Sering kali kita melihat azan yang ada di masjid-masjid dikumandangkan oleh seorang laki-laki. Hal ini karena salah satu dari syarat sah azan adalah dikumandangkan oleh seorang laki-laki, itu pun karena shalatnya dilakukan oleh jamaah yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.
“Tidak sah azan perempuan untuk jamaah laki-laki. Sebagaimana disebutkan mushannif (pengarang kitab Muhadzdzab) bahwa pendapat ini adalah pendapat madzhabnya serta pendapat jumhur ulama’ serta pendapat Imam As-Syafii dalam kitab Al-Umm.”
Dalam beberapa komunitas, terkadang kita mendapati kelompok atau komunitas yang hanya terdiri dari perempuan saja. Biasanya mereka melaksanakan kegiatan hanya bersama anggota-anggota perempuan, termasuk melakukan shalat jamaah.
Apakah di antara mereka boleh mengumandangkan azan ketika akan melaksanakan shalat? Sebagaimana azan yang dikumandangkan oleh para laki-laki?
Imam As-Syafii dalam Kitab Al-Umm menjelaskan bahwa perempuan tidak perlu mengumandangkan azan, walaupun mereka melakukan jamaah hanya bersama perempuan.
“Para perempuan tidak perlu azan walaupun mereka berjamaah bersama (perempuan yang lain). Namun jika ada yang mengazani dan mereka hanya melakukan iqamah, maka hal itu diperbolehkan. Dan juga tidak boleh mengeraskan suara mereka saat azan. Sekiranya azan tersebut cukup didengar olehnya sendiri dan teman-teman perempuannya, begitu juga saat iqamah.”
Dari penjelasan Imam As-Syafii tersebut dapat disimpulkan bahwa memang tidak perlu azan, namun jika ada yang azan dan iqamah maka diperbolehkan dengan syarat tidak dilakukan dengan mengeraskan suaranya. Apalagi sampai seperti azan laki-laki, khususnya seperti azan laki-laki yang menggunakan pengeras suara, hingga tidak hanya sahabat perempuan saja yang mendengar, bahkan laki-laki pun bisa mendengarkan.
An-Nawawi dalam Al-Majmu’ juga menjelaskan secara rinci kaitan ketidakbolehan perempuan azan dengan sangat keras. Bahkan ia juga membagi hukum azan bagi perempuan menjadi tiga:
“Adapun jika jamaah perempuan ingin mendirikan shalat, maka terdapat tiga pendapat yang terkenal dan tertulis, baik dalam qaul jadid maupun qaul qadim dan jadid juga jumhur. Pertama, disunahkan bagi mereka iqamah saja, tanpa melakukan azan sebagaimana pendapat mushannif (pengarang Muhadzdzab). Kedua, tidak disunahkan azan dan iqamah sebagaimana tertulis dalam pendapat Al-Buwaithi. Ketiga, disunahkan keduanya sebagaimana pendapat ulama’ Khurasan,”
Adapun pendapat Imam Syafii yang telah kami sebutkan di atas, termasuk kategori pendapat pertama yang hanya menyunahkan iqamah. Dan diperbolehkan azan asal tidak dengan suara yang keras sebagaimana telah disebutkan di atas.
Pendapat Imam As-Syafii ini juga didukung oleh beberapa ulama yang lain, yaitu Al-Buwaithi, Abu Hamid, Qadhi Abu Thayyib, Al-Mahamily dalam dua kitabnya. Tetapi pendapat ini ditolak oleh Abu Ishaq Ibrahim As-Syiraziy yang merupakan pengarang Kitab Muhadzdzab dan Imam Al-Jurjani dalam Kitab At-Tahrir yang berpendapat bahwa tetap dimakruhkan azan.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat-pendapat Imam As-Syafii dan jumhur di atas, disunahkan bagi perempuan cukup melakukan iqamah saat akan berjamaah bersama perempuan. Diperbolehkan azan asalkan azan tersebut tidak keras dan cukup didengar oleh jamaah perempuan saja.
Wallahu a’lam.