Prabowo-Jokowi dalam Pilpres menggunakan agama dalam pemilu tentu saja hal yang sudah jamak diketahui publik. Contohnya banyak. Mengindahkan tantangan tes membaca Al-Qur’an kemudian menyerang lawan politik yang tidak setuju dengan hal itu, bukankah sama halnya memainkan isu agama untuk kepentingan politik? Sama seperti kelompok yang mengatasnamakan Islam, berkumpul di Monas kemudian mengadili pembangunan yang dilakukan pemerintah di muka publik dengan pekikan takbir bertubi-tubi. Memang sedap, ketika isu agama digoreng sedemikian rupa untuk konstelasi politik, merebutkan kekuasaan 5 tahunan.
Saya teringat esai yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan, “Salah satu sifat dari demokrasi liberal adalah memelihara kegaduhan. Banyak omong dan ingar-bingar 24 jam tanpa henti,”. Kita, menurut Muhidin, sudah berada dalam trek yang benar dalam berdemokrasi. Ketika berlabuh di media sosial, jangan berharap mendapatkan ketenangan dan kedamaian, adanya saling menghujat, kecuali calon presiden dan wakilnya nomor 10 yaitu Nurhadi-Aldo. Kalau pun ingin mendapatkan ketenangan dan ketenteraman, pergilah ke masjid, itu pun kalau tidak dijadikan tempat kampanye.
Bagi saya, yang lebih bejat lagi adalah mengotori acara-acara keagamaan yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan, melalui Nabi Muhammad Saw., dan para wali Allah dan ulama, dijadikan kepentingan politik praktis oleh sebagian kecil jamaahnya. Sewaktu Haul ke 107 Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di Solo, saya turut hadir pada waktu maulid akbar yang dilaksanakan pada 30 Desember 2018 di sekitar masjid Riyadh.
Tidak ada ceramah yang memperbincangkan politik praktis di sana, pun tidak ada kritik terhadap kubu satu dan lainnya. Berjalan khidmat, dengan taushiyah yang dibawakan oleh Habib Tohir bin Abdullah Al-Kaff mengingatkan untuk selalu dekat dengan Nabi Muhammad Saw., jalan menuju ridha Allah Swt. “Tidak perlu kita uraikan yang terjadi kepada umat Islam, yang mengerikan dan menakutkan, pagi hari masih dalam keadaan baik sore hari sudah berubah, na’udzubillahi mindzalik.” ungkap Habib Tohir dalam tausiyahnya.
Ketika mendengarkan ceramah tersebut, saya berpikiran bahwa yang hadir di sini tidak ada pikiran untuk memperbincangkan pemilu. Majelisnya adalah untuk memperbincangkan kekeringan hati kita yang diliputi rasa saling benci, serta doa-doa yang kita panjatkan agar menjadi manusia yang baik. “Marilah perhatikan negara kita. Negara kita perlu doa, sudah banyak yang berjuang dan berkorban. Di saat seperti ini, terbuka, pintu terbuka. Doa kita akan dikabulkan oleh Allah Swt., akan diterima berkat nabi Muhammad Saw.” pesan Habib Tohir.
Saya, mungkin dengan jamaah lainnya merasakan siraman rohani berkat majelis tersebut. Kering karena melihat pertikaian yang tak kunjung usai menjelang pemilihan presiden. Bahkan mengikuti tagar di twitter #Jumatberkah pun perbincangannya perihal pemilu, apakah tidak ada perbincangan yang menarik selain pemilu? Seperti halnya seusai haul Solo, saya melihat sebagian kecil jamaah haul yang berteriak-teriak#2019gantipresiden di salah satu rumah seusai acara selesai, dan tersebar di media sosial. Hingga akhirnya tersebar video Habib Lutfi bin Yahya, memperingatkan agar haul solo tersebut tidak dikotori dengan politik praktis.
Mengurai pemanfaatan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis, tidak akan ada ujungnya. Mulai dari “ijtima’ ulama” yang merekomendasikan calon wakil presiden, penyematan istilah santri hingga ulama kepada salah satu calon wakil presiden, hingga tes baca Al-Qur’an kalau diperinci tidak ada habisnya. Pemilu yang memanfaatkan isu agama merupakan isu lama, namun masih dianggap relevan untuk memperebutkan kekuasaan.
Saya menganggap bahwa Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki signifikansi ekonomi seperti yang diungkapkan dalam penelitiannya Greg Fealy, tapi juga memiliki signifikansi dalam bidang politik. Saya teringat tulisannya Akh. Muzakki, “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres 2009” di jurnal Islamica tahun 2010. Menurutnya, Islam memiliki signifikansi politik yang berdaya jual tinggi, dalam konteks itu, simbol Islam mengalami proses yang disebut dengan komodifikasi. Proses komodifikasi, dikatakan yang awalnya sesuatu tidak memiliki nilai signifikansi ekonomi politik tertentu, akan menjadi meningkat signifikansinya apabila dikaitkan dengan simbol tertentu.
Penelitian Akh. Muzakki, menyatakan bahwa pergerakan PKS pada Pilpres 2009 menjadi bukti pembenar atas politisasi simbol dan ritual agama oleh gerakan Islamisme. Sebagaimana dipraktikkan PKS pada tahun 2009, menurut Muzakki, sangat dekat dengan politisasi agama dalam proses pergerakan untuk meraih kuasa politik. Sikap PKS tersebut menuai kontroversi juga, ‘juz’ yang merupakan bagian dalam Al-Qur’an dijadikan istilah untuk melakukan korupsi.
Langkah politik seperti yang dilakukan oleh PKS, pun hingga menjelang pemilu 2019 banyak yang menghujat. Memberikan label santri bahkan label ulama kepada Sandiaga, salah satu calon wakil presiden, agar mengesankan dia tokoh Islam, misalnya, menuai kontroversi. Kini yang menjadikan isu agama untuk kepentingan politik bukan hanya PKS dan lingkarannya, namun juga kubu lainnya. Menerima tantangan tes membaca Al-Qur’an dan menghujat kubu lainnya, apakah tidak memanfaatkan isu agama untuk kekuasaan? Ingat, ini bukan tes untuk menjadi modin desa, tapi menjadi pemimpin negara yang di dalamnya terdapat keanekaragaman agama dan budaya.
Terjadinya komodifikasi menurut saya, akan membawa Islam ke level dangkal yaitu penyematan simbol-simbol agama kepada sesuatu yang seharusnya tidak pas. Tugas para tokoh agama, terutama tokoh dan cendikiawan muslim, agar mengembalikan agama tetap dipahami sebagai pegangan hidup, sebagai sistem nilai dalam kehidupan sehari-hari. Tugas kedua adalah, membebaskan agama dari praktik komodifikasi, agar agama tidak terdistorsi menjadi barang yang bersifat pragmatis, untuk kepentingan pemenangan politik dan pemenuhan hawa nafsu kelompok.