“Saya kalau melihat pohon beringin bawaannya adem gitu. Bawaannya sejuk gitu. Apalagi di siang hari yang sedang panas-panasnya. Sedang terik-teriknya. Kalau di bawah pohon beringin betul-betul bawaannya adem dan sejuk.” Begitu kira-kira verbatim ujaran Presiden Jokowi dalam sebuah sambutan di hadapan bejibun kader Partai Golkar.
Saya kira kita tidak lagi perlu berfatsun. Fenomena paling dramatis sepekan terakhir yang kita saksikan lewat panggung simulakra politik Indonesia adalah cerminan nyata bagaimana kepentingan elit politik sering kali lebih diutamakan ketimbang kemaslahatan publik.
Lihat saja betapa gaya hidup super glamor pasangan anak dan mantu penguasa beberapa hari terkahir yang sedang dicarikan ‘mata pencaharian’ oleh orang tuanya.
Sementara kita? Membayangkan naik pesawat garuda first class saja masih perlu istikharah, apalagi menunggang private jet dengan sesi makan Sushi bersama chef khusus. Penerbangan menuju negara paling adikuasa untuk merayakan babymoon jelas bukan budaya kelas menengah proletar yang saban hari terbebani Tapera.
Meski begitu, biarlah borjuasi simbolik itu menjadi diskursus warung kopi, pos ronda, atau ruang-ruang nongkrong tempat orang biasa berkeluh-kesah setelah seharian membanting tulang untuk menyambung hidupnya.
Mari kita sedikit berfokus dengan apa yang terjadi di bawah pohon beringin.
Ya, kegelisahan ini muncul dari kenyataan bahwa narasi “teduh” dan “nyaman” yang digunakan Presiden Jokowi di Munas XI Golkar bukan hanya sekadar metafora belaka. Jokowi, dengan outfit kuningnya, sedang menselebrasi simbolisasi aliansi politik oligarki. Bahasa tubuhnya cukup gamblang menegaskan betapa dinamika politik yang ia jalankan berpusat pada upaya mengabadikan kekuasaan.
Beringin Oligarki
Ketika Jokowi menyatakan bahwa berada di bawah pohon beringin—simbol Golkar—membuatnya merasa sejuk dan nyaman, kita harus melihat lebih dalam makna dari pernyataan ini.
Beringin adalah simbol stabilitas dan kekuasaan, tetapi dalam konteks politik Indonesia, stabilitas ini sering kali berarti infinit kekuasaan bagi elite tertentu.
Lalu bagaimana dengan nasib warga negara biasa non-privilege? Mereka tetap terjebak dalam siklus masalah yang sama: ketimpangan, korupsi, kejahatan konstitusional, lemahnya penegakan hukum, judol, pinjol, polisi tidur, dan segambreng patologi negara berkembang lainnya.
Selain itu, pernyataan Ketum anyar Partai Golkar ketika menyebut bahwa “Golkar siap menaungi Jokowi jika sudah tidak nyaman di tempat lain” menandai sebuah politik transaksional yang begitu terang-terangan.
Hal itu menegaskan bahwa di dalam realitas politik Indonesia, loyalitas kepada partai atau rakyat bisa tergadaikan demi kenyamanan pribadi atau kelompok elite. Sinyal ini memperlihatkan bagaimana Jokowi–seorang tokoh yang diusung oleh PDI-P dan memulai karirnya dengan janji reformasi– tampaknya semakin tergiring ke dalam jerat politik gaya lama yang berkutat pada kalkulasi kekuasaan dan aliansi yang bersifat temporal cum oportunistik.
Di titik ini, warga negara yang masih memiliki akal budi seharusnya bertanya, di mana suara kita di tengah ontran-ontran ini? Bagaimana nasib kebijakan pro-mayarakat yang dulu dijanjikan jika fokus utama kekuasaan adalah justru memastikan “kenyamanan” elite politik?
Ketika simbol-simbol seperti “pohon beringin” dianggap lebih penting daripada nazar yang pernah diakadkan bersama publik, kita harus segara sadar bahwa ada yang tidak beres dengan sistem demokrasi Indonesia.
Jebakan politik patronase yang kental dengan kepentingan pribadi dan golongan terasa sekali nuansa singupnya. Misalnya, kontras tajam dukungan antara Jokowi dengan PDI-P di Pilpres 2024 menunjukkan betapa politik dinasti semakin mengakar kuat dalam sistem demokrasi Indonesia.
Alih-alih memberikan ruang bagi proses demokrasi yang sehat, elite politik kini malah sibuk memastikan posisi mereka aman, seakan kursi kekuasaan adalah warisan yang harus dipertahankan dengan segala cara. Maka, pantas saja Airlangga Hartarto berkelakar tentang “Kursi Kapolri” yang mudah sekali diambil-alih Bahlil.
Ah, saya kok jadi teringat satu babak dalam House of Cards ketika Frank Underwood bilang “The road to power is paved with hypocrisy, and casualties.” Ya, jalan menuju kekuasaan sering kali dipenuhi dengan kemunafikan dan korban.
Kita bisa melihat bahwa kekuasaan selalu memerlukan kecermatan kalkulasi, kendati di saat yang sama juga kerap mengorbankan nilai-nilai idealisme. Namun, dalam semua permainan politik ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kepentingan publik benar-benar diperhatikan? Atau, seperti dalam drama politik yang dimainkan Frank Underwood, rakyat hanya menjadi pion dalam permainan besar yang dikendalikan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan?
Kita mungkin tidak bisa menjawab semua pertanyaan ini dengan pasti, tetapi satu hal yang jelas: politik, baik di layar kaca maupun dalam kenyataan, adalah arena yang kompleks, di mana simbol dan aliansi memiliki kekuatan yang jauh lebih adiluhung daripada yang tampak di permukaan. Ketika pohon beringin menjadi tempat berteduh bagi mereka yang berada di puncak, kita perlu terus mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari permainan ini, dan siapa yang justru menjadi korban dari semua ini.