Suka nonton drama Korea? Kafir!, Muslim masuk gereja? Kafir!
Apa iya harus segitunya?
Kita semua mungkin menyadari bahwa sekarang label kafir ini mudah sekali dilemparkan, bahkan ke sesama Muslim. Mirisnya, mudah mengkafirkan ini justru dilakukan oleh ustadz-ustadz kondang sekelas UAS, Haikal Hassan, Rizieq Shihab, Felix Siauw dan masih banyak lagi dari mereka-mereka yang audiensnya sampai jutaan. Motif mengkafirkan juga bisa sangat remeh seperti misalnya contoh di awal, suka nonton drama Korea.
Dari masa ke masa, memang selalu ada kelompok yang suka mengkafirkan, biasanya kelompok ini adalah juga kelompok yang mudah mengharamkan dan membid’ahkan sesuatu yang sudah lazim mubahnya di kalangan jumhur (mayoritas). Seiring meningkatnya konservatisme di negara kita, dakwah semacam ini menjadi semakin laris, tapi sadar ga sih, bahayanya itu lebih berat, persaudaan dan perdamaian bisa rusak, nalar jadi lebih tumpul karena seringkali kebebasan berfikirpun bisa diharamkan, padahal untuk memahami wahyu pun alatnya adalah akal.
Ajaibnya, banyak dari akar masalah yang akhirnya jadi tuduh-tuduhan kafir ini sudah selesai di kalangan ulama periode klasik dan bahkan sudah dijelaskan kanjeng Nabi. Masalah masuk gereja sudah selesai dibahas. Masalah anjing masuk masjid yang rame banget itu pun, Nabi SAW pernah lagi di masjid ada anjing masuk dan pipis, Nabi dan para sahabat tetap santun, tidak sampai ngusir-ngusir apalagi ribut.
Masalah Isbal, Jilbab, perempuan bekerja dan masih banyak lagi yang harusnya sudah basi malah masih ramai dibicarakan, padahal solusinya hanya membaca dan mengkaji. Lunturnya budaya membaca di kalangan umat Islam juga berbanding lurus dengan turunnya tingkat intelektual. Lihat saja kita masih berputar-putar di masalah halal-haram-halal-haram di hal-hal yang tidak substansial. Harusnya kita bisa fokus untuk menyelesaikan masalah nyata yang ada di masyarakat kita, seperti pendidikan dan kemiskinan misalnya.
Mau bukti rusaknya etika umat yang menjadi mudah mencaci?, lihat saja di sosmed, banyak sekali yang profilnya agamis, suka mengutip ayat dan hadis, tapi suka komen kasar, bully atau menggoda perempuan. Mungkin itu akibat meneladani ustad-ustad mencontohkan bertutur kasar dan suka mengajarkan bahwa perempuan itu objek. Dakwah yang harusnya fokus pada perbaikan ilmu dan akhlak malah menjadi provokasi untuk membenci dan memaki.
Ingat tidak dulu ada yel-yel berisi penghinaan dan mengancam pembunuhan kepada seorang pejabat publik karena berbeda agamanya? Entah mulai dari mana, yel-yel ini meluas populer di pengajian-pengajian bahkan pawai anak-anak. Apa ini yang kita mau sebagai cerminan umat? Yang suka menghina dan membunuh? Nanti kalau ada aksi terorisme bilangnya Islam tidak mengajarkan seperti itu, padahal diam-diam kita menerima nilai-nilai kekerasan yang diajarkan ustadz-ustadz yang suka mencaci. Atau mungkin juga, tanpa sadar kita menerima nilai kekerasan itu karena kita tidak bisa lagi membedakan mana dakwah dan mana provokasi.
Tapi kan kafir ya memang kafir, memang begitu sebutan untuk non-muslim kan? Nah makanya, karena kata kafir ini terlalu sering dipakai untuk menghina, memojokkan dan mengucilkan orang lain, kata kafir ini ga bisa lagi disebut hanya sebutan, sudah terlalu banyak nilai dan kesan buruk yang menempel di kata kafir ini. Kalau mau mengkaji kata kafaro (asal kata kafir) dalam Al-Qur’an, Allah juga menyebut orang yang berputus asa, orang yang tidak mau belajar, orang yang tidak bersyukur, orang yang suka mubazir sebagai kafir, tapi kita biasa menyebutnya kufur untuk menghindari kerancuan makna.
Dalam hasil Munas NU Maret silam, penggunaan kata kafir sudah tidak dianjurkan dan lebih dianjurkan menggunakan istilah warga negara (muwathin), karena di mata negara, hak kita sama. Lagi-lagi, ini bukan hal baru tetapi menuai protes dari kelompok ustad yang suka mengkafirkan, dituduh ingin mengubah istilah dari Al-Quran, mengintervensi wahyu Allah katanya.
Hei, mengkafirkan itu sudah jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, oke kalau kata kafir disampaikan dengan tujuan edukasi, tapi yang sudah biasa terjadi malah buat menghina yang akhirnya memicu permusuhan dan memecah perdamaian. Kalau ada istilah yang lebih nyaman didengar dan mendamaikan, kenapa masih pakai istilah yang memicu permusuhan?
Ayo mari kita sama-sama kawal mimbar kembali menjadi media kecerdasan spiritual dan penyempurnaan akhlak, Insya Allah.