Orang yang melaksanakan shalat, dituntut untuk melaksanakannya dengan penuh kehusyuan, baik yang wajib maupun yang sunnah. Para ulama, menyimpulkan kalau kekhusyu’an itu diraih dengan mengerjakan shalat secara tertib, sesuai dengan yang digariskan oleh Syara’ dan dengan penuh ketenangan (thuma’ninah).
Maka dari itu, dalam aturan tata cara shalat, seperti yang tercantum dalam kitab-kitab fikih – terutama yang bermazhab Syafi’I – mencantumkan thuma’ninah sebagai rukun shalat. Thuma’ninah ini selalu disertakan disetiap rukun-rukun shalat, salah satunya adalah saat berdiri setelah ruku’ (I’tidal).
Untuk mencapai thuma’ninah tersebut, dalam i’tidal kita harus kembali sebagaimana keadaan kita saat sebelum ruku’, yaitu keadaan setelah takbiratul ihrÄm. Al-Imam Taqiyyuddin al-Husaini dalam KifÄyatu-l-AkhyÄr menyatakan:
ثم الاعتدال الواجب أن يعود بعد ركوعه إلى الهيئة التي كان عليها قبل الركوع سواء صلاها قائما أو قاعدا ولو رÙع الراكع رأسه ثم سجد وشك هل أتم اعتداله وجب أن يعتدل قائما ويعيد السجود
“kemudian kewajiban i’tidal itu ialah, kembali kepada gerakan yang seperti sebelum ruku’, baik salat dengan berdiri atau duduk. Maka, aandaikan seorang bangun dari ruku’ kemudian sujud lalu ragu apakah sudah menyempurnakan i’tidal atau belum, wajib baginya untuk i’tidal kembali dan mengulang sujudnya” (al-Husaini: 1/152)
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keadaan setelah takbiratul ihram (yaing dilakukan sebelum ruku’) itu sama dengan yang dilakukan setelah ruku’. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dalam mazhab Syafi’i, meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri diatas dada memang termasuk sunnah shalat. Diriwayatkan dalam sebuah hadis:
وَرَوَى Ù…ÙسْلÙÙ…ÙŒ عَنْ وَائÙل٠بْن٠Øَجَر٠{ أَنَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ رَÙَعَ يَدَيْه٠ØÙينَ دَخَلَ ÙÙÙŠ الصَّلَاة٠ثÙمَّ وَضَعَ يَدَه٠الْيÙمْنَى عَلَى الْيÙسْرَى }
Dari Wail bin Hujr, bahwasanya Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya ketika hendak melaksanakan shalat kemudian meletakkan tangan kanannya diatas tanan kirinya
Hadis diatas diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibn Khuzaimah, dan Abu Daud dari Kulaib. Ada lagi pendapat Bagi yang berpendapat bahwa disaat I’tidÄl tidak meletakkan kedua tangan diatas dada, melihat kalau hadis ini tidak secara jelas untuk melakukannya disaat i’tidal. Mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, dan Malikiyyah. Alasannya adalah, hadis ini hanya untuk gerakan setelah takbiratul ihram saja, bukan setelah melakukan i’tidal.
Sementara yang melihat hadis ini sebagai dalil bersedekap saat i’tidal, seperti sebagian pengikut mazhab Imam Ahmad menafsirkannya meletakkan kedua tangan diatas dada adalah perilaku yang disunnahkan saat shalat. Argumennya diantaranya adalah, meletakkan kedua tangan diatas dada sama dengan meletakkan kedua tangan diatas kedua paha disaat duduk diantara dua sujud. Selain itu, untuk menjaga kedua tangan dari perilaku tidak thuma’ninah – dengan menggerak-gerakan kedua tangan ketika tidak bersedekap.
Tapi yang perlu dicatat, pembahasan seputar ini tidak termasuk dalam bahasan keabsahan shalat. Bagi yang mendukung pendapat bersedekap saat i’tidal maka ia dimasukkan kedalam kategori sunnah-sunnah didalam shalat. Bagi yang tidak, tidak menafikan keshahihan hadis-hadis tentang bersedekap, hanya saja hadis itu tidak tegas menunjukkan kepada bersedekap juga disaat setelah i’tidal. Wallahu A’lam.