BPJS Ketenagakerjaan untuk Para James Bond dan Jalan Berliku Memakmurkan Masjid

BPJS Ketenagakerjaan untuk Para James Bond dan Jalan Berliku Memakmurkan Masjid

BPJS Ketenagakerjaan untuk Para James Bond dan Jalan Berliku Memakmurkan Masjid
Masjid atau musholla adalah rumah umat Islam (Andir Erik/ISLAMIDOTCO)

Harapan kita terhadap masjid sangat tinggi. Keinginan untuk mengembalikan masjid ke perannya seperti di era-era awal Islam sebagai pusat kegiatan umat kerap menjadi impian hampir semua orang. Ia tidak dibayangkan hanya menjadi tempat ritual-ritual formal tapi juga bisa menjadi pusat pendidikan, pusat pengembangan sumber daya manusia, pusat peradaban dan lain sebagainya.

Tingginya harapan itu, tentu bukan semata karena alasan nostalgia. Jumlah masjid yang mencapai ribuan dan menjangkau hingga di pelosok negeri sangat signifikan sebag okai sarana untuk mengoptimalkan potensi umat secara merata.

Terlebih saat ini peran serta tokoh agama dianggap sangat penting seiring merosotnya kepercayaan publik terhadap pejabat publik atau tokoh politik. Melalui tokoh agama atau mimbar-mimbar keagamaan di masjid upaya pembangunan masyarakat bisa lebih diterima.

Namun gagasan revitalisasi masjid ini memerlukan sejumlah syarat. Masjid harus dikelola secara profesional. Ada orang-orang kompeten, berdedikasi yang bisa menjadi motor penggerak di belakangnya, ada program yang disusun dengan baik dan relevan dengan kebutuhan jamaah, ada manajemen yang rapi, ada sumber dana yang cukup untuk membiayai program kegiatan, dan seterusnya.

Beberapa masjid sudah berhasil mencapai tingkat yang idealkan. Namun jauh lebih banyak lagi masjid yang masih apa adanya, yang baru berfungsi sebagai tempat salat lima waktu, pengajian mingguan atau selapanan, dan sesekali tempat menyiarkan kerja bakti atau berita duka.

Mewujudkan masjid yang profesional memang bukan perkara mudah. Menyiapkan tenaga Takmir yang cakap dan profesional juga tidak murah. Perlu bimbingan teknis, pelatihan, pendampingan, jaringan, kesabaran, keuletan dan sebagainya. Dan semua itu memerlukan perjuangan serta pengorbanan yang tidak sedikit baik berupa biaya, tenaga maupun waktu.

Kenyataannya, upaya-upaya samacam itu masih terbatas. Kerja sebagai Takmir dan marbot masjid kebanyakan baru bersifat sosial. Mereka dipilih dari anggota masyarakat yang secara suka rela mau meluangkan waktunya untuk peduli dan terlibat mengurus masjid. Karena itu, pengelolaan masjid pun dilakukan tidak secara profesional. Tidak ada target, tidak ada program prioritas, kecuali jika ada sejumlah sarana yang perlu perbaikan segera.

Sebab sifatnya yang sosial pula, tidak ada anggaran khusus untuk Takmir atau marbot. Perhatian kepada Takmir dan marbot biasanya diberikan setahun sekali, pada saat lebaran berupa bingkisan atau percel. Para pengurus masih disibukkan dengan perdebatan tentang status uang infak masjid jika dialokasikan untuk menggaji Takmir atau marbot. Memberikan atau menerima gaji dari pekerjaan sebagai takmir atau marbot masjid, di banyak tempat, masih dianggap tabu. Maka, untuk amannya uang masjid digunakan untuk pembangunan yang bersifat fisik.

Karena itu, inisiatif DMI (Dewan Masjid Indonesia) Kabupaten Sleman menjalin kerja sama dengan BPJS ketenagakerjaan untuk memberikan pelayanan kepada para Takmir dan marbot (yang diistilahkan dengan James Bond, singkatan dari penjaga masjid dan tukang kebon) menjadi terobosan menarik. Apresiasi kecil tersebut selain sebagai bentuk terima kasih juga diharapkan bisa menjadi langkah awal untuk membangun keterikatan masjid dengan pengurusnya dan selanjutnya dengan jamaahnya.

DMI Kabupaten Sleman sedang berkeliling untuk mensosialisasikan usulan tersebut ke semua pengurus di setiap kapanewon. Dalam pertemuannya dengan perwakilan pengurus Takmir se-Kapanewon Berbah pada tanggal 20 Februari 2025 lalu di pendopo Kapanewon, ketua DMI Kapubaten mengusulkan agar para pengurus takmir mendaftarkan anggota Takmir, minimal para imam salat rawatib, muazin dan marbot ke BPJS Ketenagakerjaan.

Usulan itu didasari oleh pengalaman di lapangan bahwa para James Bond selama ini belum mendapatkan perhatian yang memadai. Tidak ada gaji tetap, apalagi tunjangan kesehatan atau bantuan lain kepada keluarganya, padahal mereka bekerja hampir tiap hari. Ketika mereka sakit atau meninggal dunia apresiasi atas kerja mereka juga minim.

Dengan mendaftarkan ke BPJS ketenagakerjaan para James bond, yang kebanyakan sudah lanjut usia, sakit atau meninggal dunia, ada bantuan pembiayaan selama dirawat atau santunan kematian yang diperoleh dari BPJS. Pihak BPJS juga menjelaskan sejumlah dispensasi untuk program ini. Misalnya, tidak ada batas usia untuk keanggotaan ini. Jika biasanya ada batas maksimal usia 65, maka untuk program kerja sama ini dikecualikan. Syarat-syarat lainnya juga mudah.

Mengingat belum ada alokasi dari APBD untuk para pekerja sosial keagamaan, seperti Takmir dan marbot (meski untuk perangkat pemerintahan setingkat RT dan RW sudah ada), pembayaran premi atau iuran bulanan untuk sementara dibayar sendiri-sendiri oleh masing-masing James Bond atau ditanggung oleh kas Takmir. DMI Kabupaten akan berjuang agar nantinya ada alokasi anggaran untuk para James Bond, sehingga semua kewajiban premis akan bisa ditutuo dari sana.

Namun, ketika usulan program ini ditawarkan ke masjid-masjid, respons para pengurus beragam. Ada yang pro dan ada yang kontra. Resistensi dari kalangan pengurus takmir muncul, salah satunya dari faktor kepercayaan. Banyak yang belum percaya dengan BPJS. Seperti banyak lembaga pemerintah, BPJS dicurigai hanya sedang berupaya mengumpulkan dana yang nantinya akan dipakai oleh negara atau dikorupsi para pengelolanya.

Belum lagi bayangan soal bertele-telenya prosedur jika akan melakukan klaim. Wakil BPJS Ketenagakerjaan telah mempresentasikan contoh-contoh penenerima manfaat karena keanggotaannya dengan BPJS Ketenagakerjaan, mulai dari driver gojek atau lainnya. Tapi para pengurus juga punya data-data dari pengalaman yang sebaliknya, tentang keruwetan prosedur yang kemudian berakhir pada kegagalan dan keputusasaan. Disukai tentang BPJS Ketenagakerjaan bagi Takmir dan marbot pun mentok.

Kasus di atas barangkali bisa menjadi gambaran betapa berkelok jalan untuk mewujudkan masjid yang ideal. Sinergi dari masing-masing pihak dan saling percaya menjadi faktor penting, selain terus belajar dan berupaya mengelolanya secara profesional, sehingga masjid benar-benar bisa menjadi pusat keagamaan, pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pusat peradaban, seperti yang diharapkan. Bukan semata tempat wisata, yang ramai karena keunikan arsitektur atau spot-spotnya yang _instagramble_ saja.