Beberapa hari yang lalu Bapak Lukman Hakim Saifuddin, selaku menteri agama RI, membeberkan adanya rencana pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan menarik 2,5 persen bagi aparatur sipil negara (ASN) muslim. Ia juga menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan diperkuat dengan peraturan presiden (perpres) yang sekarang sedang dipersiapkan. Rencana ini dilakukan karena pemerintah melihat adanya potensi besar dari zakat yang bisa diaktualisasikan untuk kepentingan umat. Pro-kontra pun bermunculan terkait rencana tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Islam mengatur pengelolaan zakat pada zaman dahulu.?
Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, pengelolaan zakat dilakukan langsung oleh panitia khusus yang disebut amil zakat. Mereka mendapat wewenang penuh dari Rasul untuk mendata kaum muslimin yang wajib mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Karena panitia tersebut dibentuk secara khusus dan untuk pekerjaan yang khusus pula, maka data-data terkait para muzakki dan mustahik dapat terdata secara akurat, sehingga kekeliruan berupa salah sasaran dalam pendistribusiannya dapat diminimalisir.
Praktek pengelolaan zakat seperti ini dapat dipahami secara tersirat dari firman Allah Swt, Q.S. al-Taubah ayat 103 berikut :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Selain itu Rasulullah Saw juga pernah berpesan kepada Sahabat Muadz ibn Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman untuk menyebarkan agama Islam di sana. Sebelum ia berangkat, Rasul berkata :
أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Sesungguhnya Allah Swt telah mewajibkan zakat terhadap harta mereka, yang diambilkan dari orang-orang kaya di antara mereka dan didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Redaksi “ambillah” pada ayat di atas dan kata “diambil” yang terdapat di dalam hadis menurut sejumlah ulama mengindikasikan bahwa pemungutan dana zakat dilakukan secara persuasif oleh amil yang bertugas. Hal tersebut juga terbukti pada masa kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq yang sampai memerangi para muzakki yang enggan mengeluarkan zakat harta mereka.
Keengganan tersebut dapat diketahui setelah para amil mendatangi mereka untuk mengambil zakat hartanya, namun mereka tidak mau menyerahkannya. Imam Ibn Hajr dalam Fath al-Bari-nya menggarisbawahi bahwa alasan Abu Bakr memerangi mereka adalah karena mereka menolak dan bahkan memberontak kepada pemerintahan Abu Bakr. Sehingga karena pemberontakan itu akhirnya Abu Bakr memutuskan untuk memerangi mereka, bukan semata-mata karena keengganan mereka untuk membayar zakat.
Seandainya pemungutan zakat tidak dilakukan secara persuasif sebagaimana yang sudah dijelaskan, maka tidak mungkin Khalifah Abu Bakr mengetahui siapa di antara mereka yang mau dan siapa yang enggan mengeluarkannya. Di samping itu, praktek seperti ini secara otomatis akan mempermudah muzakki dalam menentukan kadar zakat yang harus mereka keluarkan, karena mereka dibantu langsung oleh para amil yang bertugas untuk menghitungnya. Sehingga kekeliruan dalam menghitung dan mengeluarkan zakat dapat diatasi secara tepat dan cepat.
Adapun dalam konteks Indonesia, pengelolaan dana zakat dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah mendapatkan izin dari kementerian lewat rekomendasi Badan Zakat Nasional (Baznas). Peraturan tersebut sudah ditetapkan oleh undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan peraturan pemerintah No. 14 tahun 2014 terkait pelaksanaan undang-undang No. 23 tahun 2011. Peraturan itu juga diperkuat oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional sebagaimana telah diperbaharui terakhir dengan keputusan Presiden RI No. 27 tahun 2008.
Artinya secara syariat, pengelolaan zakat idealnya harus dikelola langsung oleh badan-badan khusus yang bersifat legal yang bertujuan untuk pengoptimalisasian pengelolaan dana zakat. Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana yang diwacanakan oleh Bapak Menteri Agama RI di atas, pada dasarnya adalah salah satu usaha untuk mempermudah manajemen penarikan zakat. Hanya saja, pemerintah perlu mengkaji prosedur penarikannya secara matang dan transparan, agar jelas siapa saja aparatur sipil negara (ASN) muslim yang wajib berzakat dan siapa yang tidak, berapa besarannya, dan lain sebagainya. Allahu A’lam