Berbicara tentang perkembangan khazanah intelektual Islam, tentu yang terbayang pertama kali adalah sosok-sosok ulama dengan sederet karyanya. Karya itu mewakili perkembangan keilmuan sesuai kapasitas dan disiplin ilmu yang ditekuni. Hingga kini, umat Islam tentu berhutang besar terhadap mereka para ulama yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya demi perkembangan intelektual islam.
Namun dalam hal ini, ada hal yang tidak banyak mendapat sorotan pengkaji sejarah. Hal ini memang sifatnya sangat elementer, dan menjadi pondasi dasar perkembangan pengetahuan serta intelektual muslim. Namun perannya begitu penting. Hal ini kaitannya dengan persebaran transmisi pengetahuan antar masyarakat dan antar generasi. Apakah hal tersebut? Iya hal tersebut adalah aktivitas pinjam-meminjam buku.
Setiap proses aktivitas keilmuan, pasti akan meniscayakan proses transfer dan transmisi keilmuan antar satu individu pada individu lain. Begitu pula ketika masa awal-awal, proses pinjam meminjam buku adalah salah satu tenaga besar yang menggerakkan. Karena memang pada saat itu, fasilitas masih serba terbatas. Tidak semua orang yang belajar kepada seorang ulama misalkan, punya fasilitas untuk langsung menulis. Kertas masih menjadi fasilitas yang ‘wah’ bagi sebagian kalangan. Oleh sebab itu, mereka memanfaatkan catatan-catatan dan buku temannya untuk d salin kemudian lantas disebarkan.
Begitu pula dalam perkembangan ilmu hadis. Pada awal berkembangnya ilmu hadis, memang mulai banyak pihak yang sangat mulai memperhatikan ilmu hadis. Utamanya ketika turun perintah langsung dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mulai menulis dan mengkodifikasi hadis-hadis Rasulullah. Sebelumnya, para sahabat dan tabi’in masih ragu untuk mulai menulis, karena secara nash tidak ada perintah langsung dari Rasulullah semasa hidupnya. Beberapa sahabat bahkan secara tegas, menolaknya.
Namun Pembukuan ini akhirnya dilakukan atas kekhawatiran Umar bin Abdul Aziz terhadap kehilangan dan ketidak terpeliharanya hadis-hadis Nabi. Beliau khawatir dengan meninggalnya para sahabat di peperangan, menyebarnya para ulama ke berbagai wilayah dan diiringi kewafatan mereka dan munculnya hadis-hadis palsu dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Tercatat ulama yang pertama kali mulai membukukan dan mengkodifikasi hadis adalah Imam Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 51-124 H). Ia berhasil melaksanakan titah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk sedikit berikhtiar untuk mengumpulkan hadis Rasulullah. Namun kita tahu sendiri, posisi kertas atau kitab pada masa itu merupakan barang yang mahal. Tidak semua orang mempunyai akses dan punya cukup uang untuk membeli kitab atau sekedar kertas untuk menyalin. Dari sini kemudian, berkembang budaya meminjam catatan-catatan mereka yang telah mendengar hadis. Jika seseorang misalkan telah menemui guru-guru hadis dan membukukannya, maka teman-temannya yang lain pun meminjam catatan-catatan temannya untuk disalin. Begitulah seterusnya.
Hal tersebut membuat masyarakat tingkat bawah pun sangat antusias dalam mencari atau menyalin hadis-hadis yang telah ditulis oleh para ulama. Aktivitas tersebut sangat menggeliat di kalangan grass root masyarakat. Hal tersebut juga didukung dengan doktrin Islam yang juga selaras dengan semangat keilmuan. Sebagaimana pesan Rasulullah dalam salah satu sabdanya:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku, sekalipun hanya satu ayat”
Siapapun yang mempunyai ilmu dan catatan buku pada waktu itu, akan berbesar hati untuk meminjamkan catatannya pada orang lain. Bahkan Imam Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 51-124 H) atau yang lebih dikenal dengan az-Zuhri seorang tokoh pelopor dan peletak dasar pertama ilmu hadis sendiri pernah berpesan kepada Yunus b. Zaid (w. 159 H) terkait hal ini. Kisah ini dituturkan oleh Khatib al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaqi al-Rawi wa Adab al-Sami’. Suatu ketika az-Zuhri berpesan kepada Yunus b. Zaid:
إيَّاك وغُلُول الكتب
“Berhati-hatilah engkau akan sifat berlebihan terhadap buku”
“Maksudnya apa Wahai Imam Zuhri?” tanya Yunus b. Zaid yang agak kurang menangkap pesan dari Az-Zuhri. Lantas Imam Zuhri menjawab:
حبسُها عمَّنْ يطلبُها
“Maksudnya ketika ada seseorang yang sedang membutuhkan bukumu, tapi kamu justru menolaknya”
Imam Zuhri memandang di tengah kondisi keterbatasan, tak selayaknya seseorang terlalu membatasi atas ilmu yang mereka peroleh. Sesuai kodrat ilmu, ilmu harus disampaikan. Baik itu sedikit maupun banyak.Oleh sebab itu Imam Zuhri terus mendoktrin para muridnya untuk selalu murah hati dalam meminjamkan buku.
Imam Suyuthi sendiri dalam Alfiyah haditsnya menyebut bahwa diantara salah satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang perawi hadis ketika baru mendengar sebuah hadis dari seseorang hendaknya untuk menulis dalam catatannya, kemudian jika sudah selesai ia tulis. Ia juga dianjurkan untuk meminjamkan catatan orang lain untuk disalin. Hal ini agar, hadis yang ia terima tidak berhenti pada dirinya saja. Akan tetapi bisa meluas dan menyebar pada orang-orang lain di sekitarnya. Hal tersebut salah satunya bisa dicapai dengan meminjamkan buku catatanya.
وَمَنْ سَمَاعُ الْغَيْرِ فِي كِتَابِهِ * بِخَطِّهِ أَوْ خُطَّ بِالرِّضَى بِهِ
نُلْزِمُهُ بِأَنْ يُعِيرَهُ،
“Barangsiapa yang mendengar hadis dari orang lain dalam kitabnya sendiri, atau tulisan orang lain tapi -atas izinnya- maka ia wajib untuk meminjamkan buku tersebut kepada orang lain.”
Oleh sebab itu tak heran jika Imam Waki’ bin Jarrah pun pernah mengatakan bahwa apa yang telah dicapai para ulama hadis saat ini, dengan semakin tersebarnya ilmu hadis, tidak lain bermula dari budaya pinjam-meminjam buku.
أَوَّلُ بَرَكَةِ الْحَدِيثِ إِعَارَةُ الْكُتُبِ
“Awal mula keberkahan ilmu hadis bisa dirasakan adalah bermula dari budaya pinjam-meminjam buku”
Pernyataan Imam Waki’ bin Jarrah pun sangat beralasan. Andaikata perkembangan ilmu hanya dikuasai oleh para intelektual muslim saat itu dan orang-orang yang sudah mempunyai akses mudah terhadap buku, mungkin saat ini kita tidak akan bisa menikmati kajian tersebut. Akan tetapi berkat adanya budaya meminjamkan buku pada lapisan masyarakat paling bawah, pada akhirnya ilmu pengetahuan Islam kemudian berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Meminjamkan buku seolah menjadi ruh yang menggerakkan gelora keilmuan Islam di tengah-tengah keterbatasan.