Selain gagasan, yang juga mengagumkan dari almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah perilakunya. Cak Nur menjelma sebagai seorang intelektual yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam dirinya. Dia menjalani Islam secara kaffah dalam arti tak sekadar mengikuti perintah iqra (membaca) tapi juga meneladani Nabi saw. dalam hal perangai (Aku [Nabi saw.] diutus untuk menyempurnakan akhlak [HR. Muslim]).
Cak Nur menjadi teladan bukan hanya dalam hal gagasan, melainkan juga perilaku. Salah satu perilaku penting Cak Nur adalah sikapnya yang antikorupsi. Mengingat tinggalan Cak Nur yang satu ini menjadi penting karena dengan begitu kita bisa melihat dan meneladani beliau dalam hal yang paling penting bagi bangsa ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia masih terpuruk dalam hal korupsi. Pada 2017 Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Indonesia belum beranjak banyak dalam hal ini. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun masih sering mengumumkan operasi tangkap tangan para pejabat. Terlepas dari perdebatan soal efektivitas pemberantasan korupsi, tapi perilaku Cak Nur yang terbukti tak pernah korupsi maupun anjurannya tentang bahaya korupsi ini sangat relevan bagi kita saat ini.
Dalam salah satu tulisannya, Cak Nur menulis, “Tekad memberantas korupsi dan keteguhan hati sendiri untuk tidak korup adalah problem etika. Sebab di dalamnya tersirat proses mencari dan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.”
Tidak ada perdebatan soal sedikit atau banyak dalam korupsi. Korupsi tetap dinilai sebagai korupsi, meskipun uang yang dikutil hitungannya receh. Korupsi ini bisa diibaratkan sebagai khamr. Sedikitnya saja haram, apatah lagi banyaknya.
Cak Nur sendiri memang pernah diamanahi memegang jabatan publik. Beliau terpilih menjadi anggota MPR-RI selama dua kali, yaitu 1987-1992 dan 1992-1997. Selain itu, beliau juga menjadi anggota Komnas HAM 1993-2005. Ini jabatan publik dan beliau lolos dari jebakan korupsi, dan tidak pernah terdengar apatah lagi terbukti menjadi tersangka korupsi. Rekam jejak Cak Nur menjadi bukti bahwa dia seorang tepercaya.
Mungkin karena dikenal sebagai tokoh yang bersih dan lurus inilah banyak orang tak sungkan untuk mau membantunya. Karena mereka percaya bahwa dana yang mereka berikan kepadanya akan diberikan dan disalurkan untuk dakwah dan penyebarluasan gagasan-gagasannya. Bukan untuk kepentingan pribadinya. Berangkat dari sini, Cak Nur bisa membuat banyak orang sadar bahwa Islam yang Cak Nur dakwahkan adalah Islam yang terbuka, modern, memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi, dan optimis.
Tak terbayangkan bila Cak Nur pernah terlibat dalam korupsi. Tentu gerakan yang beliau bikin takkan besar. Kata Cak Nur, “Efek paling buruk meningkatnya korupsi ialah menyebarnya sikap sinis dalam kalangan masyarakat luas…” Tapi tidak, Cak Nur tidak korupsi. Karena itu, gerakan yang dia bikin ini terbukti telah mewarnai bangsa.
Satu waktu, antara 2002-2003, saat Cak Nur mengisi ceramah umum di kampus UIN Jakarta, saya berkomentar kepada teman, “Itu beneran mobil Cak Nur?” Mungkin terlihat remeh dan materialistik, tapi saat itu saya membandingkan mobil yang Cak Nur tumpangi dengan mobil mewah para tamu dan pejabat yang hadir; yang “kelas” mereka tentu di bawah Cak Nur. Tapi, saat bersalaman dan akhir acara, yang disalami dan dikerubuti tetap Cak Nur, bukan para pejabat atau tamu undangan lainnya. Saya lupa persisnya apa mobil Cak Nur, tapi jenis suv, bukan mobil mewah.
Lalu, bagaimana memberantas korupsi? Dalam tulisannya, Cak Nur mengutip Gunnar Myrdal, ahli ekonomi Swedia dan pemenang Nobel, bahwa ada dua langkah untuk memberantas korupsi ini. Pertama, kemauan politik yang kuat dan kedua keteladanan pemimpin.
Poin yang pertama harus muncul dari negara. Negara harus hadir dalam artian sebenarnya untuk isu-isu pemberantasan korupsi. Yang paling minimal adalah perlindungan harus diberikan kepada para garda terdepan mereka yang memberantas korupsi, seperti kepada Novel Baswedan. Tentu saja, mereka ini pemberani. Tapi, keberanian saja tidak cukup untuk bisa menghentikan laju korupsi di negeri ini. Diperlukan sistem dan kemauan politik dari pemimpin.
Sementara itu,poin kedua menjadi penting karena keteladanan pemimpin bukan hanya dipraktikkan oleh negara. Ini sangat bisa dilakukan dan harus dilakukan oleh para pemimpin di segala bidang, di semua sektor. Jika pemimpin terbukti korpsi, bagaimana bisa menangguk simpati dari publik dan apatah lagi menggaungkan gagasan-gagasan.
Dalam hal Cak Nur, beliau telah berhasil melewati ujiannya. Beliau telah menunjukkan keteladanannya sebagai tokoh yang antikorupsi. Karena itulah, Cak Nur sangat tepat dan layak disebut sebagai guru bangsa.