Syaikh Abdul Wahab as-Sya’rani pernah berkisah dalam kitab Tanbih al-Mughtarin, suatu ketika ada seorang shalihin bermimpi melihat salah sorang seorang saudaranya yang meninggal dunia dalam keadaan su’ul khotimah. Lantas orang saleh tersebut bertanya kepada saudaranya itu, “Bagaimana keadaanmu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, ia menjawab, “Aku menemui Tuhanku dalam keadaan Dia marah kepadaku.”
Pada hari yang lain orang saleh itu bermimpi lagi tentang saudaranya. Dia pun mempertanyakan lagi ihwal keadaan saudaranya itu, “Bagaimana keadaanmu?”
Saudaranya tadi pun lantas menjawab, “Ada orang saleh yang dikubur di sebelah kuburanku. Kemudian Allah SWT memberi syafaat kepada 40 orang ahli kubur dan aku termasuk salah seorang di antara mereka.”
Dari kisah di atas kita bisa belajar bagaimana orang saleh membawa kemanfaatan bagi mereka yang hidup di dunia maupun nanti di alam barzah.
Dalam kisah yang lain, dikisahkan tetangga Abdullah bin Mubarak hendak menjual rumahnya dengan harga dua ribu dinar. Tetengga Abdullah bin Mubarak itu merupakan seorang Yahudi.
Beberapa orang yang menawar rumah sang Yahudi itu melontarkan pernyataannya, “Rumah ini tidak berharga lebih dari seribu dinar.”
Pernyataan orang-orang yang menawar rumah sang Yahudi dibenarkan sendiri oleh sang Yahudi. Sang Yahudi pun berkata, “Memang, rumahku ini hanya berharga seribu dinar, akan tetapi yang seribu dinar lagi adalah harga bertetangga dengan Abdullah bin Mubarak.”
Perkataan sang Yahudi itu ternyata ada yang menyampaikan kepada Abdullah bin Mubarak. Mendengar perkataan sang Yahudi, Abdullah bin Mubarak lantas mendatangi sang Yahudi tadi dan membawa uang dua ribu dinar untuk diberikan kepada sang Yahudi, seraya berkata, “Jangan kau jual rumah itu!”
Dari kedua kisah di atas kita menjadi paham, bahwa menjadi saleh dan bergaul dengan orang saleh tak ubahnya harta yang begitu berharga, dan tak bisa terbayar dengan harga berapapun. Begitu juga dengan tetangga yang baik, walaupun berbeda agama, tak bisa juga dibayar berapapun.
Wallahu A’lam.