuk menyebarkan semangat damai. Dengan bekal pengetahuan kita, misalnya tentang keislaman, kebangsaan, dan pentingnya persatuan-kesatuan.
Kedua, niat tulus dalam memberikan nasihat. Pemberian nasihat bukan untuk tampil di hadapan manusia dan memosisikan diri lebih tinggi daripada orang lain. Sehingga, orang yang kita nasihati bisa menerima tanpa tersinggung.
Ketiga, menasihati tidak di muka umum dan tidak dengan membuka aib orang lain. Orang mukmin memberi nasihat dan menutupi aib, sedangkan orang munafik membuka dan menyebar aib.
Poin ini bisa kita aplikasikan dengan jalan jalur pribadi (japri) kepada akun yang menyebarkan berita bohong atau tak berimbang. Hindari nasihat di depan umum, karena terkadang nasihat di muka umum diterimanya sebagai ancaman dan membuat orang yang dinasihati merasa malu. Terlebih jika itu dilakukan di media sosial; bayangkan akan seperti apa viralnya.
Keempat, menyampaikan nasihat dengan lembut. Kita menasihati, bukan memaksa, karenanya mesti dengan jalan kelembutan. Persoalan orang yang kita nasihati mau atau tidak, itu bisa difikirkan belakangan.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa perkataan yang baik tapi disampaikan dengan cara yang keliru, akan berdampak buruk bagi yang mendengarnya. Begitu juga dalam menasihati orang lain, terutama di media sosial yang rentan. Cara menasihati yang ditawarkan Amr Khalid bisa dijadikan acuan kita untuk mengamalkan amanat surat al-Ashr dalam kaitannya dengan hidup bermedia sosial.