Di daerah Samarqand, hidup seorang pemuda yang sedang sakit. Ia sangat ingin sekali sembuh. Lalu ia pun bernazar (janji), bila Allah memberinya kesembuhan, maka setiap hari jumat ia akan menyedekahkan semua hasil kerjanya dan pahala sedekah itu diberikan kepada orangtuanya yang sudah menghadap ilahi rabbi (meninggal dunia).
Alhamdulillah, ia benar-benar sembuh. Ia pun melaksanakan apa yang telah ia nazarkan itu dan itu berlangsung dalam waktu sekian lama. Hingga pada suatu ketika, ia tak bisa menghasilkan apa-apa. Sehingga tak ada sama sekali yang bisa ia sedekahkan. Ia akhirnya meminta fatwa dan nasihat kepada salah seorang ulama di masanya.
Sang ulama berkata, “Pergi dan carilah kulit semangka (bekas), lalu cucilah! Lalu carilah orang-orang yang miskin dan berikan kulit semangka itu untuk dibuat makan keledai mereka!” Tak lupa sang ulama juga menasihatinya untuk memberikan pahala atas sedekahnya itu kepada orangtuanya. “Maka dengan itu, engkau telah melaksanakan nazarmu,” pungkas sang ulama.
Pemuda itu pun melaksanakan semua yang diperintahkan sang ulama. Malamnya, ia bermimpi bertemu dengan orangtua. Mereka memeluk si pemuda sembari berkata, “Anakku, engkau telah berbuat baik kepada kami di sini dengan melakukan segala kebaikan. Bahkan engkau juga memberi kami semangka dan kami sangat menyukainya. Semoga Allah meridlaimu, wahai Anakku!”
Di lain tempat, seorang raja Kharasan bertemu dengan ayahnya dalam mimpi. Sang ayah berkata, “Anakku, jika kamu makan daging, maka berilah juga kami, yakni dengan cara memberi makan kucing dan anjing dan jadikan pahalanya untuk kami! Dengan itu, maka kami akan sangat menyukainya.”
Kisah di atas penulis baca dari kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qalyubi. Lewat kisah di atas, kita mengerti betapa bahagianya orang yang sudah meninggal dunia mendapat kiriman pahala atas amal perbuatan yang dilakukan orang yang masih hidup, terutama keluarga dan kerabatnya. Di akhir kedua kisah di atas, terdapat penjelasan seperti ini, “Oleh karenanya, dikatakan, para arwah setiap malam jumat selalu berkumpul di rumahnya (kuburan) masing-masing sambil berharap ada kiriman doa dari keluarga dan kerabatnya”.
Allah Swt Berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Al-Hasyr/59:10)
Dalam Mahasin al-Takwil disebutkan bahwa ayat ini adalah anjuran untuk mendoakan para pendahulu dan menyebut-nyebut kebaikan mereka. Juga, dalam kisah di atas terbaca dengan jelas betapa pahala sedekah (kepada hewan) bisa bermanfaat kepada mereka yang sudah meninggal. Jika kepada hewan saja bisa, apalagi sedekah kepada manusia, lebih-lebih kepada mereka yang membutuhkan (misalnya, fakir miskin, anak yatim, anak jalanan, dan lain-lain).
Walhasil, sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Bukti bakti itu tidak saja harus diberikan ketika orangtua masih hidup namun juga kelak ketika mereka telah tiada. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ahmad Shihabuddin al-Qalyubi, al-Nawadir (Jeddah: al-Haramain, t.th.), hal. 27.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Takwil (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H.), v. 9, hal. 189.