Ada sebuah organisasi dengan bendera bergambar banteng di atasnya. Ketika aku membakarnya, tak harus aku menjadi orang yang membenci binatang banteng, apalagi hendak memusnahkannya. Aku membakarnya karena bisa jadi aku sedang berseteru dengan organisasi tersebut. Caraku membakar benderanya adalah ekspresi dari kemarahanku atas organisasi tersebut. Tak perlu bagiku untuk membangun permusuhan dengan komunitas penyayang binatang banteng.
Ada sebuah organisasi dengan bendera berlambang palu dan arit. Ketika aku membakarnya, tak harus aku menjadi orang yang mengharamkan diriku menggunakan dua benda yang begitu penting dalam hidupku yang berprofesi sebagai petani atau tukang. Aku membakar benderanya untuk menunjukkan kegeramanku dalam sebuah permusuhan terbuka. Jangankan memusuhi petani dan tukang, bahkan diriku adalah seorang petani dan tukang.
Ada sebuah organisasi dengan bendera kebesarannya bergambar ka’bah. Suatu saat aku membakarnya karena organisasi itu telah menyerang kelompokku. Ketika aku membakarnya, aku tidak sedang berniat untuk menghancurkan ka’bah. Aku bukan Raja Abraha yang mengerahkan pasukan gajanya untuk meluluhlantakkan ka’bah. Aku hanya meradang dengan organisasi itu. Dan ketika aku membakar benderanya, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku sedang marah kepada mereka.
Ada sebuah organisasi dengan lambang bulan bintang di benderanya. Aku tahu bahwa lambang itu terakui sebagai simbol agama Islam, seperti salib sebagai simbol agama Kristen. Bertahun-tahun lalu aku membakar bendera tersebut karena mereka bertindak tidak adil terhadap keluargaku. Tapi apakah aku membenci Islam? Ayahku bahkan adalah seorang kiai yang mengajar anak-anak mengaji dan mengimami shalat di masjid kampungku. Aku membakar benderanya sebagai wujud protesku terhadap organisasi yang berlambang bulang bintang itu, tanpa sedikit pun memusuhi Islam sebagai agamaku sendiri.
Mungkin perilakuku ketika membakar bendera dianggap keterlaluan. Tapi, apa yang aku bakar adalah bendera sebuah kelompok, tak peduli gambarnya apa.
Jika suatu saat terjadi konflik politik antara Indonesia dengan Arab Saudi (semoga tak pernah terjadi), kemudian mereka membakar bendera merah putih, aku tahu, itu adalah perwujudan paling terang dari sebuah permusuhan terhadap negeriku Indonesia. Semarah apapun, aku sadar bahwa mereka tidak sedang benci terhadap ‘keberanian’ dan ‘kesucian’ sebagaimana makna dari bendera merah putih. Mereka sedang mengekspresikan permusuhannya terhadap Indonesia yang berbendera merah (berani) puti (suci).
Dan jika itu terjadi, mungkin aku akan membalasnya dengan membakar benderanya. Sekalipun aku tahu di atas bendera Arab saudi tertulis kalimah tauhid, Aku membakarnya sebagai bendera Arab Saudi. Semarah apapun mereka, aku yakin mereka tahu bahwa aku tidak menista tauhid, aku hanya membakar sebuah bendera dari sebuah negara sebagai bentuk kemarahanku sebagai warga Indonesia.
Jika itu terjadi, saya berharap tidak ada lagi retorika bodoh yang mempertanyakan tentang “apakah tauhid telah dipatenkan oleh kelompok tertentu atau negara tertentu?”
Sebuah kelompok atau negara bisa berlambang apa saja, termasuk tulisan tauhid. Apa saja (termasuk tulisan “la ilaha illa Allah”) ketika telah diletakkan sebagai simbol dari sebuah kelompok, makna referensialnya tidak lagi terletak di dalam dirinya, namu merujuk kepada sesuatu di luar dirinya.
Wallahu a’lam
Surabaya, 8 November 2018