“Mahasiswanya Mas Irfan, Mbak?” tanya mas-mas penjaga kasir ketika saya membeli buku Irama Orang-Orang (Menolak) Kalah di Warung Sastra, Yogyakarta.
“Bukan,” jawabku, “Memangnya keliatan, ya, kalau mahasiswa?”
“Ya, usia-usia mahasiswa kan keliatan, Mbak. Kalau udah 30 ke atas, beda lagi,” kata Masnya.
Saya mengangguk-angguk sambil membatin, “Apa tiap mahasiswa yang beli buku ini ditanyain hal yang sama, ya?”
“Beli buku aja, Mbak? Ga sekalian ngopi-nongkrong dulu?” Mas Penjaga Kasir itu menawarkan.
Saat itu menjelang isya’, saya dalam perjalanan pulang dari kampus. Iya, dari kampus karena kelas baru berakhir pukul 17.30. Sore sekali. Rasanya ingin langsung rebahan saja.
“Lain kali deh, Mas,” sahutku singkat.
Selain menjual buku, Warung Sastra juga menyediakan aneka minuman serta penyetan, makanan berat yang umumnya dijajakkan di pinggir jalan.
Di bagian depan toko terdapat beberapa meja kursi. Ketika saya berkunjung hari itu, ada beberapa orang yang sedang menghadap laptop dengan minuman di atas meja.
“Kapan-kapan harus nongkrong di sini sih,” batinku. Saya pulang dan segera membuka segel buku baru tersebut.
Dari Mana Dangdut Berasal?
Jujur, saya baru tau kalau kata ‘dangdut’ dan ‘koplo’ itu tidak bersinonim setelah membaca Irama Orang-Orang (Menolak) Kalah yang ditulis oleh Irfan R. Darajat (2023) ini. Bahkan, dangdut koplo pernah ditolak menjadi bagian dari dangdut.
Konon, istilah dangdut mulai dikenal publik sekitar tahun 1970-an di mana istilah ini berasal dari tiruan bunyi sepasang kendang: “dang” dan “dut”.
Kehadiran musik dangdut tidak dapat dilepaskan dari kelompok orkes melayu atau irama melayu. Orkes melayu diperdengarkan di Indonesia untuk kali pertama melalui siaran radio pada periode 1930-an (hlm. 37).
Pasca-kemerdekaan 1945, muncul berbagai orkes melayu di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Pada masa ini, orkes melayu berperan sentral dalam pembentukan identitas dan karakter Indonesia. Orkes melayu berupaya untuk menghadirkan irama yang berbeda dengan musik melayu dari Malaysia.
Rupanya, irama yang dibawakan oleh orkes melayu juga turut terpengaruh oleh musik dari Timur Tengah dan India. Kepopuleran film dan musik Bollywood menjadi pintu masuk nuansa India ke dalam musik populer di Indonesia.
Sementara itu, vibes Timur Tengah diduga kuat dibawa oleh pendatang dari tanah Hadramaut, Yaman yang menetap di Indonesia. Selain terpengaruh oleh musik Timur Tengah dan India, irama Latin pun ikut urun meramaikan irama orkes melayu Indonesia.
Pada tahun 1970-an, Rhoma Irama menyatakan bahwa musik dangdut yang dibawakan olehnya berasal dari musik melayu Deli (Sumatra). Hal ini bisa dibaca sebagai usaha Rhoma Irama membentuk identitasnya. Katanya, lagu yang ditembangkan Rhoma Irama berasal dari akar budayanya sendiri. Lebih jauh lagi, rujukan tersebut dapat dipahami sebagai usaha mengaitkan dengan identitas keislamannya.
Sepanjang membaca buku ini saya rasanya ingin tertawa. Dangdut koplo yang selama ini kuanggap sebatas hiburan, ternyata bisa dibahas dengan sangat serius di sini.
Namun justru itu yang barangkali menjadikan buku ini asyik untuk dibaca. Saya bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali menyelesaikan sebuah buku secepat saya menyelesaikan Irama Orang-Orang (Menolak) Kalah.
Menarik untuk menyimak bagaimana dangdut yang dibawakan oleh Rhoma Irama mulanya dianggap musik kampungan sepanjang 1970-an hingga 1980-an. Hal ini kontras dengan aliran musik rock dan pop yang disebut sebagai musik gedongan. Adanya media seperti radio dan televisi, membuat musik dangdut kian populer.
Kenyataan bahwa musik dangdut “laku” di pasaran ternyata empat membuat grup musik yang tadinya berada pada kubu musik gedongan pun turut mengadopsi irama dangdut atau melayu.
Olok-olok perbedaan kelas pun menjadi “pepesan kosong”, karena kemudian dalam ranah industri musik populer logika yang berlaku adalah logika niaga (hlm. 42).
Seiring dengan popularitasnya, musik dangdut sempat diwacanakan sebagai musik nasional pada 1990-an. Pada masa ini, status musik dangdut meningkat dari yang semula dianggap hanya didengarkan oleh masyarakat kelas bawah, menjadi dinikmati pula oleh kalangan menengah dan elite.
Namun hal itu kemudian batal lantaran Orde Baru mendefinisikan musik nasional sebagai musik yang dinyanyikan dengan bahasa Indonesia dan didukung oleh elemen musik tertentu (instrumen, melodi, dan ritme) yang merupakan model dari Barat.
Dengan demikian, musik dangdut yang mulanya terpusat di Ibukota dan digadang-gadang menjadi musik nasional harus ‘pulang’ ke asal daerahnya masing-masing dan menjadi musik lokal.
Kisah Sang Raja Dangdut
Rhoma Irama mengawali karir musiknya melalui OM Chandraleka pada tahun 1968. Pada saat itu, ia masih menggunakan nama panggung Oma Irama di mana Oma merupakan panggilan masa kecilnya. Rhoma Irama — masih menggunakan nama Oma Irama — membentuk kelompok dangdut sendiri, OM Soneta, pada tahun 1970.
Tahun 1975 merupakan titik balik Rhoma Irama di mana pada tahun tersebut ia naik haji. Perubahan paling kentara terletak pada penambahan “R” dan “H” di depan namanya. Keduanya merupakan kependekan dari Raden dan Haji. Raden Haji Oma Irama menjadi Rhoma Irama.
Perbedaan juga terletak pada tema-tema lagu Rhoma Irama. Sebelum melaksanakan rukun Islam ke-5 tersebut, tema yang ia bawakan berkisar pada cinta dan kehidupan sehari-hari. Sepulang dari berhaji, ia menyuarakan persoalan moralitas dan menjadikan dangdut sebagai medium dakwah.
Rhoma Irama menjadi penyanyi yang lagunya paling banyak diputar di radio pada 1980-an. Ketenaran Rhoma Irama antara lain karena kelihaiannya meracik tema kehidupan sehari-hari dengan bahasa yang dekat dengan rakyat. Kedekatan, baik secara tema maupun bahasa, membuatnya digemari oleh banyak orang sehingga kemudian dinobatkan sebagai Raja Dangdut.
Selain bermusik, Rhoma Irama juga aktif membintangi film dan terjun ke gelanggang politik. Pandangan hidupnya tidak hanya mewujud dalam teks lagunya yang bernafaskan moralitas dan keagamaan. Rhoma Irama juga terlibat dalam aktivitas politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sepanjang 1977–1982.
Keberpihakannya kepada PPP di masa kekuasaan Partai Golongan Karya (Golkar) membuatnya sempat dicekal untuk tampil di TVRI, satu-satunya stasiun televisi pada saat itu.
Meskipun demikian, hal itu tidak membuat popularitas Rhoma Irama menyurut. Justru sebaliknya, penjualan albumnya makin meroket dan, pada gilirannya, ia dicitrakan sebagai simbol pemberontakan terhadap Orde Baru.
Buku ini lalu membuat saya berpikir, “ternyata dulu tuh ada kayak gini, toh.”
Ya, saya termasuk generasi yang besar di masa ketika Rhoma Irama tak lagi banyak diperbincangkan. Meski samar-samar saya mengetahui namanya, saya tidak familier dengan sepak terjang Rhoma Irama di masa lampau. Lebih-lebih mengenai konflik antara Rhoma Irama dan Inul Daratista.
Konflik Rhoma Irama dengan Inul Daratista muncul pada tahun 2003 ketika pada saat itu saya baru berumur 1 tahun. Belum ada malah, karena polemik itu terjadi di sekitar Februari — Maret. Mana ada bayi 1 tahun memahami apa-apa yang sedang berlangsung di sekitarnya?
Rhoma Irama vs Inul Daratista
Inul Daratista booming pada tahun 2003 karena kemunculannya dengan “goyang ngebor”. Rhoma Irama merespons dengan kecaman terhadap Inul karena dianggap telah mencemarkan kehormatan dangdut.
Dalam imajinasi Rhoma Irama, dangdut merupakan musik dengan goyangan dan busana sopan nan elegan. Menggunakan dalil agama, Rhoma Irama pun menilai gerakan Inul melewati batas-batas norma agama dan oleh karenanya, ia menyerukan boikot terhadap Inul.
Selain itu, Rhoma Irama ternyata juga mengeluarkan larangan kepada Inul Daratista dan Anisa Bahar untuk menyanyikan lagu-lagunya.
Patut diduga, kehadiran Inul Daratista dan industri dangdut koplo di belakangnya telah mengusik eksistensi Rhoma Irama. Namun apakah ini perkara moral semata?
Sebelum muncul di televisi, Inul telah tampil dari panggung ke panggung, dari satu daerah ke daerah lainnya. Ketenarannya pun telah terbangun sebelum ia hadir di layar kaca. Selama itu pula, Rhoma Irama tidak pernah bereaksi apapun terhadap Inul Daratista.
Hanya saja, moncernya karir Inul Daratista ternyata nyaris bersamaan dengan menurunnya pendapatan Rhoma Irama dari aspek penjualan album.
Sementara kepopuleran Inul Daratista dengan dangdut koplonya disokong oleh peredaran VCD (bajakan), Rhoma Irama mengklaim “jangankan untung, balik modal saja tidak.”
Label Rekaman, Hajatan, dan VCD Bajakan
Dangdut koplo beroperasi melalui cara yang berbeda dengan dangdut (populer). Di bab “Konteks Sosiokultural Dangdut Koplo”, penulis menyoroti perbedaan ini. Musik populer—termasuk di dalamnya adalah dangdut—sangat bergantung pada label rekaman.
Produser rekaman memiliki kuasa untuk menentukan genre dan standar musik yang akan diproduksi. Penyanyi atau grup musik akan melakukan rekaman sesuai arahan produser dan merilisnya dalam bentuk album.
Setelah terbentuknya album, label rekaman mendistribusikan rilisannya kepada jejaring toko musik. Penampilan panggung, dalam hal ini, merupakan sarana promosi untuk album terbaru mereka.
Di sini kita paling tidak dapat melihat bagaimana kekuasaan terpusat pada pemilik modal, yaitu label rekaman. Penyanyi dan grup musik berada di rantai paling akhir, sekaligus dengan ruang gerak paling terbatas.
Berkebalikan dengan musik populer, dangdut koplo bertumpu pada pertunjukan panggung. Ada banyak pihak yang terlibat mulai dari produksi hingga distribusi.
Penyelenggara acara, selaku pihak pertama, mengundang orkes dangdut koplo untuk mengisi hiburan yang umumnya dinikmati secara gratis. Selanjutnya, pemilik acara menyewa jasa perekaman (video shooting) untuk mendokumentasikan panggung hiburan. Baik orkes dangdut koplo maupun jasa perekaman, masing-masing dibayar untuk tugasnya yang spesifik.
Rantai selanjutnya adalah jasa perbanyak/pengganda VCD. Proses penggandaan bisa sekaligus ditangani oleh jasa perekaman ataupun pihak ketiga yang khusus bertugas menggandakan VCD. Proses ini dilakukan atas kesepakatan pemilik acara dengan jasa pengganda VCD.
Pada gilirannya, penjual VCD — yang sering juga disebut penjual VCD bajakan — sebagai pihak keempat mengedarkan VCD pertunjukan dangdut koplo dengan harga relatif murah. Dari para pelapak VCD inilah publik mengenal orkes dangdut koplo.
Tentu saja Orkes dangdut koplo tidak merasa dirugikan dengan hal ini karena mendapatkan bayaran atas pertunjukan panggungnya. Dengan beredarnya rekaman penampilan mereka, orkes dangdut koplo makin dikenal masyarakat sehingga undangan untuk tampil pun akan berdatangan.
Dangdut koplo beroperasi dengan pola produksi, distribusi, dan konsumsi yang berbeda dengan dangdut yang berwajahkan Rhoma Irama.
Dangdut koplo bertahan, bahkan hadir, dengan adanya VCD bajakan. Sementara di sisi lain, Rhoma Irama meradang kerugian akibat hal ini. Aspek ekonomilah yang begitu mengganggu Rhoma Irama sehingga ia menyerang Inul Daratista dengan wacana moralitas dan illegalitas.
Rhoma Irama memiliki histori panjang dengan dangdut. Ia telah membangun kariernya bersama OM Soneta, menyuarakan kritiknya melalui dangdut, dilarang tampil di TVRI pada masa Orde Baru, hingga ditahbiskan sebagai Raja Dangdut.
Pada titik ini, apa yang dilakukan Rhoma di kemudian hari menjadi terasa ironis, betapa Rhoma yang pernah dicekal penampilan dan penjualan rilisan musiknya kini justru melakukan strategi ‘otoritarian’ dan praktik kuasa yang serupa kepada Inul (hlm. 98).
Wacana moralitas yang ia gunakan untuk menolak Inul juga menjadi kontradiktif dengan kemunculan berita mengenai kebersamaan Rhoma dengan seorang perempuan di sebuah apartemen di Jakarta.
Sebuah Catatan
Terus terang, pemaparan di sub-bab “Orang-orang sebagai Infrastruktur” menyadarkan saya pada fenomena industri musik mutakhir dengan K-Pop sebagai salah satu genre yang saya konsumsi.
Ya, betapa terpusatnya industri musik K-Pop hari ini. Sejak menjadi trainee hingga perkara promosi, idol (artis K-Pop) ditangani oleh agensi. Pihak agensilah yang menentukan kapan seorang trainee debut dan bagaimana format grupnya.
Jika terjadi mistreatment terhadap seorang idol, fandom akan ramai-ramai mengkritisi agensi atas ketidakadilan tersebut. Tindakan ini seringkali diikuti dengan kemarahan sebab agensi (terlalu) sering memperlakukan idolnya dengan tidak layak. Ketika suatu konten (di media sosial) atau konser tidak memenuhi harapan fandom, mereka juga melancarkan protesnya pada agensi.
Dari sini kita dapat membaca betapa kuatnya posisi agensi.
Tidak semua musik Korea masuk dalam “kategori” musik K-Pop. Selain K-Pop, terdapat pula K-Band, K-Hiphop, K-RnB, dsb. Genre dalam K-Pop sendiri juga merentang luas. Agensi juga bukan satu-satunya bentuk industri musik Korea. The Rose (band), BI (soloist), Dream Perfect Regime (grup) merupakan contoh musisi yang memiliki perusahaan sendiri.