Masih ingat kata-kata Pidi Baiq tentang Kota Bandung? Menurutnya, Bandung bukan masalah letak geografis saja, namun melibatkan perasaan saat sunyi. Bagi kalian yang sudah lama tinggal lama di Kota Bandung, beberapa tempat memang sudah tidak asing lagi untuk dikunjungi. Ada banyak tempat bersejarah yang bisa dikunjungi untuk di nikmati akhir pekan. Ternyata, tidak hanya tempat sejarah. Beberapa tempat di Kota Bandung menunjukan bagaimana keberagaman yang dibangun di kota tersebut.
Bagi pegiat perdamaian, Jalur Bhinneka menjadi hal yang wajib di kunjungi untuk melihat besarnya keberagaman yang dibangun oleh warga Kota Bandung. Sebenarnnya, jalur Bhinneka ini diperkenalkan oleh Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub). Mereka memperkenalkan jalur Bhinneka ketika agenda Youth Interfait Camp (YIC) yang bekerjasama beberapa lembaga di Kota Bandung sejak 2010.
Saat ini, agenda memperkenalkan ke anak muda ketika hari-hari besar. Misalkan, saat Imlek atau malam natal. Lalu, bagaimana awal mula keberagaman di kota tersebut?
Jalur Bhinneka ini berada di sekitaran Jalan Astana Anyar, Cibadak, Klenteng, Waringin dan Kebonjati. Bahkan dapat diperpanjang hingga Jalan Pecinan Lama dan Braga. Tempat-tempat ini mewujud dan turut membentuk sejarah keberagaman kota. Di sini kita bisa bertemu sejumlah besar tempat ibadah dari berbagai tradisi, sekaligus menghayati bagaimana bhineka tunggal ika digumuli dalam keseharian.
Bandung belum terlalu tua sebagai sebuah kota. Bermula dari niatan Daendles saat ia singgah dalam perintisan Jalan Raya Pos (awal Abad XIX), akhirnya kota ini mulai dibuka sebagai pemukiman di 1810. Hingga mandiri menjadi Gemeente terpisah dari wilayah Bupati Bandung yang saat itu berdiam di wilayah Soreang pada 1906, saat ini menjadi Ibu kota Kabupaten Bandung.
Dalam selang yang singkat itu, Bandung memang disulap menjadi pemukiman perlahan diisi oleh banyak penduduk sekitar serta pendatang. Awalnya memang hanya warga Kabupaten Bandung dan warga Belanda yang bermukim. Tapi tak butuh lama untuk warga dari etnis Jawa, Arab, India, Tionghoa, dan lainnya.
Para datang ke kota baru yang diambisikan sebagai Paris- nya Jawa ini. Uniknya, kedatangan itu terbilang telat. Tidak seperti di kebanyakan kota besar Indonesia yang akhirnya membentuk semacam wilayah ordonasi (Kampung Arab, Kampung Pecinan, Kampung Keling). Di Bandung pengaturan seperti itu tidak sempat terlalu membudidaya. Keburu sampai di masa Pendudukan Jepang dan masa-masa revolusi kemerdekaan yang sempat membumihanguskan separuh kota.
Nah, jalur Bhineka boleh dikatakan awalnya diniatkan sebagai titik baru pemukiman warga Tionghoa, mendampingi wilayah warga Eropa di tengah kota. Sekarang kita bisa melihat sejumlah Klenteng dan Vihara, yang terbesar dan tertua ada di Kompleks Klenteng Besar di mana komplek tersebut merupakan hibah Bupati Bandung untuk warga etnis Tionghoa. Bahkan kini ketiga agama Tri-Dharma yaitu Buddhisme, Tao dan Kong Hu Cu bisa menunjukkan rumah ibadahnya masing-masing. Apa saja rumah ibadah mereka, di antaranya Vihara, Kung Miao dan Tao Kwan.
Demikian pula untuk warga Tionghoa yang kemudian menganut Kristiani, kita melihat Gereja Katolik dan Protestan berdiri tidak jauh dari jalur ini yaitu berada di Jalan Kebonjati dan Jalan Waringin yang terpisah dari yang dialamatkan untuk warga Belanda di tengah kota. Namun, sejak awal kedua warna kekristenan tersebut tidak hanya diisi warga Tionghoa. Peristiwa Bandung Lautan Api dan kemudian Long March Siliwangi membuat pembauran lebih terjadi.
Warga etnis Tionghoa menyebar ke beberapa titik lain, sementar jalur ini semakin ramai dengan banyak warga. Walhasil sekarang kita bisa melihat sejumlah tempat ibadah. Masjid yang lumayan tua dari sejumlah tradisi Islam, klenteng Tridharma, Vihara, Tao Kwan, Kung Miao, pondok pesantren, gereja, sampai tempat ibadah rekan-rekan dari Gerakan Kesadaran Khrisna yang sering disebut Hare-Khrisna dan tempat pertemuan rekan-rekan Buddhis NSI, berdampingan dengan pemukiman dan pasar tradisional. Begitu juga dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa late-nineteen dan kini dengan sejumlah bangunan modern, khas kreatif Kota Bandung.
Lalu, apa saja rumah ibadah yang berada di jalur bhinneka?
- Hare Khrisna
Rumah ibadah ini berada di pinggir Jalan Klenteng yang berdiri sejak tahun 2002. Gerakan yang tumbuh dalam rumpun tradisi Hindu ini kini menyumbang identitasnya sebagai penyubur kerukunan jalur ini. Saat ini bangunan sedang direnovasi, namun kita masih bisa berbagi diskusi di ruang tengahnya. Tidak jauh dari tempat ini, terdapat Kompleks Klenteng Besar, yang merupakan Klenteng tertua di Kota Bandung. Ada tiga Vihara dalam Klenteng ini.
- Vihara Tanda Bakhti
Vihara ini berada di simpang Jalan Saritem yang berdiri sejak 1979. Di daerah tersebut terdapat Pondok Pesantren Da’arut Taubah. Pesantren ini terbilang berhasil tumbuh dan turut memperbaiki kehidupan masyarakat yang semula dikenal sebagai ‘kawasan remang-remang’ di Bandung. Selain itu, vihara ini menjadi salah satu vihara yang memberi ruang mendaraskan Sutra dalam tradisi Palli yaitu, mendaraskan sutra dalam langgam Mandarin. Bahkan, saat malam Imlek Vihara Tanda Bhakti beberapa kali mengadakan pesta Lampion.
- Vihara Dharma Ramsi
Vihara ini terletak di Gang kecil di samping Jalan Cibadak yang berdiri sejak 1952. Tempat ini merupakan Vihara dengan koleksi altar yang lumayan lengkap untuk mazhab Buddhis Mahayana yang tumbuh di Tiongkok. Setiap Tahun Baru Imlek, Vihara ini dikenal ramai dengan atraksi barongsai dan koleksi lilin-lilinnya mulai dari ukuran kecil sampai besar.
- Kung Miao
Tempat ini sekaligus sekretariat MAKIN yang berada di Kompleks Ruko Jalan Cibadak yang ada sejak 1885. Lebih tepatnya, terletak di ruko disamping Jalan Cibadak, tempat ibadah umat Kong Hu Cu ini mencerminkan warna tersendiri religiusitas warga Tionghoa. Ajarang Konfusius (Kong Fu Tse) yang menenkankan hikmat dan keseimbangan hidup tercermin dalam aspek-aspek ibadahnya.
- Wihara Sinar Mulia
Wihara ini biasa disebut dengan nama Tao Kwan berada di Kompleks Ruko Jalan Cibadak, tempat sembahyang umat Tao, pengikut ajaran Lao Tse. Wihara ini ada pada 2002.
- Masjid An-Nashir
Masjid ini menjadi masjid dengan usia yang cukup terletak di Gang H. Sapari, Jalan Astana Anyar. Perlu diketahui, masjid ini merupakan Masjid Ahmadiyah yang cukup tua ini ada di tengah pemukiman penduduk yaitu sejak 1948. Pernah mengalami serangan fisik dari sejumlah kelompok garis keras, namun kini langgeng mewarnai keberagaman Bandung.
- Paroki St. Mikael
Salah satu paroki yang cukup tua dengan usia lebih dari 70 tahun di Kota Bandung di Jalan Waringin. Bermula dari misi awal Katolik tahun 1920-an di kawasan Pecinan. Namun menyebar menjadi pelayanan untuk para warga di sekitar pasar tradisional ini. Gereja ini merupakan gereja pertama yang mengadakan acara buka puasa bersama lintas iman di Bandung.
- Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Kristen Pasundan (GKP)
Keduanya berada di Jalan Kebonjati. Awalnya merupakan kompleks Gereja dan Rumah Sakit dari Badan Misi Protestan. Sekarang menjadi dua gereja Protestan yang lumayan tua usianya yaitu pada 1924. Kedua gereja ini terbilang aktif menyelenggarakan kegiatan lintas iman di Bandung.
Jadi, bagaimana, tertarik berjalan-jalan di jalur ini? Nanti ya setelah covid-19 ini rampung. hiks….