Buya Syafii, Gus Dur dan Provokasi Perdamaian

Buya Syafii, Gus Dur dan Provokasi Perdamaian

Kesaksian Buya Sayafii terkait peristiwa penyerangan gereja St Lidwina menarik untuk diperhatikan sekaligus dicontoh.

Buya Syafii, Gus Dur dan Provokasi Perdamaian

Buya Syafii Maarif bergegas mendatangi lokasi penyerangan Gereja Santa Lidwina, Bedog Sleman, Yogyakarta. Buya Syafii tampak kecewa dengan peristiwa penyerangan tempat ibadah yang menyeret beberapa jamaah gereja terluka. Apalagi menurutnya, daerah tersebut relatif kondusif, pun ingar bingar politik tidak kentara di ruang sosial masyarakatnya.

Kekecewaan mantan ketua umum PP Muhammdiyah lantas tidak mengurungkan niatnya mendatangi RS Bhayangkara, tempat pelaku penyerangan gereja dirawat. Tak terpintas kebencian dari raut wajahnya yang kian kerut. Buya kedapatan berbincang lama dengan pelaku di dalam ruangan dengan pelaku, kepada beberapa awak media, Buya mengatakan bahwa pelaku fasih berbahasa Arab. Suliyono, begitu nama pelaku, juga dikatakan sebagai seorang mahasiswa, sempat menempuh pendidikan di pesantren Jawa Tengah selama tiga tahun.

Kesaksian Buya Sayafii terkait peristiwa penyerangan gereja St Lidwina menarik untuk diperhatikan sekaligus dicontoh. Keluasan hatinya melakukan dialog dengan korban maupun pelaku, menprovakasi kita semua untuk selalu menahan nafas egoisme identitas di tengah kehidupan yang beragam. Kepada kita, seolah Buya ingin mengatakan bahwa kita harus memperlakukan manusia dengan rasa kasih sayang, begitu setajam apa perbedaan identitasnya.

Tetapi yang menjadi pertanyaan dalam benak penulis adalah, mengapa pelaku melakukan hal yang melatuk ketentraman umat beragama, kendati pelaku, konon, fasih berbahasa Arab dengan pendidikan yang mencukupi?

Belakangan, penyerangan terhadap tempat ibadah dan tokoh agama terjadi dalam tilas kebhinekaan kita. Peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti pengusiran terhadap umat Budha di Tangerang, pembubaran bakti sosial yang dianggap sebagai upaya Kristenisasi di Bantul, hingga tindak kekerasan di Bandung yang menimpa pemuka agama, menjadi alarm bahaya dalam deretan rangkuman keberagaman.

Daftar peristiwa di atas menjadi potret keprihatinan sekaligus mencemaskan dalam wajah kebhinekaan. Kebhinekaan diobok-obok hanya sebab perbedaan identitas belaka. Padahal dalam kultur masyarakat yang beragam, Taylor  sebagaimaa dikutip Madung (2017) mengatakan, formasi identitas tidak bisa dilepaskan dari pandangan eksternal dan pengakuan kelompok yang lain.

Artinya bahwa, formasi identitas diciptakan oleh kekuatan kelompok yang lain. Perlu adanya pengakuan dari masing-masing kelompok untuk menghargai perbedaan yang diyakini oleh masing-masing identitas kelompok yang berbeda. Di situlah, perbedaan akan menjadi reputasi yang memicu untuk selalu bersikap menghargai dan toleransi.

Jauh dari pada itu, menurut Taylor, pengakuan dari kelompok ekternal perlu dibarengi dengan jaminan konstitusi demokrasi. Konstitusi demokratis tidak  boleh membuka ruang pengecualian, sebab jika tidak demikian, ia hanya mampu menjamin kebebasan untuk kelompok tertentu.

Jaminan konstitusi demokrasi ini secara lebih luas tidak melulu tentang adanya perangkat keamanan secara fisik, melainkan juga nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat hingga dalam bentuk ideal realisasi di tengah masyarakatnya dijamin selalu eksis bagi semuanya.

Imlek

Berkat Keppres Keppres No 6 Tahun 2000, ekspresi kultural dan religiuitas etnis Tionghoa melenggang ke aras publik tanpa rasa takut dan tekanan. Keppres No 6 Tahun 2000 berhasil menundukkan Inpres No 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Kebijakan Alm. KH. Abdurrahman Wahid presiden ke-4 ini mampu merobohkan jembatan pembatas arogansi pemerintah terhadap minoritas, sebagaimana terjadi dalam era Orde Baru beberapa dasawarsa yang lalu. Terbukti dengan pemberlakuan Keppres tersebut, perayaan Imlek yang dulunya hanya dilakukan secara diam-diam dan semubunyi, kini sudah dinikmati penuh kegembiraan, bahkan dari mereka yang bukan berasal dari etnis Tionghoa.

Perayaan tahun baru Imlek yang sudah tinggal menghitung hari ini mempunyai makna fundamental dalam ruang kebhinekaan yang belakangan terkoyak robek. Tahun baru Imlek tidak sebatas perayaan seremonial yang akan berlangsung lalu usai setelah bagi-bagi angpao, festival barongsai atau bahkan jamuan makan dan jabat tangan saling kunjung-mengunjungi antar keluarga.

Jauh dari pada itu, tahun baru Imlek menjadi momentum pijakan untuk membuka mata kebhinekaan masyarakat Indonesia. Bahwa dalam kultur yang beragam, pengakuan terhadap yang berbeda menjadi jaminan bagi masing-masing kelompok untuk mengekspresikan pandangan dan kultur identitasnya yang berbeda-beda. Ia menjadi prasasti dalam hadirnya konstitusi demokrasi mejaga hingga pada proses realisasinya.

Kita melihat alm. Gus Dur sewaktu menjadi presiden telah berjasa dalam realisasi prosedural demokrasi. Ia tengah berhasil menelurkan kebijakan yang mengakui keunikan-keunikan identitas kelompok. Penetepan tahun baru Imlek menjadi tonggak sejarah perlakukan minoritas dan mayoritas sama.

Begitu juga dengan yang dilakukan Buya Syafii dengan pendekatan intersubyektifnya. Kebesaran identitasnya, tidak menutupi dirinya untuk berdialog dengan sesama manusia, dari latar apapun identitisnya. Kedua orang tersebut, Gus Dur dan Buya Syafii telah melakukan provokasi perdamaian sesuai dengan posisi sosial mereka. Dan parahnya, kita masih tertatih untuk mempribumisasikannya.