Seorang dokter di Singapura heran, banyak di antara pasiennya yang datang jauh-jauh dari Indonesia. Ketika memeriksa satu pasien dari Indonesia, si dokter gigi bertanya, kenapa orang Indonesia jauh-jauh terbang ke Singapura hanya untuk periksa gigi? Apa karena infrastruktur yang kurang memadai? Atau dokter di Indonesia yang kurang kompeten?
Rupanya, si pasien menjawab: Karena di Indonesia, kami tidak boleh buka mulut!
Begitu humor yang ditulis oleh Gus Dur dalam sebuah esainya yang berjudul Melawan Melalui Lelucon – yang memang sengaja saya pinjam untuk judul esai ini. Esai Gus Dur yang terdapat dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela ini seperti menemukan kembali relevansinya saat ini. Video lelucon komika stand up comedy Bintang Emon tentang kasus penyiraman air keras Novel Baswedan menuai serangan karakter kepada dirinya.
Beberapa akun anonim diketahui menyerang identitas Bintang Emon, dengan menyebutnya sebagai pecandu narkoba. Bintang juga mencuit dari akun twitternya bahwa ada yang “bandel” di akun email pekerjaan, kakak dan managernya. Sehingga menuai reaksi dan dukungan yang massif dari warganet kepada si komika.
Lelucon atau humor memang menjadi sebuah ekspresi politis ‘dari sononya’. Lewat humor, keresahan masyarakat terhadap sebuah peristiwa yang pelik menemukan juru bicaranya. Melalui humor, tersedia ruang bagi rakyat untuk membicarakan hal yang tabu dan gelap dengan cara yang samar.
Ketika sisi gelap negara belum mampu dibikin terang, minimal masyarakat bisa sedikit bermain-main di ruang yang remang-remang. Seringkali dengan ironis.
Humor Dave Chappelle dalam panggung standup comedy yang berjudul Killin’ Them Softly kiranya menggambarkan ini. Sebagai warga kulit hitam Amerika Serikat, Chappelle resah dengan rasisme. Tapi dia mengakui rasisme kadang menguntungkan warga kulit hitam. Mengapa? Karena warga kulit hitam Amerika Serikat tidak akan pernah dijadikan tawanan teroris demi tebusan!
Kurang lebih simpulannya begini: jangankan menebus dengan uang besar, kehilangan nyawa warga kulit hitam pun pemerintah Amerika Serikat akan bodo amat.
Seno Gumira Ajidarma memberi catatan dalam kolom di blog Institut Humor Indonesia Kini (IHIK), bahwa kajian seputar humor mesti mulai diperbincangkan secara serius. Pasalnya, humor yang terandaikan mampu membahagiakan dan menyegarkan hidup manusia rupanya, dalam momentum tertentu, bisa memberi celaka dan bencana yang mengerikan. Sudah ada daftar panjang ketika humor berubah menjadi kekerasan.
Ancaman kepada Coki Pardede dan Tretan Muslim akibat humor kurma, misalnya, atau kekerasan pasca karikatur Nabi Charlie Hebdo bisa dijadikan referensi bagaimana humor berujung “bencana”.
Bicara soal humor memang masih menyisakan persoalan etis sejauh mana ia bebas dilontarkan, supaya jatuh sebagai kritik, bukan semata celaan. Pertanggungjawaban dan kearifan dalam melontarkan humor memang berbanding lurus dengan kebebasan yang ia punya.
Humor itu memang serius, apalagi jika berkaitan dengan kekuasaan. Namun, humor justru bisa menyelamatkan penguasa, karena memiliki fungsi kritik sosial untuk menyalurkan ganjalan dan mengkoreksi kekeliruan, begitu ungkapnya. Sampai pada hal ini, secara psikologis, humor berfungsi sebagai pengganti kekerasan.
Seperti halnya humor Gus Dur yang lain: Satu ketika di masa pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, pejalanan keluar negeri dari Mesir sangatlah ketat. Satu hari, presiden Nasser mengunjungi Sphinx untuk berkonsultasi. Namun patung Sphinx yang usianya ribuan tahun itu diam saja.
Nasser menjelaskan bahwa ia adalah presiden yang berkuasa penuh, rupanya tidak menghasilkan jawaban. Berkali-kali hal itu terjadi, hingga suatu kali habis kesabaran Nasser. Dijanjikannya, kalau saja Sphinx itu mau menjawab maka apapun permintaannya akan dituruti Nasser. Tiba-tiba, menjawablah patung Sphinx: ‘Aku minta Exit Permit!’.
Humor Bintang Emon terhadap minimalnya tuntutan pengadilan pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan tentu ada pada garis kritik ini, ketika humor disampaikan sebagai ekspresi politis sebuah kegelisahan masyarakat sipil.
Sialnya, Bintang Emon sedang menemukan momentum yang tidak tepat.
Belum lama ini (14/06) LP3ES menyatakan bahwa Indonesia memenuhi empat kriteria yang membawa negara menuju ke arah otoriter. Yang pertama, lemahnya komitmen terhadap aturan demokrasi. Kedua, penyangkalan legitimasi lawan politik. Ketiga, mentoleransi kekerasan, dan terakhir, negara memberi pagar batas kebebasan sipil. Poin terakhir ini lah yang sedang digelisahkan warganet lewat banjirnya dukungan terhadap apa yang diutarakan Bintang Emon lewat videonya.
Kegelisahan warganet bukan tanpa alasan. Preseden pembatasan kebebasan sipil ini memang nyata adanya. Dibobolnya WhatsApp Ravio Patra karena terlampau lantang mengkritik pemerintah merupakan salah satu contohnya. Bagaimana kebebasan bersuara dan berpendapat berpotensi diberangus dengan cara yang senyap, tak terlihat, dan mengabaikan hak privat warga negara.
Bagaimanapun toh lelucon tidak perlu diseriusi secara gerakan politik. Memangnya ada, gerakan politik besar melandaskan manifestonya pada lelucon? Kan tidak. Begitu Gus Dur menuliskan. Betapa lucunya kalau program partai mencatumkan kalimat “menyalurkan aspirasi rakyat melalui lelucon”. Akan menjadi aneh juga ketika nanti gerakan politik harus merumuskan penafsiran resmi atas lelucon.
Memang masih perlu ditelusuri siapa sebenarnya di balik penyerang identitas Bintang Emon di Twitter. Kalau memang penyerang identitas Bintang Emon adalah pihak “swasta” yang berkepentingan politik, negara lebih dari mampu untuk membongkar berbagai tekanan dan intimidasi semacam itu demi menjaga iklim demokrasi yang baik.
Nah, kalau memang atas sepengetahuan negara, kok ya kebangetan. Kalau seandainya negara sampai merasa perlu turun tangan “mengamankan” lelucon seorang komedian, kampanye pasangan Nurhadi-Aldo sebagai calon peserta Pilpres rasanya menjadi masuk akal.