M. Quraish Shihab menyatakan bahwa qurban adalah syariat yang telah dijalankan jauh sebelum Nabi Muhammad SAW. (syar’u min qablina) yang masih terjaga dan lestari hingga sekarang. Dijelaskan, pada masa sebelum Nabi Muhammad diutus, qurban adalah sebuah ritual persembahan kepada berhala mereka dengan menyerahkan daging qurban untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala yang sangat mereka muliakan.
Problematika yang dialami Nabi Muhammad SAW. pada satu sisi, qurban menjadi sejarah penting penuh makna terutama tragedi besar yang menimpa bapak para Nabi dan putranya, Nabi Ibarhim as. dan Nabi Isma’il as.. Pada sisi yang lain, budaya qurban saat Nabi Muhammad di utus telah mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan yang berdampak sangat besar pada aqidah.
Membaca realita qurban dengan kejernihan adalah tugas besar, mengingat qurban adalah budaya yang sangat berharga. Apalagi posisi Nabi yang berdiri dalam dua dimensi. Dimensi sebagai utusan Tuhan yang bertugas menyampaikan maksud dan tujuan Allah serta dimensi sebagai manusia yang tidak lepas dari sifat manusiawinya.
Menghadapi kerumitan problematika diatas, Allah menurunkan ketentuan berqurban sebagai solusi atas masalah yang menimpa Nabi Muhammad SAW.. Ketentuan tersebut adalah QS. Al-Hajj [22]: 37.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Dalam Tafsirnya, al-Wasith, Wahbah Zuhaili berkata: tujuan akhir dari berqurban adalah bukan menyerahkan daging dan darah untuk Allah melainkan untuk membuktikan ketakwaan dan keikhlasan, menjalankan kebaikan. Tujuan pembersihan ini manfaatnya kembali pada manusia itu sendiri. Apabila baguss perbuatan seseorang maka baiklah hatinya (Wahbah Zuhaili: 2001, Vol. 2, 1648). Dengan mengutip pendapat al-Ghazali (1058- 1111 M), Raihani dalam Tafsir Imam al-Ghazali menjelaskan maksud taqwa. Menurutnya, taqwa adalah sifat menguasai hati yang mengantarkan untuk menjalankan perintah-perintah Allah (Muhammad Raihani: 2010, 231).
Dalam pengamatan penulis, QS. Al-Hajj [22]: 37 diatas adalah sebuah solusi yang menakjubkan bahkan semangatnya perlu untuk di bumikan secara masif lebih-lebih kondisi sekarang. Tanpa menghapus tradisi lama berjalan namun bisa untuk merubah kesalahan-kesalahan yang di lakukan masyarakat Arab pada waktu itu.
Ibnu Katsir (700-774 H.) dalam ‘Umdah al-Tafasir telah menjelaskan tujuan Allah ketika mensyariatkan qurban. Menurutnya qurban adalah agar ingat (dzikr) kepada Allah atau sebagai sarana dan wasilah agar ingat kepada Allah SWT.. Lebih lanjut, dengan mengutip salah satu hadis Nabi, innallah laa yanzhuru ilaa shuwaarikum walaakinnallaha yanzhuru ilaa quluubikum wa a’maalikum “sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa kalian melainkan Allah melihat pada hati dan perbuatan kalian” (Ibnu Katsir: 2005, Vol. 2, 596).
Konsep dan inti solusi yang di berikan Allah adalah tetap fokus pada nilai esensial agama tanpa merubah bentuk budaya yang telah berkembang tersebut. Dalam sebuah kaidah disebutkan “al-’Ibrah bi al-jauhar laa bi al-midhhar”, yang semestinya perlu ditekankam adalah nilai esensialnya bukan bentuknya. Dalam konteks qurban, menurut Ibn Hayyan (654-745) dalam Bahr Muhith, nilai esensial qurban agar tidak sia-sia dan diterima oleh Allah adalah menjaga niat, ikhlas, dan taqwa ( Abi Hayyan: 2002, Vol. 6, 451).
Mengomentari nilai esensial qurban yang di paparkan oleh Abu Hayyan, kunci ibadah bisa berkualitas dalam pandangan Allah adalah dengan kebersihan dan tertata rapinya kondisi hati seseorang. Untuk itu dalam dunia Tasawuf, mengutip pandangan al-Ghazali, ibadah hati lebih utama dari pada ibadah zhahir, mengingat dihatilah kunci segala ibadah bisa dinilai berkualitas (Muhammad Raihani: 2010, 232).
Ibadah tidak terbatas dan berhenti pada bentuk perbuatannya, namun harus dibarengi dengan keikhlasan. Taqwa adalah menyaksikan Allah yang haq dengan sifat keesaannya sehingga pendekatan kita tidak mengharapkan perhatian dan balasan orang lain (Qusyairi: 2007, Vol. 2, 322). Dalam Tafsir Imam al-Ghazali dijelaskan, yang dimaksud taqwa adalah sifat menguasai hati dan mengantarkan untuk menjalankan perintah-perintah Allah (Muhammad Raihani: 2010, 231).
Dari paparan diatas, diantara kesimpulan yang dapat kita peroleh dan nikmati adalah pentingnya mendamaikan antara tradisi dan nilai-nilai agama agara tradisi tidak kering dari nilai spiritual dan nilai agama dapat menyatu pada masyarakat. Islam dan budaya memiliki relasi kuat yang tidak terpisahkan. Namun, Islam tidak kaku dalam menghadapi perubahan zaman dan kondisi (Kastaloni dan Abdullah Yosuf: 2016, 52). Dari kesadaran nilai spiritual inilah, para ulama Tasawuf menilai bahwa kontrol hati begitu penting, mengingat dihatilah ditentukannya perbuatan seseorang memiliki kualitas atau tidak dihadapan Allah SWT.. Pesan Allah dalam QS. Al-Hajj [22]: 37 tentang nilai keikhlasan dan ketaqwaan menjadi pelajaran dan tauladan berharga yang telah di contohkan Nabi Muhammad SAW. melalui bimbingan wahyu Ilahi. Dengan spiritualitas inilah budaya dan agama benar-benar bisa menjalin simbiosis mutualisme. Wallahu a’lam bi al-shawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir alqur’an.