Menjelang perayaan natal dan tahun baru ini saya mencoba merenungkan apa sebenarnya yang ada dalam pikiran sebagian saudara muslim kita yang melakukan pelarangan perayaan natal di beberapa kabupaten di Indonesia. Buya Syafii
Menurut laporan terbaru dari PUSAKA Foundation Padang yang menyebutkan bahwa ada kasus pelarangan atau penolakan rangkaian perayaan hari Natal 2019 terjadi di empat daerah di Sumatra Barat (Sumbar) tahun ini. Empat daerah tersebut adalah di Kota Bukittinggi,Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Lebih lanjut, hasil survei yang di lakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI terkait indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) menunjukkan bahwa indeks KUB nasional berada pada angka 73,83, sedangkan untuk level daerah terdapat sejumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional. Dalam survei tersebut terdapat beberapa faktor penentu indeks, yang berisi korelasi hubungan antara pendidikan, pendapatan, dan peran Kementerian Agama terhadap sikap rukun di Indonesia pada 2019.
Saya mencoba membandingkan antara perayaan natal dan perayaan Idul fitri yang terjadi di Indonesia. Pada malam hari menjelang Natal, saya tidak mendengar pujian-pujian atau kalimat-kalimat yang dikumandangkan dengan keras dan bersemangat melalui pengeras suara di gereja-gereja. Sedangkan umat Islam ketika malam hari menjelang perayaan Idul fitri, mereka saling sahut menyahut mengumandangkan kalimat kemenangan menggunakan pengeras suara di masjid-masjid dan mushola masing-masing. Selain itu umat Islam juga masih ada yang melakukan takbir keliling dengan membawa obor dan kentongan untuk saling ber-fastabiqul khoirot dalam memekikkan kalimat kemenangan.
Setelah saya bandingkan ternyata saya merasa pilu melihat cara beragama sebagian dari saudara muslim saya. Yang merasa terganggu ketika melihat orang lain melakukan ritual keagamaannya di ruang publik. Di mana toleransinya ? Apakah mereka tidak berpikir dengan logika sebaliknya?
Namun, keresahan saya rasanya menemukan oase yang selalu tajam dalam memberikan kritik terhadap perilaku sebagian umat islam yang ia sebut sebagai “sumbu pendek” tersebut. Ia adalah Ahmad Syafii Maarif, orang yang mengakui secara terang-terangan bahwa setiap tahun ia mengucapkan selamat natal kepada para sahabat-sahabatnya. Menurut ia, ucapan selamat natal sama saja dengan ucapan selamat idul fitri, dan itu biasa biasa saja. Lalu apakah Ahmad Syafii Maarif menjadi seorang yang keluar dari Islam, atau aqidahnya ternodai ketika mengucapkan selamat hari natal? Tentu tidak.
Bahkan dalam kasus terbaru yang sempat heboh terkait penolakan natal oleh Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Buya Syafii menjadi tempat untuk mendapatkan petunjuk oleh Bupati tersebut. Buya Syafii mengaku telah dihubungi oleh Sutan Riska Tuanku Kerajaan pada Senin, 23 Desember 2019.
Bupati Dharmasraya tersebut mengaku kepada Buya Syafii bahwa dibalik hebohnya kasus penolakan natal tersebut ada unsur politik menjelang Pilkada Dharmasraya tahun 2020. Ada seorang oknum yang mencoba menggunakan kampanye hitam dan mengobok-obok isu Agama untuk tujuan politik elektoral Pilkada Dharmasraya 2020. Dari kasus di atas, agama selalu menjadi kambing hitam dari segelintir orang dalam berebut kursi elektoral. Hampir sama dengan Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.
Pandangan keislaman Ahmad Syafii Maarif berangkat dari diktum “tidak ada paksaan dalam beragama” dan “Nabi memang melarang memaksa pihak lain untuk beriman”. Maka dalam pandangan Buya Syafii jalan terbaik untuk merajut kehidupan beragama dalam lingkungan plural seperti Indonesia adalah mengembangkan kultur toleransi.
Al-Qur’an menguatkan adanya eksistensi keberagaman suku, bangsa, agama, bahasa dan sejarah, semua aspek tersebut hanya bisa berkembang dalam kondisi kehidupan yang harmonis, aman dan damai. Semua itu harus direkatkan dengan alat perekat utama yang bernama sifat lapang dada pada setiap insan manusia.
Sikap lapang dada harus muncul dalam diri setiap muslim di Indonesia, karena dengan sikap itu akan muncul sikap kepercayaan diri yang tinggi, bukan dari suasana batin yang lemah tidak berdaya seperti sekarang yang terjadi. Orang Muslim yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi tidak mudah gamang dalam melihat perbedaan, betapapun perbedaan tersebut sangat tajam. Umat Islam harus tampil dengan solusi-solusi praktis dalam melihat setiap perbedaan-perbedaan yang ada.
Sayangnya dalam masyarakat yang belum dewasa seperti di Indonesia ini, psikologi emosional perbedaan selalu dianggap sebagai sebuah permusuhan. Padahal jika kita bisa menggali makna dari perbedaan tersebut maka akan mucul kekuatan yang pernah melahirkan peradaban-peradaban besar justru didorong oleh perbedaan pandangan yang tajam dalam melihat sebuah realitas. Setiap perbedaan pendapat jika didialogkan dengan cara yang dewasa akan melahirkan rumusan pandangan yang lebih kuat dan komprehensif. Setiap orang tidak boleh merasa selalu di pihak yang paling benar, sebelum pendapatnya diuji dalam dialog yang sehat dalam suasana toleransi dan terbuka.
Keberadaan tokoh seperti Ahmad Syafii Maarif di era sekarang menjadi sangat penting, saat banyak tokoh-tokoh Islam yang dimiliki bangsa Indonesia semakin mengubah arah perjuangannya kepada wilayah yang pragmatis-politis. Kita semua berharap kepada guru bangsa ini, yang senantiasa kritis dan peka terhadap persoalan umat. Ikhtiar membangun Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan napas merupakan kerja dakwah dan kebudayaan yang diharapkan memiliki daya jangkau yang jauh melampaui jamannya.
Pemikiran keislaman dan kebangsaan Ahmad Syafii Maarif menempati ruang tersendiri dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Dengan berusaha memperkenalkan wajah Islam toleran, inklusif, egaliter dan non-deskriminatif yang dipahami dari pemahaman yang utuh terhadap pesan moral dan nilai-nilai universal Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Syafii Maarif bukanlah seorang intelektual di menara gading karena ia telah menjadi bagian penting dari dinamika perjuangan praktis melalui Muhammadiyah. Buya Syafii adalah manusia dengan “Satu Kata, Satu Perbuatan” yang mencerminkan sebuah konsistensi intelektual dirinya yang menanamkan semangat kenabian di mana kesadaran langit harus berjumbuh dengan fakta-fakta kesejarahan bumi. (AN)
Wallahu a’lam.
* Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK-ASM III) dan Penulis pada ahmadsholikin.web.ugm.ac.id