Perbincangan konsumsi dan bulan Ramadan seakan tidak pernah berhenti. Setiap tahun, bahkan kala pandemi, Ramadan selalu saja menjadi momentum peningkatan konsumsi di masyarakat Muslim. Para sarjana dan tokoh publik pun tak berhenti membicarakan fenomena tersebut di berbagai kesempatan, mulai khutbah jumat, ceramah, hingga siniar.
Namun, ada satu model konsumsi di bulan Ramadan yang seringkali luput dari amatan publik. Padahal, di tengah gairah akan keislaman di masyarakat Muslim satu atau dua dekade terakhir, konsumsi akan ajaran agama juga mendapatkan momentum paling besar di bulan Ramadan.
Greg Fealy, akademisi asal Australia, menyebut fenomena “mengonsumsi agama” adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim urban. Terus, apa yang terjadi di bulan Ramadan?
Sebelum masuk bulan Ramadan, saya banyak berselancar di beberapa platform media sosial. Saya menjumpai beragam konten yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan di bulan Ramadan. Salah satu masjid di Yogyakarta sempat mendapatkan atensi publik yang luar biasa karena kegiatan ceramah buka puasa. Pasalnya, tokoh yang diundang di masjid tersebut sempat diikuti hingga ribuan orang.
Dari acara buka puasa, tawaran donasi ke anak yatim, kelas Tahsin baca Alquran, karantina penghapalan Alquran, hingga pesantren kilat dengan beragam nama adalah secuil kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan mengambil momentum bulan Ramadan. Bahkan, tahun lalu, masjid kampus besar di Yogyakarta pernah “diserbu” mahasiswa karena mendatangkan Anies Baswedan.
Aneka kegiatan keagamaan tersebut di tahun semakin massif. Pencabutan pembatasan kegiatan masyarakat oleh Pemerintah Indonesia sepertinya juga menjadi faktor pendukungnya. Namun, Salah satu faktor kunci atas glorifikasi konsumsi agama di bulan suci ini adalah proses mediatisasi agama yang cukup massif.
Dua hari terakhir ini saja, FYP saya penuh dengan konten “A Day of My Life” terkait keikutsertaan pemilik akun pada salah satu pendakwah populer. Hal ini memperlihatkan bahwa proses mediatisasi tidak hanya dilakukan pihak berkepentingan dengan kegiatan Ramadan tersebut, namun “dengan sukarela” juga dilakukan oleh para peserta kegiatan.
Sebelum lebih jauh, mungkin sebagian kita bertanya apa itu “Mediatisasi Agama”?
Mediatisasi agama dikemukakan oleh Stig Hjarvard, akademisi asal Denmark, dalam artikel berjudul, “The Mediatization of Religion: A Theory of The Media as Agents of Religious Change,”. Ia mengatakan bahwa ketika agama mulai berkelindan atau masuk dalam logika media. Menariknya, proses mediatisasi ini tidak saja melihat media sebagai saluran komunikasi, akan tetapi juga berimplikasi pada media sebagai fungsi bahasa.
Media, menurut Hjarvard, telah membentuk imajinasi keagamaan sesuai dengan genre budaya populer. Bahkan, lebih jauh, media telah mengambil alih banyak fungsi sosial dari agama-agama yang dilembagakan hingga menjadi acuan bimbingan moral, spiritual, serta rasa kebersamaan. Mediatisasi agama telah membuat media populer menjadi sumber penting bagi kepentingan spiritual, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Analisa Hjarvard mungkin terfokus pada dinamika media massa atau media populer. Akan tetapi, amatannya bagaimana media telah menjadi bagian dari agama telah mengubah wajah keberislaman kita sendiri. Konten di media sosial, iklan dan berita media massa, hingga spanduk di pinggir jalan telah menjadi bagian keberagamaan kita hari ini.
Dalam proses mediatisasi ajaran agama di bulan Ramadan, kita menjumpai fakta bahwa kesalehan publik yang tersaji di ruang-ruang publik tidaklah sesuatu yang asing. Keberagamaan yang dihadirkan mengaburkan sekat-sekat ruang privat-publik. Glorifikasi peribadatan di ruang publik dalam proses mediatisasi ini seakan tidak bisa lagi terhindarkan.
Dulu, beberapa dekade terakhir, setiap bulan Ramadan beberapa artis biasa mengeluarkan album atau single lagu yang bertema Ramadan. Ada satu konten di media sosial yang saya jumpai beberapa hari lalu yang mengulas bagaimana sosok Maher Zain, penyanyi berlatar Lebanon-Swedia, mengeruk banyak keuntungan, karna lagu terkait Ramadan terus menerus diputar di aplikasi Sportify dan Youtube.
Sebagaimana dijelaskan di atas, mediatisasi tidak bisa dilihat hanya dari sisi pengaruh kehadiran media di ranah agama. Akan tetapi, di saat bersamaan, kita sebagai pemeluk agama juga turut berperan serta dalam menghadirkan media di ranah agama tersebut. Dengan kata lain, agama juga memberikan pengaruh di ranah media.
Contohnya, kemunculan beragam ekspresi keberagamaan dan aktor-aktor baru di ranah agama. Ekspresi-ekspresi keberagamaan ini menjadi bagian dari dinamika media di kehidupan kita, seperti pengajian Ramadan di Hotel, kajian keislaman di Zoom, hingga konten “A Day of My Life” terkait agama.
Sedangkan, kemunculan aktor-aktor baru di ranah keberagamaan ditandai diantaranya oleh anak-anak muda, yang terlibat aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Keterlibatan anak muda menjadikan kegiatan memeriahkan bulan Ramadan hari ini tidak lagi “monoton” pada narasi agama. Akan tetapi, di saat bersamaan, mereka sangat aktif menegosiasikannya dengan beragam wacana modern hingga kesenangan dalam kegiatan-kegiatan Ramadan. Dengan kata lain, mereka cukup aktif melakukan proses mediatisasi.
Kita sendiri, disadari atau tidak, seringkali turut menghadirkan bulan Ramadan di media sosial. Mulai dari foto menu buka puasa, keramaian di Pasar Wadai, berbagi takjil atau sahur, hingga foto bersama selepas agenda buka puasa bersama. Walhasil, kita pun turut terlibat dalam proses yang sama.
Sisi lain dari mediatisasi agama ini terdapat “kue Cuan” yang terselip di dalamnya. Konsumsi konten keagamaan di Ramadan disebut menanjak berlipat-lipat adalah fakta tak terbantahkan. Hal ini tentu “menuntut” para produsen konten-konten untuk mengambil momentum atau nilai ekonomi yang terselip di dalamnya.
Lihat saja seorang siniar Deddy Corbuzier. Bersama Habib Ja’far dan Onad, ia mengambil momentum Ramadan untuk membuat satu program siniar khusus. Tentu jaminan peningkatan pesat impresi dan jumlah keterlibatan warganet (baca: cuan) adalah salah satu godaan yang sulit dihindari, bagi mereka sebagai produsen konten keagamaan, bagaimanapun bentuknya.
Memang, tidak seluruh konten dapat “kue” yang seimbang karena sebagian juga ada yang tidak begitu laku. Mediatisasi agama, diakui atau tidak, pada akhirnya akan menggiring kita untuk “saling bersaing” dalam menawarkan program atau kegiatan keagamaan yang sudah kita buat.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin