Secara geografis, bangsa Arab terbagi menjadi dua wilayah, yaitu pedalaman (badui) dan perkotaan. Masyarakat pedalaman (badui) dikenal sebagai bangsa nomaden, yaitu bangsa yang suka berpindah – pindah dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Budaya Arab badui yang nomaden ini juga ada hingga masa Nabi.
Budaya nomadik ini dilatarbelakangi karena letak geografis mereka yang diselimuti oleh tanah kering dan gurun pasir. Mereka berusaha mencari tempat subur setidaknya dapat dihuni oleh tumbuh – tumbuhan seperti kurma, anggur, gandum yang menjadi tumbuhan khas di wilayah mereka untuk bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan ternak mereka seperti onta, kuda dan biri – biri.
Hal ini berbeda dengan penduduk Arab di perkotaan terutama mereka yang hidup di wilayah pesisir yang memperoleh bahan makanan dari laut. Selain itu pesisir Arab juga merupakan pusat lalu-lalang orang-orang dari berbagai bangsa dan daerah untuk melakukan perdagangan. Sehingga bisa dikatakan perekonomian Arab di daerah pesisir lebih baik dari pada masyarakat Arab badui yang hidup di pedalaman.
Fakta di atas melatarbelakangi adanya sebuah aksi dan reaksi antara masyarakat Arab badui dan Arab perkotaan. Orang-orang badui (nomaden) pada masa pra Islam selalu berupaya untuk mendapatkan kebutuhan pokok yang tidak mereka miliki kepada orang-orang kota. Salah satu kebiasaan yang mereka lakukan adalah dengan melakukan barter yaitu tukar menukar barang yang senilai untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Bahkan tak sedikit dari kalangan badui yang melakukannya dengan cara kekerasan seperti merampok. Hal ini yang menjadikan orang-orang badui dikenal sebagai makelar atau perampok darat.
Dari kebiasaan hidup nomadik inilah justru menjadi mata air inspirasi bagi masyarakat pada masa itu untuk menciptakan berbagai karya sastra yang epik. Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat yang gemar bersya’ir, membuat beberapa karya sastra baik tertulis maupun tidak seperti, sya’ir, hikmah, puisi dan lain sebagainya.
Term al-mu’allaqah al-sab’ah menjadi tolak-ukur untuk mengapresiasi syar’ir-syai’r yang dianggap terbaik sehingga layak untuk ditelakkan di dinding Ka’bah. Namun sayangnya, di samping kentalnya budaya seni ini tidak dibarengi dengan etika yang sejalan.
Masyarakat Arab baik nomadik maupun menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Identitas sosial pada masa itu berasas pada keanggotaan dengan ranah komunitas yang luas. Adanya kabilah (clan) dan suku (tribe) mengharuskan masyarakat untuk bersikap loyal agar bisa bertahan hidup dan menemukan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, mereka tidak mengenal batasan. Bahkan budaya poliandri, sebagaimana tergambar dalam hadis riwayat sayyidah Aisyah RA yang menceritakan polemik pernikahan pada masa jahiliyah. Salah satunya adalah seorang perempuan berhubungan lebih dari 10 laki-laki sekaligus yang sudah menjadi kebiasaan.
Perzinahan bukan menjadi hal yang tabu untuk dilakukan karena dianggap bukan merupakan aib pada masa itu. Dari hubungan yang sah, poligami dan hak perceraian di tangan suami tanpa batasan maksimal juga menjadi hal yang wajar, bahkan hal ini dianggap menaikkan status sosial seseorang di masyarakat. Tak heran jika sebagian peperangan antar suku disebabkan oleh sikap semena-mena mereka terhadap perempuan.
Budaya adalah cerminan dari tingkah laku masyarakat yang terus menerus dilakukan hingga menjadi sebuah karakteristik yang khas. Budaya dan kondisi sosial Arab pra Islam dikenal minim akan moralitas menjadi latar belakang lahirnya Islam sebagai peradaban baru yang menjunjung nilai akhlaq al-karimah untuk umatnya sebagai makhluk sosial dan beradab. (AN)
Wallahu a’lam.