Apakah Tuhan wajib untuk memasukkan orang-orang baik ke dalan surga, serta mencampakkan orang-orang jahat ke dalam neraka? Apakah kita punya hak untuk menggugat Tuhan manakala Dia punya keputusan yang berseberangan dengan kehendak kita? Apakah dengan rajinnya seorang hamba dalam beribadah, lalu ia merasa berhak memiliki kunci dan tiket untuk masuk surga? Jika orang tak bisa masuk surga dengan amal kebaikannya, lalu untuk apa kebaikan itu kita lakukan?
Semestinya, amal kebaikan yang kita lakukan, membuktikan bahwa kita sepakat untuk tunduk dan taat pada perintah Allah, terlepas apakah nanti dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Juga terlepas dari pengandaian apakah ternyata surga dan neraka itu ada atau tidak ada.
Lalu, apakah arti amal kebaikan kalau ternyata surga itu tidak ada? Juga apakah arti kejahatan kalau ternyata neraka juga tidak ada?
Bagaimanapun, kita diperintahkan untuk percaya bahwa keduanya ada sebagai tempat kenikmatan dan penderitaan, terlepas apakah bentuknya dapat diraba secara kasatmata atau tidak. Tapi, sedikitnya kita telah menerima gambaran dengan ukuran kehidupan duniawi, bagaimanakah jenis kenikmatan itu dan bagaimana pula jenis penderitaan, serta perangkat apa yang menimbulkan orang bisa bahagia dan menderita. Kepercayaan dengan gambaran tekstual yang dinyatakan kitab suci (Al-Quran) adalah suatu keniscayaan, sekaligus ikrar keimanan dan kepercayaan kita pada firman Allah. Jika kita tidak percaya, berarti kita telah mengelak dan mengingkari diri sebagai hamba Allah yang patuh dan taat.
Sama halnya dengan pembantu yang percaya pada majikannya dan taat pada perintahnya. Begitupun karyawan yang bekerja di suatu perusahaan, dan telah menjalin kesepakatan dengan bos atau direkturnya, untuk mengikuti segala aturan, serta menandatangani kesepakatan agar dibayar sesuai dengan nominal tertentu. Dengan demikian, karyawan yang tidak taat pada aturan perusahaan, berarti telah mengingkari bos atau direkturnya. Di sisi lain, karyawan yang patuh dan taat pada aturan, ketika tidak mendapatkan kompensasi yang telah disepakati bersama, berarti ia telah menerima kezaliman dan kesewenangan dari atasannya.
Jika seseorang berbuat baik, lalu dia tak mendapat jaminan atau Tuhan tidak memasukkannya ke dalam surga, apakah dengan demikian Tuhan telah berbuat zalim dan sewenang-wenang kepada hamba-Nya? Apakah posisi Tuhan dapat disejajarkan dengan majikan atau direktur yang telah berbuat zalim itu?
Jawabannya adalah ‘tidak’. Sebab, Tuhan Maha Adil, dan tak mungkin berbuat zalim dan sewenang-wenang, juga Tuhan tak pernah mengetik dan membuat kesepakatan kerja yang kemudian disodorkan di atas meja, lalu ditandatangani oleh hamba-hamba-Nya. Tuhan hanya berbuat secara sepihak atas kehendak-Nya sendiri, dan tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan dan perjalanan roda kehidupan manusia di muka bumi ini.
Karena itu, seorang hamba berbuat baik dan taat beribadah kepada Allah, hendaknya bukan dikarenakan ia ingin masuk surga, tetapi karena ketundukan dan ketaatan pada perintah-Nya. Dapat juga diartikan sebagai “ikrar penghambaan” dirinya kepada Sang Pencipta.
Jadi, jangan sampai kita bernasib malang, seperti seorang ahli ibadah yang bersifat “ujub”, dan merasa pede akan masuk surga, tahu-tahu Tuhan menghendakinya agar mendekam di dalam neraka. Atau boleh jadi, seorang pelacur yang dianggap najis dan dijauhi oleh kita, tahu-tahu dia memiliki jiwa humanis dan sosialis, dengan rajin memberi makan kucing atau memberi minum anjing (tanpa sepengetahuan kita), lalu Tuhan menentukannya sebagai penghuni surga. Terserah pada Tuhan. Dia punya mau, yang tak mungkin didikte oleh maunya kita, bahkan oleh kehendak seorang yang kelihatannya alim dan ahli ibadah sekalipun.
Kembali pada persoalan sebelumnya. Karyawan yang mengingkari atasannya, meskipun ia memakan gaji yang telah disepakati bersama, berarti ia telah berbuat zalim dan berlaku tidak adil. Sebaliknya, direktur juga telah berbuat zalim manakala ia tidak memberikan kompensasi atas pekerjaan dan jerih-payah karyawannya, sesuai dengan nominal angka yang telah disepakati bersama.
Dalam hal ini, kita sebagai makhluk, tak pernah menandatangani kontrak kerja dan kesepakatan apapun dengan Allah. Kita hanya menerima apa adanya yang telah ditentukan secara sepihak, dan Allah menunjukkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk. Jika kita mengikuti jalan baik, maka akan ada kenikmatan dan keselamatan bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan, jika kita mengikuti buruk, maka kerugiannya pun akan menimpa diri kita. Namun demikian, kita dibebaskan untuk memilih di antara kedua jalan tersebut.
Memang ada kenikmatan dan kelezatan dalam hidup ini yang boleh dirasakan dan dinikmati oleh kita, namun hal itu tak boleh dinikmati secara berlebihan. Jadi, hanya sekadarnya saja. Sebab, menikmati sesuatu secara berlebihan dalam hidup ini, identik dengan keserakahan dan pemborosan yang justru akan berdampak buruk bagi diri kita maupun orang lain.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa kualitas penghambaan dan ketaatan kita, akan menjauhkan kita dari persepsi negatif seakan-akan Tuhan itu zalim, tidak adil dan sewenang-wenang. Setiap manusia dipersilakan untuk membangun opini dan logikanya sendiri, seintelek apapun, serasional apapun. Namun di sisi lain, Tuhan telah berjanji akan memposisikan diri-Nya dalam logika dan penafsiran hamba-hamba-Nya (Ana inda dzanni abdi bii).
Sebagian orang mungkin menggugat, lalu bagaimana dengan nasib orang yang terlahir cacat sejak dari kandungan? Bagaimana nasib anak-anak kecil (tak berdosa) yang telah menjadi korban bencana alam dengan begitu tragis dan dramatis? Bukankah Tuhan telah berbuat timpang dan tidak adil? Bagaimana pula dengan nasib orang bersalah yang tertawa, sementara yang benar dipenjara?
Pertanyaan serupa itu hanyalah tafsir atau pemaknaan kita yang melihat nasib hidup secara kasatmata belaka. Kita tidak bisa memahami hakikat kebesaran dan keagungan Tuhan, juga tidak bisa memaknai bagaimana Tuhan punya rencana dan sekenario dari semua kejadian dan peristiwa, baik yang kasatmata maupun yang tersembunyi. Baik di permukaan bumi, di angkasa, di tengah samudera, hingga ke lubang-lubang terkecil di kedalaman bumi. Jikapun ada hamba-hamba tertentu yang diberi karunia ilmu untuk memahami suatu peristiwa dan kejadian, hal itu pun laiknya satu tegukan air yang diminum seekor burung di tengah lautan lepas.
Yakinlah, bahwa Allah tidak akan menyakiti hamba-hamba-Nya. Dia tidak akan menyakiti orang-orang cacat maupun anak-anak kecil tak berdosa. Dan Allah tidak akan berbuat zalim kepada seorang pun dari hamba-hamba-Nya. Semua peristiwa kehidupan ini memiliki makna dan hikmah yang berharga. Segalanya serba terukur dengan cermat dan teliti. Tak ada kekacauan dan absurditas, tak ada kesia-siaan dan kebetulan, juga tak ada tragedi yang tak memiliki makna. Pemahaman bahwa suatu peristiwa tragis itu adalah tragedi yang menyedihkan dan memilukan adalah tergantung dari penafsiran kita yang memandangnya secara kasatmata belaka, dan juga sangat terikat oleh ruang dan waktu tertentu.
Baik menurut sang anak, belum tentu baik menurut orang tuanya. Buruk menurut anak, belum tentu juga buruk menurut orang tuanya. Baik dalam pandangan kita hari ini di sini, belum tentu baik dalam pandangan kita tempo lalu atau di tempat lain. Apa-apa yang buruk menurut kita, pasti mengandung hikmah dan makna dalam pandangan Allah. Dia tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesuatu yang baik dalam pandangan kita, diperintahkan untuk mengamalkannya, yang kelak pasti akan berbuah kebaikan pula. Sesuaru yang buruk menurut kita, diperintahkan meninggalkannya, dan dengan meninggalkannya itu pun akan berefek kebaikan untuk diri kita.
Kita manusia hanya bisa menafsir dan berikhtiar dalam kebaikan, serta mengajak orang di jalan kebaikan. Bukan lantaran ingin masuk ke dalam surga, juga bukan lantaran takut terhadap neraka. Tetapi, sebagai ikrar penghambaan kepada Sang Pencipta, serta ketaatan pada perintah-Nya. (AN)