Sering kita temukan orang yang menangis saat membaca Al-Quran hingga tersedu-sedu, mulai dari seorang qari di acara pernikahan, hingga ustadz-ustadz yang ada di televisi dan aplikasi berbagi video di dunia maya.
Tangis yang muncul bersamaan dengan pembacaan ayat Al-Quran tersebut tak jarang menarik orang lain untuk sama-sama menangis. Namun tak jarang banyak juga yang menganggap bahwa itu adalah tangis yang sengaja dibuat-buat untuk menarik simpati dan hati dari penonton.
Untuk menjawab ini, pertama yang harus kita perhatikan adalah kita hanya bisa memvonis tangisan yang mengiringi bacaan Al-Quran itu secara zahirnya saja, karena yang menjadi objek hukum adalah perkara zahir, yakni orang tersebut menangis pada saat membaca Al-Quran.
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa menangis saat membaca Al-Quran sangat disunnahkan karena menangis saat membaca Al-Quran adalah sifat atau ciri-ciri orang-orang yang arif dan hamba-hamba yang saleh.
فإن البكاء عند القراءة صفة العارفين وشعار عباد الله الصالحين
Artinya, “Sesungguhnya menangis saat membaca Al-Quran adalah sifatnya orang-orang yang arif dan syiarnya hamba-hambah Allah yang saleh.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Islamiyah, 2004), j. 1, h. 165)
Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa menangis saat membaca Al-Quran adalah salah satu tanda atau implikasi dari kekhusyuan. Dalam hal ini, Imam an-Nawawi mengutip surat al-Isra ayat 109:
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Artinya, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (al-Isra: 109)
Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam Sahih Bukhari juga disebutkan bahwa ketika Abdullah bin Masud diperintahkan Rasul SAW untuk membaca Al-Quran, Rasul menangis.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ نَعَمْ فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ (فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدً ) قَالَ حَسْبُكَ الْآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
Artinya, “Dari Abidah dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, “Bacakanlah Al Qur`an untukku.” Maka aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacanya untuk Anda, padahal kepada engkaulah Al-Quran diturunkan?” Beliau menjawab, “Ya.” Lalu aku pun membacakan surat An Nisa, hingga aku sampai pada ayat, “Dan bagaimanakah sekiranya Kami mendatangkan manusia dari seluruh umat dengan seorang saksi, lalu kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka.” Maka beliau pun bersabda padaku: “Cukuplah.” Lalu aku menoleh ke arah beliau dan ternyata kedua matanya sudah meneteskan air mata. (al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut: Dar Tuq an-Najah, 1422 H), j. 6, h. 196.)
Ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwasanya kesunahan menangis saat membaca Al-Quran karena khusyu’ menghayati dan mentadabburi bacaan Al-Quran. Lalu bagaimana jika ustadz atau qari’ yang membaca Al-Quran pura-pura menangis?
Dalam hal ini Imam an-Nawawi juga telah menjelaskan bahwa pura-pura menangis saat membaca Al-Quran diperbolehkan, bahkan disunnahkan untuk pura-pura menangis jika tidak mampu menangis dengan sendirinya.
ويستحب البكاء والتباكي لمن لا يقدر على البكاء
Artinya, “Disunnahkan untuk menangis dan pura-pura menangis (dipaksa menangis) jika tidak mampu menangis (dengan sendirinya). (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Islamiyah, 2004), j. 1, h. 165)
Hal ini juga didukung sebuah hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan Ibn Majjah bahwa Rasul meminta kita untuk pura-pura menangis saat tidak mampu menangis ketika membaca Al-Quran.
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا
Artinya, “Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dengan kesedihan, jika kalian membacanya, maka menangislah, dan jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah untuk menangis.” (Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah, (Beirut: Dar al-Fikr, T.t), h. 424).
Terkait tujuan tangisannya itu apakah untuk menarik perhatian orang lain atau tidak, itu adalah urusan si qari’ dengan Allah SWT. Jika ia menangis untuk menarik perhatian penonton, bukan karena Allah SWT, maka Allah SWT pula yang hanya dapat mengetahuinya, dan berhak untuk tidak memberikan pahala kepadanya.
Kita sebagai manusia hanya bisa menjangkau sesuatu yang zahir. Kita tidak boleh asal memvonis perkara batin yang sebenarnya tidak kita ketahui.
Maka jika ada ustadz atau qari yang pura-pura menangis saat membaca Al-Quran, kita tidak perlu beranggapan buruk kepadanya. Anggap saja mereka ingin mengamalkan kebaikan-kebaikan yang ada saat membaca Al-Quran.
Wallahu A’lam.