“Tidak ada karya syair yang sampai dikeramatkan melebihi Qasidah Burdah” begitu ungkap KH. Mustofa Bisri di suatu kesempatan saat mengaji Kitab Burdah. Qasidah Burdah yang berisi ungkapan cinta sosok penyair terkemuka di masanya ini disusun oleh pelopor Mahabbah Nabi; Imam Al-Bushiri.
Al-Bushiri, pengarang maulid Burdah, bernama lengkap Syarafuddin Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Sa’id ibn Hammad ibn Muhsin ibn ‘Abdullah ash-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri. Beliau berasal dari Maroko, lahir di Dalas, sebuah wilayah Bahansa, dataran tinggi Mesir, pada tahun 608 H/1212 H dan tumbuh di Bushir. Al-Bushiri berasal dari kabilah Bani Habnun, Maroko. Nisbat atau sebutan al-Bushiri menunjuk sebuah daerah di Mesir bernama Bushair, salah satu daerah kekuasaan Bani Suwaif, tempat asal sang ibu. Al-Bushiri mengalami kepindahan ke Kairo, dimana disana ia belajar tentang gramatikal arab dan sastra dan menghafalkan al-Qur’an semenjak usia belia.
Al-Bushiri dikenal sebagai seorang sufi, pengikut thariqah dan ahli membuat bait syair (Nâdhim). Ibn Hajar al-Haitami menyebut beliau sebagai as-Syaikh, al-Imam, al-‘Arif, al-Kamil, al-Hamam, al-Mutafannin, al-Muhaqqiq, al-Baligh, al-Adib, al-Mudaqqiq, Imamus Syu’ara’, Asy’arul ‘Ulama’, Balighul Fushaha’ dan Afshahil Bulagha’. Sebutan-sebutan tersebut memperlihatkan bahwa Ibn Hajar mengenal al-Bushiri sebagai sosok yang mendalam ilmunya, memiliki derajad tertentu dalam ma’rifat billah dan memiliki keluasan ilmu dalam bidang sastra Arab. Imamus Syu’ara’ memperlihatkan bahwa al-Bushiri adalah pemuka para ahli syair di masanya, dan Asy’arul Ulama’ menunjukkan bahwa ilmu yang beliau dalami tidak terbatas soal yang berhubungan dengan bahasa Arab, tapi juga agama Islam.
Basam Muhammad Barud dalam al-‘Umdah syarah Burdah menyatakan bahwa al-Bushiri adalah sosok yang tegas, cerdas dan memiliki tulisan yang bagus. Al-Bushiri memiliki tulisan yang bagus dan memperoleh pekerjaan di Kairo serta beberapa tempat lain. Ia juga pernah bekerja menjadi semacam sekertaris di Balbais, wilayah dekat Mesir.
Al-Bushiri dikenal dekat dengan Syaikh Abbas al-Mursi, yang dikenal sebagai seorang wali qutb dan murid utama dari Imam Abu Hasan as-Syadzili, pendiri tarikat syadziliyah. Hal ini mempengaruhi diri al-Bushiri dan membentuknya sebagai seorang sastrawan sekaligus sufi. Al-Bushiri tidak hanya pandai menyusun kata-kata indah, tapi juga mengisi kata-kata tersebut dengan muatan-muatan rasa cinta kepada Allah dan rasulnya. ‘Ali Mubarak berkata: al-Bushiri dan Ibn Athaillah as-Sakandari adalah murid Abil Abbas al-Mursi. Beliau menganugrahkan pada al-Bushiri kepiawaian bersyair, dan pada Ibn Athaillah, pemilik kitab al-Hikam, kepiawaian bernarasi (tulisan yang bukan syair).
Di antara murid-murid al-Bushiri yang terkenal adalah Imam Abu Hayyan, Imam al-Ya’muri Abul Fath ibn Sayyidin Nass, al-‘Izzu ibn Jama’ah dan lainnya.
Sayang sekali, karya-karya bilbiografi jarang sekali yang menyebutkan riwayat beliau secara lengkap. Hal ini membuat penterjemah bertanya-tanya seperti apakah kemasyhuran beliau? Beberapa rujukan tentang biografi al-Bushiri mengarah pada al-Minah al-Fikriyah karya Ibn Hajar al-Haitami.
Al-Bushiriy wafat pada tahun 694 H/1294 M dalam umur 87 tahun dan dimakamkan di dekat makam Syaikh Abil Abbas al-Mursi di Iskandaria, Mesir.
Beberapa karyanya: Al-Kawâkib ad-Duriyyah fi Madh Khair al-Bariyyah (lebih dikenal dengan nama “Burdah”). Tentang madah Nabi; Al-Hamziyyah, tentang madah Nabi; Al-Haiyyah, tentang madah Nabi; Al-Daliyyah, tentang madah Nabi; Tahdzibul Alfad al-A’miyah.
- Dicuplik dari buku “Menyelami Makna Maulid Burdah”, karya penulis sendiri
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Pare Kediri