Calon Istri Berhak Mengajukan Syarat untuk Tidak Dipoligami

Calon Istri Berhak Mengajukan Syarat untuk Tidak Dipoligami

Perempuan ternyata boleh memberikan syarat kepada calon suami sebelum menikah, seperti tidak dipoligami

Calon Istri Berhak Mengajukan Syarat untuk Tidak Dipoligami

Jika Anda pernah membaca buku dan menonton film Ketika Cinta Bertasbih, Anda tidak akan asing dengan syarat Anna Althafunnisa yang diperankan oleh Oki Setiana Dewi, kepada calon suaminya, Furkon (Andi Arsyil Alam). Salah satu syarat tersebut adalah Anna tidak ingin dipoligami oleh Furkon.

Walaupun syarat ini awalnya ditolak oleh Furkon dan keluarganya, namun akhirnya mereka bersepakat untuk menerima setelah perdebatan panjang dan setelah Anna menyodorkan kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah. Selengkapnya, Anda bisa telaah kembali film Ketika Cinta Bertasbih volume pertama, hehehe.

Pendapat yang disebutkan Anna dalam kitab al-Mughni tersebut memang diafirmasi oleh sebagian besar ahli fikih. Bahkan Umar bin Khattab pun menganjurkan kepada para perempuan yang ingin menjadi calon istri untuk membuat syarat kepada calon suami. Hal ini disebutkan oleh K.H Husein Muhammad saat pengajian di pesantrennya.

“Ini lompatan betul, ya,” tutur Kiai Husein ketika menjelaskan bagaimana majunya pemikiran Umar terkait hak-hak untuk perempuan yang sangat berbeda jauh dengan tradisi Arab pra-Islam, yang juga pernah dirasakan langsung oleh Umar bin Khattab.

Di antara contoh syarat yang bisa diajukan oleh calon istri kepada calon suami adalah sebagaimana dua syarat yang diajukan oleh Anna kepada Furkon dalam cerita film di atas, yaitu calon suami tidak diperkenankan untuk menikah lagi (poligami) selama istri masih hidup, dan kedua, istri tetap tinggal di lingkungan sekitar desannya dan tidak boleh dibawa pergi dari desanya oleh suami.

“Misalnya, calon suami diberi syarat tidak akan menikah lagi  selama perempuan calon istri masih hidup, syarat lain misalnya, saya tidak mau diajak pergi dari desa saya (au la yanquluha min baladiha),” terang Buya Husein, panggilan akrabnya.

Di antara para ulama yang menyepakati syarat seperti ini sebagai bagian dari sahnya pernikahan adalah Imam al-Auzai dan az-zuhri. Hal ini bukan tanpa dasar. Hak perempuan untuk mengajukan syarat sebagaimana yang disebutkan di atas didasarkan pada sebuah hadis dari sahabat Uqbah bin Amir.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

Dari Uqbah bin Amir, berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya syarat-syarat yang sebenar-benarnya adalah ketika syarat tersebut ditepati dapat menjadi sahnya pernikahan.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi hadis, di antaranya, Imam Ahmad dalam Musnad al-Risalah, Imam an-Nasai dalam Sunan an-Nasai, Imam ad-Darimi, Imam Abu Dawud, dan beberapa perawi hadis yang lain. Bahkan dalam Sunan an-Nasai, hadis ini dimasukkan dalam bab as-syuruth fin nikah.

Imam an-Nawawi mengutip kaul Imam as-Syafii menjelaskan bahwa yang dimaksud syarat dalam hal ini adalah syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan, yaitu mu’asyarah bil ma’ruf, memberi nafkah dan hak bagi masing-masing suami atau istri. Jika bertentangan dengan konsep tersebut, maka syarat yang diajukan tidak perlu ditepati, bahkan secara otomatis syarat tersebut batal dengan sendirinya. (AN)

Wallahu a’lam.