Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (1)

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (1)

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (1)

Kita datang dari Timur

Kita berjalan menuju ke Barat.

~ Zia Keuk Alp

Artikel saya yang sekarang ini haruslah dianggap oleh pembaca sebagai bahan-pertimbangan sahaja ditentang soal baik-buruknya, benar­-salahnya, agama dipisahkan dari negara. Dalam “Panji Islam” no. 13, bagian ke-III dari saya punya uraian tentang “Memudakan Pengertian Islam”, saya telah ajak pembaca-pembaca meninjau sebentar ke negeri Turki itu. Sesudah P.I. no. 13 itu melayang kekalangan publik, maka saya dari sana-sini, antaranya dari seorang sahabat karib di kota Jakarta, saya mendapat permintaan akan menulis lebih banyak tentang soal agama dan negara di negeri Turki itu dan tulisan saya yang sekarang ini haruslah dianggap sebagai memenuhi permintaan-permintaan itu. Sudah barang tentu saya punya sumbangan bahan ini hanya mengenai pokok-pokoknya sahaja, sebab saya musti ingat, bahwa ruangan P.I. yang disediakan buat saya adalah terbatas, dan… saya tak boleh menjemukan pembaca.

Memang sebenarnya siapa yang ingin mengetahui hal ini lebih luas, harus­lah ia membaca buku-buku tentang Turki-modern itu banyak-banyak: pidato-pidato di majelis perwakilan, pidato-pidatonya Kamal Ataturk, biographinya-biographinya Kamal Ataturk, kitab-kitab tulisannya Halide Edib Hanoum, tulisan-tulisannya Zia Keuk Alp, bukunya Stephen Ronart “Turkey today”, bukunya Klinghardt “Angora Konstantinoper, Frances Woodsman “Moslem women enter a new world”, Harold Armstrong “Tur­key in travail”, dan lain-lain sebagainya. Pada penutupnya kitab Halide Edib Hanoum “Turkey faces west” adalah disebutkan nama 41 buah kitab, yang oleh beliau sendiri sangat dipujikan membacanya.

Hanya dengan baca banyak-banyak kitab yang tersebut di atas inilah kita, yang tidak ada kesempatan datang sendiri di negeri Turki buat menga­dakan penyelidikan yang dalam, dapat menyusun satu “gambar” yang adil tentang hal-hal yang mengenai agama dan negara di sana itu. Sayang saya sendiri tiada cukup syarat-syarat untuk membeli semua kitab-kitab yang terpenting, dan perpustakaanpun di Bengkulu tidak ada. Siapakah di antara pemuda-pemuda Indonesia di Jakarta, yang saban hari bisa ke­luar masuk perpustakaan di Gedung Gajah itu, suka memperkaya per­pustakaan Indonesia dengan sebuah verhandeling obyektif tentang hal ini?

Sebab, sebenarnya, orang yang tidak datang menyelidiki sendiri keadaan di Turki itu, atau tidak membuat studi sendiri yang luas dan dalam dari kitab-kitab yang mengenai Turki itu, tidak mempunyailah hak untuk membicarakan soal Turki itu di muka umum. Dan lebih dari itu: ia tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan vonnis atas negeri Turki itu di muka umum. Saya sendiripun, yang di dalam prive-bibliotheek saya, kalau saya jumlah-jumlahkan, tidak ada lebih dari duapuluh kitab yang dapat mem­beli bahan kepada saya atas Turki-modern itu, merasa juga tidak mempunyai hak untuk mengemukakan saya punya pendapat tentang Turki­ modern itu. Apa yang saya sajikan di sini kepada pembaca, oleh karena­nya, tali lebihlah daripada “sumbangan materiaal”, “sumbangan bahan untuk difikirkan” sahaja.

Sebab, – o, begitu mudah orang jatuh kepada fitnah terhadap ke­pada Turki-muda itu. Orang maki-makikan dia, orang kutuk-kutukkan dia, orang tuduh-tuduhkan dia barang yang bukan-bukan, zonder melihat keadaan dengan mata sendiri, zonder mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang beraneka warna, zonder pengetahuan dari segala keadaan-keadaan di Turki-muda itu. Orang mengatakan ia menghapuskan agama, padahal ia tidak menghapuskan agama. Orang mengatakan pemimpin-pemimpin Turki-muda semuanya benci, mereka tak sedia mengorbankan jiwanya buat membela kepentingan agama.

Orang mengatakan Islam di Turki sekarang semakin mati, padahal beberapa penyelidik yang obyektif, seperti Captain Armstrong, mengatakan, bahwa Islam di Turki sekarang menun­jukkan beberapa “sifat-sifat yang segar”.

Orang mengatakan bahwa Turki sekarang anti Islam, padahal seorang seperti Frances Woodsman, yang telah menyelidiki Turki sekarang itu, berkata: “Turki modern adalah anti-kolot, anti soal-soal lahir dalam hal ibadat, tetapi tidak anti agama. Islam sebagai kepercayaan persoon tidaklah dihapuskan, sembahyang-sembahyang di mesjid tidak diberhentikan, aturan-aturan agamapun tidak dihapuskan.”

Orang mengatakan bahwa Turki ini tidak mau menyokong agama, karena memisahkan agama itu dari sokongannya negara, padahal Halide Edib Hanoum, sebagai dulu sudah pernah saya sitir, adalah berkata bahwa agama itu perlu dimer­dekakan dari asuhannya negara, supaya menjadi subur. “Kalau Islam terancam bahaya kehilangan pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus oleh pemerintah, tetapi ialah justru karena diurus oleh pemerintah. Ummat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintah. Hak ini adalah satu halangan yang besar sekali buat kesuburan Islam di Turki. Dan bukan sahaja di Turki, tetapi di mana-mana sahaja, di mana pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadilah ia satu halangan-besar yang tak dapat dinyahkan.”

Begitu pula saya sudah mensitir perkataan menteri kehakiman Mahmud Essad Bey, yang mengatakan agama itu perlu dimerdekakan dari belenggunya pemerintah, agar menjadi subur: “Manakala agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi. Manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spirituil, maka ia adalah menyelamatkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia mem­berikan kepada agama itu satu singgasana yang maha-kuat di dalam :kalbu­nya kaum yang percaya.” Dan bukan lain dari Kamal Ataturk sendirilah yang berkata:

“Saya merdekakan Islam dari ikatannya negara, agar supaya , agama Islam bukan tinggal agama memutarkan tasbih di dalam mesjid saha­ja, tetapi menjadilah satu gerakan yang membawa kepada per­joangan.”

Ya, memang barangkali sudah bolehkah dikatakan secara adil, bahwa maksud-maksud pemimpin-pemimpin Turki-muda itu, bukanlah maksud-­maksud-jahat akan menindas agama Islam, merugikan agama Islam, mendurhakai agama Islam, – tetapi ialah justru akan menyuburkan agama Islam itu, atau setidak-tidaknya memerdekakan agama Islam itu dari ikatan-ikatan yang menghalangi ia punya kesuburan, yakni ikatan‑ikatannya negara, ikatan-ikatannya pemerintah, ikatan-ikatannya pemegang kekuasaan yang zalim dan sempit fikiran. Dan sebaliknyapun, maka ke­merdekaan agama dari ikatan negara itu berarti juga kemerdekaan negara lari ikatan anggapan-anggapan agama yang jumud, yakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham-Islam-kolot yang se­5enarnya bertentangan dengan jiwanya Islam sejati, tetapi nyata selalu menjadi rintangan bagi gerak-geriknya negara ke arah kemajuan dan kemoderenan. Islam dipisahkan dari negara, agar supaja Islam menjadi merdeka, dan negarapun menjadi merdeka. Agar supaya Islam berjalan sendiri. Agar supaya Islam subur, dan negarapun subur pula.

Pada saat yang mati-hidupnya bangsa Turki tergantung kepada kekuatan negara, maka Kamal Ataturk tidak mau sesuatu tindakan negara yang amat perlu, tidak dapat dijalankan oleh karena ulama-ulama atau Sheik-ul-Islam mengatakan makruh, atau haram, atau bagaimanapun juga. Pada saat yang bangsa Turki itu hendak dihantam hancur-lebur) oleh musuh-musuhnya, manakala ia tidak mempunyai alat kenegaraan yang maha-kuat dan senjata yang maha-modern, maka ia tidak mau ia punya usaha “mengharimaukan” negara itu dihalang-halangi oleh faham-faham Islam, pada hal sebenarnya bukan faham-Islam. Pada saat yang mati-­hidupnya bangsa Turki itu tergantung kepada satu benang sutera, tergan­tung kepada cepatnya usaha memperkokohkan dan mempersenjatakan negara, maka ia tidak mau mendapat pengalaman seperti pengalaman Ibnu Saud, yang tidak dapat mendirikan tiang radio atau mengadakan elek­trifikasi, karena rintangan-rintangan kaum jumud, yang selalu mencap makruh kepada , semua barang-barang-dunia yang baru, mencap haram kepada semua barang-barang yang belum tentu haram.

“Saya merdekakan Islam dari negara, agar Islam bisa kuat, dan saya merdekakan negara dari agama, agar negara bisa kuat”, – inilah di dalam satu-dua patah kata sahaja sarinya tindakan Kamal Ataturk itu. Sebagai saya katakan di dalam P.I. no. 13 itu, maka sebenarnya hanya sejarah sa­hajalah di kelak kemudian hari dapat membuktikan benar atau salahnya tindakan Kamal Ataturk itu. Kita boleh memperdebatkan hal ini sampai merah kita punya muka, kita boleh mendatangkan alasan satu gudang banyaknya bahwa Kamal Ataturk menyimpang dari Islam atau tidak me­nyimpang dari Islam, kita boleh bongkar semua sejarah Islam buat mem­buktikan kedurhakaan Kamal atau kebijaksanaan Kamal, boleh pro, boleh kontra, boleh mengutuk, boleh memuji, boleh marah, boleh ber­sukacita,- tetapi hanya sejarahlah sahaja yang nanti dapat menjadi hakim yang sebenar-benarnya di dalam soal ini. Tidak bedanya hal ini dengan misalnya soal siapakah yang benar: Stalin-kah atau Trotsky-kah?

Stalin-kah, yang beranggapan bahwa buat keperluan komunisme-sedunia perlu diperkokoh lebih dulu satu-satunya benteng komunisme yang telah ada, yakni Sovyet Rusia? Ataukah Trotsky, yang mengatakan, bahwa buat keperluan komunisme-sedunia itu, perlu dari sekarang dikerjakan dan diikhtiarkan revolusi dunia. Di dalam hal Stalin-Trotsky inipun kaum komunis boleh berdebat-debatan satu sama lain sampai pecah mereka punya urat-urat-muka, tetapi hanya sejarahlah nanti yang dengan fakta­-fakta dapat menunjukkan, siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang durhaka, siapa yang setia kepada warisan Leninisme. [bersambung]

Tulisan Bung Karno ini ditulis sebelumnya di Panji Islam Tahun 1940. Dimuat kembali untuk tujuan pendidikan.