Di atas lelaki yang sendiri ada lelaki beristri. Di atas lelaki beristri ada lelaki berpoligami: ada yang dengan dua istri, tiga istri, hingga empat istri. Di atas semua lelaki itu ada Kiai Masyurat Utsman dari Madura: lelaki dengan sepuluh istri.
Penjenjangan tersebut tak bermakna apa-apa di hadapan Tuhan. Sebab, yang paling tinggi di hadapan Tuhan—melampaui segala jenis level—adalah lelaki [dan perempuan] yang bertakwa. Dan ketakwaan seorang lelaki tak terkait secara melekat dengan perkara status atau jumlah istri. Lelaki yang sendiri, lelaki yang beristri, atau lelaki yang berpoligami memiliki kesempatan yang sama untuk membanggakan ketakwaan di hadapan Tuhan. Mungkin saja poligami menjadi tangga seorang lelaki untuk menaiki jenjang-jenjang ketakwaan, sebagaimana bisa saja poligami menjadi ajang pengkhianatan dan menjadikan seorang lelaki berdosa karena ada pihak yang tersakiti. Dan Rasulullah melarang poligami jika ada pihak-pihak terkait yang tersakiti.
Rasulullah pernah menyampaikan secara terbuka di atas mimbar—kira-kira begini: Putrinya, Fathimah, tak boleh dipoligami. Jika Ali ibn Abi Thalib ingin menikahi wanita lain, ceraikan dulu Fathimah. Fathimah adalah separuh jiwa Rasulullah. Kegelisahan Fathimah adalah kegelisahan Rasulullah. Rasa sakit Fathimah adalah rasa sakit Rasulullah.
فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا—رواه مسلم وأبو داود والترمذي
Hadis di atas terkait dengan keinginan seorang dari anak turun Hasyim ibn al-Mughirah—kemungkinan Abu Jahal. Dalam riwayat Imam Bukhari, Rasulullah mengatakan, “Aku takkan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. Hanya saja, demi Allah, putri seorang Rasulullah tidak akan hidup bersanding dengan putri musuh Allah.”
وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ أَبَدًا
Maksudnya, Rasulullah tidak akan mengharamkan poligami. Hanya saja beliau tak mau Fathimah dipoligami bersama putri dari orang yang memusuhi Allah dan Rasulullah, yaitu Abu Jahal.
(Oke. Silakan bayangkan Anda berbesan dengan orang yang memusuhi Anda, orang yang belum tentu juga bakal baik kepada Anda meski anak Anda dan anak musuh Anda saling cinta).
O, iya … Kiai Masyurat Utsman, lelaki beristri sepuluh dari Madura itu telah meninggal pada 2016 lalu. (Silakan Anda googling atau youtubing sosok Kiai Masyurat Utsman).
Tapi … sepuluh istri? Bukankah seorang lelaki diperbolehkan berpoligami dengan batas maksimal empat istri? Dalilnya telah masyhur, ayat Alquran:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi. Dua, tiga, atau empat” (al-Nisa: 3).
Juga hadis yang menjelaskan perintah Nabi kepada Ghailan ibn Salamah—sahabat yang memiliki sepuluh istri saat memeluk Islam—agar mempertahankan empat istri saja dan menceraikan selebihnya (diriwayatkan di antaranya oleh Imam Malik, Imam Syafii, dan lain-lain).
أمسك أربعا وفارق سائرهن
Memang. Para ulama menjadikan ayat Alquran dan hadis di atas sebagai dalil batas empat istri dalam poligami. Namun, ternyata batas empat istri dalam poligami hanya pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Artinya, ada pendapat minoritas. Satu firqah atau satu kelompok berpendapat bahwa seorang lelaki boleh berpoligami dengan lebih dari empat istri. Boleh menikahi sembilan perempuan. Mereka juga berdalil dengan al-Nisa ayat ke-3 di atas. Satu ayat dipahami dengan ragam makna yang bahkan saling bertentangan.
Menurut mereka, ayat “matsna watsulasa waruba’” bukan cuma dapat dipahami sebagai pilihan: dua atau tiga atau empat, melainkan bisa dipahami sebagai penjumlahan: 2+3+4=9.
“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi hingga sembilan orang.”
Guyon?
Ya. Dulu, dalam lingkaran pertemanan saya, itu menjadi salah satu guyonan saat kumpul-kumpul. Dalam teks Arab ayat tersebut, yang digunakan adalah “wa” yang lebih umum diartikan “dan”, bukan “au” yang artinya “atau”. “Matsna watsulasa waruba’”.“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi hingga sembilan orang.”
Sampai kemudian saya tahu bahwa pendapat kelompok yang menyebut bahwa poligami boleh dengan sembilan istri dengan dalil al-Nisa ayat ke-3 tersebut dicatat oleh Ibnu Rusyd dalam salah satu karyanya yang terkenal: Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,kitab klasik fikih muqaran atau fikih perbandingan mazhab untuk tingkat pemula (tepatnya di Kitab al-Nikah/al-Bab al-Tsani/al-Fashl al-Khamis).
Tentu saja Ibnu Rusyd tak sedang guyon saat mencantumkan pendapat tersebut dalam karya ilmiahnya itu, tak pula Ibnu Rusyd sedang mengada-ada, mencatat sesuatu yang sesungguhnya tidak ada.
Betapa pun barangkali dinilai bahwa menikahi sembilan wanita adalah pernyataan aneh dan menyeleneh, lahir dari kelompok kecil, namun ia tetaplah sebuah pendapat yang lahir dari akal budi dan pantas mendapatkan hormat. Dengan sikap ilmiah seperti itulah Ibnu Rusyd melihat pendapat tersebut, dengan kejujuran ilmiah demikianlah Ibnu Rusyd mencatat pendapat tersebut.
Dan saya sadar, selama ini guyonan dalam lingkaran pertemanan saya tersebut ternyata guyonan ilmiah.
Apakah Kiai Masyurat Utsman melandasi perbuatannya menikahi sepuluh istri—awalnya dua belas: satu meninggal, satu diceraikan—dengan pendapat yang dicatat oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid tersebut? Entah. Tapi, bisa jadi.
Omong-omong, Kiai Masyurat Utsman menempatkan seluruh istrinya dalam satu rumah besar berlantai empat, berkamar 142 ruang, dan dilengkapi dengan masjid—sudah mirip pesantren saja. Kiai Masyurat menghidupi keluarga besarnya itu melalui usaha dagang tembakau rajangan yang menghasilkan 15 hingga 21 miliar rupiah setiap tahun. Kiai Masyurat juga memiliki bangunan burung walet yang menghasilkan uang dua miliar rupiah setiap tahun. Selain itu, Kiai Masyurat juga kadang bermain di lantai bursa dan valuta asing.
Apakah Kiai Masyurat hanya bermodal kaya untuk memiliki sepuluh istri? Kekayaan jelas mutlak dibutuhkan, apalagi untuk menghidupi sepuluh istri dan puluhan anak. Namun, tampaknya bukan cuma modal kekayaan hingga Kiai Masyurat dapat menghimpun istri-istri sebanyak itu. Nyatanya, dengan modal sangat mapan (ditambah mungkin juga tampan dan punya pemahaman agama) ada oknum lelaki yang gagal berpoligami karena mendapat perlawanan dari istrinya.
Selain perlu kaya, ini yang perlu dimiliki para lelaki yang berniat poligami: karisma dan wibawa. Kemampuan untuk membangkitkan kekaguman yang meluluhkan istri. Kekuatan dari dalam yang mampu memengaruhi dan mendamaikan gejolak [para] istri. Tak salah kiranya berpikir bahwa karisma dan wibawa itulah yang dimiliki Kiai Masyurat atau para lelaki yang sukses berpoligami. Dan tak salah pula kiranya berpikir bahwa ketiadaan karisma dan wibawa itulah yang membuat seorang oknum lelaki melakukan poligami mesti secara sembunyi-sembunyi dari istri pertama atau bahkan membuat gagal berpoligami karena pemberontakan sang istri.
He’eh. Semangat besar untuk berpoligami yang tak seimbang dengan karisma dan wibawa di hadapan istri akan membuat seorang lelaki tampak seperti pengecut: poligami sembunyi-sembunyi. Jika seorang lelaki sadar dirinya tak punya karisma dan wibawa yang bisa meluluhkan istri atau tahu istrinya takkan menerima atau bakal sakit hati dijadikan madu: batalkan keinginan berpoligami. Lagi pula, poligami itu bukan prioritas dalam Islam. Hukumnya cuma mubah—sekadar boleh. Dan mubah itu hukum dasar: ia bisa berkembang menjadi sunah, wajib, makruh, bahkan haram, tergantung pada kondisi dan alasan yang dibenarkan agama.
Poligami an sich itu netral: tak ada kebaikan, tak ada keburukan. Ia bisa menjadi baik atau menjadi buruk tergantung kasus per individu lelaki—ataukah tergantung kasus dan situasi per individu perempuan juga? Kasuistik. Situasional.
Karenanya, ketimbang bertanya “apa hukum poligami dalam Islam”, tampaknya lebih baik bertanya “apa hukum poligami bagi lelaki yang … (sebutkan situasi dan kondisi yang bersangkutan)”.
Wallahu a’lam bishawab.