Salah satu problematika umat zaman modern adalah semakin sensitifnya perasaan seseorang sehingga ketika sedikit saja ada topik yang bersentuhan dengannya, ia akan merasa tersindir dan tersinggung. Kita mengenalnya dengan istilah baper, alias bawa perasaan.
Menurut penulis, baper adalah sesuatu yang wajar karena setiap manusia mempunyai kadar perasaan. Yang sedang kita bahas di sini adalah ketika orang terlalu baper, dikit-dikit baper, kesenggol sedikit marah, dibahas sedikit mudah tersinggung, over-sensitive. Nah, perilaku ini dalam istilah psikologi disebut Highly Sensitive Person.
Memang banyak sekali lini dan celah yang berpotensi mengusik ketersinggungan orang. Bisa jadi lewat lewat obrolan langsung di warung kopi, bisa lewat media sosial, atau bahkan lewat tulisan di mana saja yang sebenarnya bukan ditujukan untuk dia, namun karena ia terlanjur sensitif, perasaannya langsung meledak-ledak.
Banyak kasus-kasus baperan yang terjadi baru-baru ini, seperti misalnya kasus humor Gus Dur yang dikutip seseorang dan diunggah di medsos, lalu ada satu orang polisi sensitif yang terbawa perasaan kemudian menyeret pengunggah itu ke ranah hukum. Itu hanya satu dari banyaknya kasus sensitivitas perasaan seseorang yang kebangetan yang muncul bersamaan dengan era digital.
Sifat baper di satu sisi cenderung mengarahkan seseorang kepada kemarahan, baik itu kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Padahal salah satu wasiat yang pernah Nabi Muhammad sampaikan pada umatnya adalah untuk menahan amarah. Konteks hadisnya berangkat dari seorang lelaki yang meminta wasiat kepada Nabi, kemudian Nabi menjawab, “janganlah engkau marah”. Bahkan ketika lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, Nabi tetap menjawab, “janganlah engkau marah”. (HR. Bukhari: No. 6116)
Untuk mengatasi sifat-sifat over-sensitive yang mungkin sering terjadi pada diri kita sendiri ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, jika kita merasa baperan tentang apapun terhadap diri kita, sepertinya kita harus mulai memahami lebih dalam apa hal-hal penting dan tujuan utama di hidup kita, dan ini berproses.
Jika kita sudah mulai menyadari dan memahami, maka omongan-omongan dan kritik yang berkaitan dengan hal tersebutlah yang seharusnya kita pedulikan, sisanya hanyalah keributan yang tidak berarti dan tidak penting untuk diambil hati. Justru ia malah merusak nilai dan tujuan hidup kita.
Kedua, kunci untuk orang yang sangat sensitif adalah dengan menganggapnya sebagai sebuah kelebihan. Contohnya, lagi-lagi, jika kita sering merasa tersindir akan sesuatu, sering tersinggung dan terbawa perasaan, maka anggaplah seakan-akan perasaan itu sebagai sesuatu yang menguntungkan. Artinya, kita bisa mengambil keuntungan dari perasaan tersebut dengan bermodal feeling dan kepekaan yang lebih baik dari pada orang lain.
Ya, benar. Sifat baperan ini membawa karakteristik lain yang sebenarnya bisa kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kepekaan yang lebih tajam. Jika kita merasa tersinggung dan tersindir, kita bisa menggunakannya untuk instropeksi diri. Jika sebuah omongan atau kritikan datang kepada kita lalu muncul perasaan tersinggung, maka bisa jadi ada sesuatu yang salah terhadap diri kita. “Kenapa ya, omongan seperti itu bisa muncul?”
Kita coba aplikasikan kepada oknum polisi yang diceritakan di atas. Jika candaan Gus Dur tersebut rupanya menyinggung oknum polisi terkait, maka sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam dirinya atau objek yang disasar dalam candaan tersebut. Oknum polisi itu seharusnya membenahi diri untuk menjadi pribadi yang baik, yang nantinya juga bahkan mampu mengangkat citra kepolisian menjadi lebih baik lagi. Bukan malah berlaku sebaliknya.
Banyak sebenarnya omongan-omongan orang yang bisa menjadi obat kekurangan diri kita, namun karena kita sudah sensi duluan, maka yang muncul hanyalah rasa dongkol dan marah kepada orang yang mengucapkan omongan itu. Sayang sekali, momen instropeksi berharga itu lewat begitu saja.
Namun, jika kita merasakan sensitivitas yang sebaliknya, yaitu ketidakpekaan perasaan, justru malah berbahaya. Kita juga tetap tidak mampu mengidentifikasi diri dan melakukan pembenahan. Nasihat yang muncul selalu ditampik dengan dalih “Bodo amat apa kata orang!”.
Sah saja berpegang pada “Bodo amat apa kata orang”. Namun jangan lupa, letakkan itu sebagai upaya memfilter omongan orang yang berkaitan dengan kehidupan kita. Mana omongan yang membangun dan mana yang merusak.
Dampak hilangnya rasa peka itu dapat menimbulkan rasa egois dan tidak peduli dalam diri kita terhadap sekitar. Bukankah itu lebih berbahaya, karena keberadaan diri kita pasti menyangkut orang lain juga. Padahal kalau kita peka, kita bisa mengatasi masalah-masalah kehidupan tersebut lebih awal karena kita lebih aware dan sadar. Sehingga hubungan kita kepada orang lain menjadi lebih baik.
Sepertinya, itulah hikmah Allah menganugerahkan akal pikiran dan hati kepada manusia. Allah menginginkan kombinasi yang baik antara keduanya. Baper memang manusiawi karena kita memiliki hati, namun jangan lupa untuk tetap dalam batas wajar dan rasional karena kita juga mempunyai akal pikiran. Tidak ada yang lebih superior, keduanya mempunyai kapabilitas yang dijamin Allah dalam masing-masing bidangnya. Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mengutuk seseorang yang hanya menggunakan salah satu dari keduanya. Toh jika terlalu mengabaikan akal sehat, nanti bisa capek sendiri.
Baper boleh, tapi jangan baperan. Cinta boleh tapi jangan kebablasan. Kerja keras boleh tapi jangan lupa batasan diri. Beribadah tekun bagus, tapi tentu jangan berlebihan. Semua ada kadarnya, semua ada porsinya.
Wallahu a’lam bisshawab..