Sebuah paragraf genius nan indah pernah diutarakan oleh Bung Karno, di depan Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Sebagai berikut :
“Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoeseomo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua”
Penggalan pidato di atas menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah Republik, yang meletakkan agama, etnik, individu secara setara, secara egaliter. Tak ada yang lebih tinggi, tak ada yang lebih rendah. Indonesia, semua buat semua. Indonesia bukan negara Re-privat, yang hanya dimiliki sekelompok orang tertentu atau agama tertentu.
Bung Karno, sebagai seorang muslim, dalam penggalan paragraf di atas tidak memposisikan Islam, sebagai agama mayoritas, menjadi pemilik sah Republik. Pun, bahkan, Bung Karno tidak menyebut umat pemeluk di luar Islam sebagai kafir. Semua agama adalah pemilik sah Republik Indonesia.
Dalam paragraf yang lain, masih dalam pidato yang sama, Bung Karno menegaskan :
“Prinsip Ketuhanan. Bukan saja Bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang hendaknya bertuhan, Tuhan-nya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad, saw, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”..”
Jelas, Bung Karno meletakkan relasi antar agama dalam posisi setara. Betapapun, Islam adalah agama mayoritas, posisinya tidak serta-merta lebih tinggi daripada agama-agama yang lain, dalam konstruksi Republik Indonesia. Dan, sekali lagi, Bung Karno tidak menggunakan diksi kafir untuk menyebut pemeluk agama di luar Islam. Bung Karno lebih memilih menyebut langsung nama entitas agama itu, seperti Kristen, atau Budha.
Artinya, di awal Republik ini berdiri, dalam pidato Bung Karno tentang Pancasila, diksi kafir tidak digunakan. Posisi tiap-tiap pemeluk agama setara, dengan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga-negara dan warga-bangsa. Mereka, para pemeluk agama itu mempunyai kebebasan berekspresi dalam mengimani Tuhannya dan dalam menjalankan ritual ibadah.
Namun, tidak cukup jaminan kebebasan berekspresi saja, masing-masing pemeluk agama juga perlu menunjukkan penghormatan pada agama lain. Bung Karno bertutur :
“Nabi Muhammad saw telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu….. Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”
Bung Karno menegaskan bahwa kebhinekaan beragama dan berkeyakinan adalah sebuah keniscayaan dan kebhinekaan itu dibingkai dalam satu frasa “saling hormat-menghormati”. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua setara dalam konstruksi Republik Indonesia.
Dari narasi di atas, jelas bahwa ijtihad ulama NU melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat tentang penghapusan istilah kafir dan diganti non-muslim, sejatinya adalah penguatan dari pidato Bung Karno tentang Pancasila, 1 Juni 1945. Bahkan, Bung Karno telah melampaui itu karena tidak menyebut non-muslim tetapi langsung menunjuk nama agama yang bersangkutan.
Artinya, hasil Munas Alim Ulama NU itu mempunyai pijakan historis yang cukup kuat, bukan sebuah keputusan a-historis, bukan hasil perdebatan di ruang kosong.
Pun, keputusan Munas Alim ulama itu penting dikeluarkan di tengah murahnya kata kafir diumbar di ruang publik, dalam pergaulan sehari-hari. Ujaran kafir itu mudah diumbar untuk mempersempit ruang ekspresi religius pemeluk agama di luar Islam. Lebih parah, belakangan, kata kafir digunakan sebagai idiom politik untuk merebut kekuasaan, yang berpotensi memecah-belah persatuan.
Bukankah kita punya tanggung jawab merahayukan Republik Indonenesia sebagaimana cita-cita Bung Karno