Ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir dalam pidatonya yang berjudul “Refleksi dan Relevansi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Dalam Konteks Tantangan Politik Demokrasi di Indonesia” menjelaskan proses panjang terbentuknya Bangsa Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad sebelum merdeka. Ketika membahas era kebangkitan Nasional, yakni saat terjadi proses pembentukan negara oleh para pendiri bangsa yang berasal dari beragam agama, suku, golongan dan kebudayaan, beliau menyinggung kongres perempuan yang menurutnya jarang diungkap dalam sejarah pembentukan Indonesia.
“Tahun 1928, ada peristiwa yang sama, terutama kongres perempuan yang jarang diungkap di dalam sejarah pembentukan Indonesia. Selain kisah-kisah (dari) masing-masing golongan,” ucapnya saat menyampaikan pidato dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif di Universitas Muhammadiyah Solo, Sabtu (12/11).
Kongres yang dimaksud adalah Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Kongres itu tercatat dihadiri lebih dari 1000 orang dari 30 organisasi perempuan yang berasal dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Menurutnya, banyak orang yang lupa untuk merayakannya. Misalnya, ketika tanggal 22 Desember tiap tahunnya, orang hanya merayakannya sebagai Hari Ibu. Banyak orang yang lupa bahwa perempuan yang berkontribusi tidak hanya R.A. Kartini yang hari kelahirannya, yakni 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini.
“Orang lupa bahwa ada Aisyiyah, Taman Siswa, juga dari teman-teman Katolik, Kristen, dan semuanya,” tutur ulama asal Bandung itu.
Kongres Perempuan Indonesia itu sendiri diketuai oleh R.A. Sukonto (Wanita Oetomo) dengan wakilnya Siti Munjiah (Aisyiyah). Organisasi perempuan lain yang juga ikut terlibat antara lain Jong Islamiten Bond Afdeeling Wanita, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Taman Siswa, Wanita PSII, dan Jong Java Domes Afdeeling.
Haedar Nashir melanjutkan, kongres perempuan itu menjadi suatu era yang menjadi tonggak baru dalam dua hal.
“Pertama, komitmen. Perempuan Indonesia (berkomitmen) untuk bangkit menjadi perempuan maju, perempuan yang merdeka dari belenggu paham agama dan budaya yang mencengkram,” tegasnya.
Hal kedua adalah hadirnya perempuan dalam kebangkitan Nasional menuju Indonesia merdeka.
“Letakkan juga bahwa kongres perempuan itu bukan hanya tentang kebangkitan perempuan Indonesia, tetapi juga kebangkitan Indonesia untuk merdeka,” lanjutnya.
Kongres Perempuan Indonesia memang dapat dikatakan “kalah pamor” dengan peristiwa lainnya yang terjadi di tahun yang sama. Peristiwa yang dimaksud adalah Sumpah Pemuda yang diselenggarakan dua bulan sebelumnya. Namun, kedua peristiwa itu, menurut Haedar, cukup untuk membuktikan komitmen seluruh komponen bangsa saat itu. Yakni dalam mewujudkan cita-cita bersama berupa kemerdekaan Indonesia.
“Ada ikatan untuk sebuah cita-cita yang sama. Dan ada ikatan untuk mengakumulasi mozaik sejarah yang mereka alami untuk menjadi modal bagi Indonesia merdeka,” ungkapnya.
Sebelumnya, Haedar Nashir menyebutkan bahwa Buya Ahmad Syafii Maarif beberapa kali mengutip pendapat seorang pemikir Prancis, Ernest Renan, tentang sebuah bangsa. Menurutnya, sebuah bangsa itu hadir dan terbentuk karena keinginan untuk bersatu, keinginan untuk bersama. Dan keinginan itu lahir dari kesamaan sejarah dan cita-cita. Itulah yang saat ini kita warisi bersama, sekaligus menjadi sebuah kewajiban untuk merawatnya bersama-sama. Sebagaimana para pendahulu yang telah bahu-membahu memperjuangkannya.
Kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif itu sendiri mengusung tema “Islam, Kebhinnekaan, dan Keadilan Sosial”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Maarif Institute dalam rangka menyambut perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang juga akan digelar di Universitas Muhammadiyah Solo. [NH]