Sudah hampir 20 tahun terakhir Bu Sinta Nuriyyah Abdurrahman Wahid, menggelar sahur dan buka bersama dengan kalangan masyarakat bawah, yang dilaksanakan dengan kalangan non-muslim. Beliau, seperti sang suami, ingin menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk menyapa kalangan bawah dan mereka yang dianggap berbeda. Bu Sinta datang ke daerah-daerah terpencil dan ke tempat-tempat yang kalangan agama mungkin banyak mengabaikan.
Nurlaeya Diryat, seorang aktivis muslimah di Purwokerto, yang pernah menjadi bagian panitia sahur keliling bersama dengan beliau tahun 2004, menceritakan bagaimana bu Sinta berbuka dengan para pemulung di lokasi TPA yang kumuh, dengan ODHA, dengan masyarakat miskin kota, dengan penderes kelapa di ujung lereng Gunung Slamet, bahkan dengan para penghuni sebuah RS Jiwa, termasuk Sumanto di dalamnya. Kesaksian-kesaksian seperti ini pasti akan lebih banyak lagi kita peroleh dari mereka yang mengikuti dari dekat.
Beliau ingin menjadi “jembatan”. Menyambung yang putus, merapatkan yang renggang, mempertemukan yang belum saling kenal dalam sebuah momen kebersamaan. Sebenarnya dalam tradisi (Islam) Nusantara, apa yang beliau lakukan bukanlah hal baru. Cukup sering kita mendengar cerita bagaimana (dulu) di sebuah kawasan, masyarakat yang beda agama saling gotong royong membangun rumah ibadah dan berbaur dalam sebuah upacara desa. Akhirnya, apa yang beliau ingin lain lakukan tak lain menghadirkan Islam benar-benar sebagai “rahmat” bagi semua orang, bagi seluruh buana, bagi segenap jagat.
Tentu ada yang tidak sependapat dan bersimpang pandangan dengan beliau. Bahkan mungkin di kalangan pesantren dan NU sendiri. Itu wajar, dan pasti akan beliau hormati, sejauh dikemukakan secara baik, sopan dan terhormat.
Tapi tidak, sejumlah orang, mulai seorang mantan caleg gagal hingga pemuda baru kenal agama, menghardik dan menghina beliau dengan kasar dan benar-benar keluar dari semangat persaudaraan dan kemanusiaan. Mereka seolah beragama, merasa paling Islam, tapi cara mereka mengemukakan keberatan sangat jauh dari akhlak Islam.
Jadi saudara, silahkan berprihatin pada bu Sinta, tapi tak perlu kasihan. Bu Sinta, Insya Allah kuat dan sabar. Sejak mendampingi sang suami, beliau sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang keras dan kasar seperti itu. Justru kita harus kasihan pada mereka, karena hatinya penuh bara api, kemarahan, dan dendam. Kepicikan telah menutupi nur yang ada di kepala mereka. Sungguh merekalah yang harus kita kasihani.
Sementara itu saudara, nun jauh di Mesir sana, Universitas Al-Azhar baru-baru ini di laman fesbuk resminya memberikan penghormatan kepada mediang sang suami, Abdurrahman Wahid, sebagai Bapak Demokrasi Indonesia, dan menjadi salah dua orang Indonesia yang dihormati di sana, selain Sukarno.
Dengan kenyataan ini, bertambah-tambah kasihanlah kita pada mereka yang menghardik dan menghina Bu Sinta… karena pasti mereka bingung sendiri bagaimana menghardik dan menghina Universitas Al-Azhar. Bukankah bu Sinta sebenarnya meneruskan kiprah sang suami yang justru dipuji dan disanjung Al-Azhar…