“Lèlès” (vokal e dibaca seperti pada “Menteng”) artinya memunguti apa-apa yang tercecer untuk diambil manfaatnya atau dirawat.
“Nggathilut” artinya kenyamanan yang diperoleh tanpa susah-payah.
Saya ini kyai nggathilut. Begitu ayah saya meninggal, orang langsung mengkyaikan saya tanpa fit and proper test. Gus Dur memcomot dan menggelandang saya ke Jakarta hanya karena saya ini keponakan temannya dan teman keponakannya. Kemudian hanya karena reputasi saya sebagai mantannya Gus Dur (mantan jubir, mantan ini dan mantan itu) pemimpin NU memasukkan saya dalam jajaran kepengurusan begitu saja.
Saya menikmati kedudukan, otoritas, previlege dan pengaruh publik secara instan tanpa ikhtiar, bahkan tanpa terlebih dahulu berusaha menjadi pintar ataupun terampil. Saya pun tak perlu mencari-cari pengikut, karena dimana-mana ada saja orang yang siap menjadi pengikut saya, atas nama Gus Dur, NU atau status kekyaian saya. Bikinlah panggung dan biarkan saya naik keatasnya. Begitu sound system dihidupkan, orang-orang siap menyimak apa saja yang saya omong-kosongkan.
Yang begitu itu, apa namanya kalau bukan nggathilut?
Tapi ada kyai seperti almarhum Mbah Sungeb di Kragan. Beliau telah menginvestasikan seluruh masa muda lunas-tuntas tanpa sisa untuk ngaji dan tirakat. Seandainya beliau mau, bisa saja beliau menyuwuk atau mengikuk madu dengan hasil produk yang pasti jauh lebih berkualitas ketimbang yang sekarang ini diperdagangkan. Seandainya beliau mau membuka kitab di rumahnya sendiri dan membacanya dengan mengeraskan suara walaupun tanpa panggung dan tanpa sound system, pasti orang-orang yang ngebet pada ilmu akan berduyun-duyun datang bersimpuh dibawah dulinya.
Tapi Mbah Sungeb memilih keluyuran di lokalisasi pelacuran di pinggiran Rembang. Nongkrong berjam-jam di warung-warung mesum. Bergaul dengan orang-orang yang tidak tahu dan tidak perduli dengan keluhuran maqomnya.
Mbah Sungeb memilih mendatangi orang-orang yang tak akan mau mendatangi ataupun mendengarkan kyai mana pun dan kyai mana pun akan merasa tak pantas mendatangi mereka karena kehinaan maqom mereka. Orang-orang yang tersingkir dari terangnya sinar lampu-lampu, dari leganya jalan lapang, dari harumnya taman-taman.
Mbah Sungeb memilih melèlès sampah-sampah untuk siapa tahu bisa didaur-ulang menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Kenyataannya, komplek pelacuran itu bubar tak lama sesudah Mbah Sungeb wafat. Saya beriman bahwa secara ruhaniyyah Mbah Sungeb punya andil atas kebubaran itu.
Untuk menjadi kyai nggathilut nyaris tak perlu investasi maupun usaha. Tinggal nangkring saja. Untuk menjadi kyai lèlès yang sukses, dituntut keteguhan jiwa dan mental wiraswasta yang dhukdhèng.
“Kyai Muhammad Ainun Najib”, begitu saya menyebut namanya ditengah walimah pengantin sepupu saya, Bisri Mustova bin Mustofa Bisri dan Ines, isterinya.
Dan saya katakan dihadapan hadirin bahwa “entah Cak Nun itu kyai beneran atau tidak, dia sudah biasa ngelakoni pekerjaannya kyai”.
Saya memang dari dulu mengkategorikan Cak Nun sebagi kyai lèlès. Dan dia mungkin punya ambisi dan vitalitas bisnis yang lebih besar dari Mbah Sungeb. Itu sebabnya Cak Nun mau melakukan sofistikasi gaya, metode dan teknologi dalam usaha lèlèsnya.
Terkait dengan kontroversi yang dibikin Cak Nun terhadap NU dan Ansor belakangan ini, saya menduga dia cuma sedang mencoba melèlès HTI dan kalangan Islam gagap lainnya.