Di depan khalayak, seorang tokoh agama berbicara cara mudah masuk surga. Ia memakai atribut khas laiknya tokoh agama dan ia menggambarkan kehidupan akhirat dengan cara dan bahasa yang sangat dramatis. Untuk semakin meyakinkan, ia pun melukiskan gambaran api neraka yang panas membara membakar tubuh-tubuh manusia berdosa. Tapi Tuhan Maha Pemurah.
Ada cara mudah untuk menghindar dari api neraka dan masuk surga, yaitu dengan cara menyumbang uang kepada seorang manusia yang sedang punya hajat. Mengapa begitu penting hajat orang ini? Ia semacam wakil Tuhan yang hajatannya merepresentasikan kepentingan Tuhan itu sendiri. Kalau hajat si orang ini tidak tercapai, harga diri agama Tuhan akan hancur. Karena itulah bagi siapa saja yang menyumbang uang untuk menyukseskan hajatan si orang itu akan dijamin masuk surga.
Tidak! Saya tidak sedang membicarakan Neno Warisman yang menyerukan kepada siapa saja untuk menyumbang uang kepada Prabowo yang sedang maju sebagai capres dalam Pilpres 2019. Sekalipun narasi di atas dengan mudah diasosiasikan dengan “bisnis agama” yang sedang marak saat ini, termasuk apa yang dilakukan oleh Neno Warisman yang menggaransi bahwa sumbangan uang lima juta rupiah kepada pasangan Prabowo-Sandi akan membuat si penyumbang secara auto masuk surga, tapi narasi di atas sama sekali tidak merujuk pada satu pun peristiwa di Indonesia di penghujung tahun 2018.
Narasi di awal tulisan ini merupakan sepenggal scene dari film Luther. Film yang dibintangi oleh Joseph Fiennes ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Martin Luther dengan setting Eropa abad ke-16. Pengkhotbah yang digambarkan di awal tulisan ini adalah John Tetzel yang sedang “berkhotbah” di lapangan Kota Juterbog, di depan orang-orang Kristiani miskin yang hidupnya dicekam dosa.
Tetzel, orang Jerman yang menjadi frater Katolik Roma, hidup antara 1465-1519. Dia dikenal sebagai pengkhotbah antusias dalam kasus penjualan indulgensi (surat pengampunan dosa) dengan imbalan uang. Hasil penjualan indulgensi ini rencananya digunakan untuk menutup pembiayaan pembangunan Basilika Santo Petrus yang tengah direncanakan oleh Paus saat itu, sekalipun tidak semua uang yang terkumpul disetor ke Roma. Menjelang akhir hayatnya, reputasi Tetzel hancur karena dia dituduh telah melakukan berbagai penipuan dan penggelapan.
Penjualan indulgensi oleh gereja Katolik Roma dianggap salah satu dari manipulasi agama yang paling memalukan dalam sejarah. Peristiwa ini juga yang menjadi salah satu alasan bagi pemberontakan Martin Luther, seorang biarawan Agustinian, terhadap kekuasaan Paus di Roma.
Di salah satu khutbahnya, sebagaimana yang digambarkan di film itu, Luther mengejek praktik ini dengan menyatakan, “Dengan uang perak aku membebaskan kakekku dari api penyucian dosa. Bayar dua kali lipat aku juga bisa lepaskan nenek dan Paman Marcus. Karena aku tak punya dana, mereka harus tinggal di tempat panas.”
Dalam sejarahnya yang panjang, agama tidak selalu menunjukkan wajah kasihnya. Agama juga menorehkan kisah-kisah kelamnya. Agama mengajarkan cinta kasih, tapi tidak sedikit sejarah agama dilukis dengan kekerasan yang berdarah-darah. Agama ibarat pedang bermata dua. Film Luther mungkin sedikit eksesif, namun film ini memberi gambar yang jelas bagaimana agama, karena sifatnya yang absolut, mudah dimanipulasi bahkan oleh para tokohnya sendiri.
Titik masalahnya bukan berada di agamanya. Masalahnya ada pada orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai juru bicara agama. Jika juru bicara agama ini adalah seorang nabi yang dijaga ke-maksuman-nya oleh Allah, maka tindakan-tindakan kenabian yang mengatasnamakan agama mencerminkan titah keadilan dari langit. Namun jika yang mengaku sebagai juru bicara agama hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan dan kepentingan-kepentingan duniawiyahnya, agama bisa menjadi alat bagi tujuan-tujuan rendah.
Coba bayangkan! Ada seseorang yang mendaku dirinya sebagai wakil Tuhan dan juru bicara agama. Si juru bicara agama ini akan bertingkah seperti Tuhan pemilik agama. Si juru bicara ini seakan punya kuasa untuk menentukan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang berhak masuk neraka. Akan tetapi, karena dia bukan Tuhan, dia hanya manusia biasa dengan segala kepentingannya, maka bisa-bisa yang terjadi adalah kamuflase kepentingan duniawinya dengan mengatasnamakan Tuhan.
Suara Tuhan adalah absolut, siapa saja yang menentang orang tersebut secara absolut dianggap menentang Tuhan. Kepentingan duniawi tiba-tiba tak lagi bisa dikenali karena semuanya telah tersegel dengan stempel Tuhan. Yang tidak ikut orang tersebut dianggap masuk neraka, dan siapa saja yang menuruti keinginannya dipersilahkan masuk surga.
Tidak akan ada yang membantah bahwa Tuhan Maha Kasih dan Adil. Dia menurunkan risalah agama-Nya untuk menegakkan kasih sayang dan keadilan di antara manusia. Atas nama keadilan, Dia menyiapakan surga dan neraka, sebuah mekanisme balasan akhirat yang bersifat absolut. Jika pahala dan dosa serta surga dan neraka ini kemudian ditentukan oleh orang-orang yang bermoral rendah, maka seluruh narasi kasih sayang dan keadilan Tuhan akan mudah dimanipulasi untuk menyembunyikan kepentingan terbusuk dari manusia rendah tadi.
Agama memang menyeru manusia untuk berkorban, tidak hanya dengan harta, bahkan dengan nyawanya. Namun jenis pengorbanan apa yang diminta agama? Bagaimana kalau ajaran pengorbanan ini berada di tangan orang-orang dengan moral rendah tapi mendaku dirinya sebagai wakil Tuhan dan juru bicara agama?
Untuk menghindar dari jebakan ini, mungkin “agama cinta” adalah formula yang paling mudah. Agama cinta adalah agama yang menebar cinta dan kasih sayang kepada seluruh manusia dan ciptaan. Agama cinta ini terformulasi dalam sebuah hadits: “Sayangilah yang di bumi, niscaya engkau akan disayang oleh yang di langit”.[]