“Wadh dhuha, wa al-laili idza saja, maa wadda aka rabbuka wama qola….”
Badala, mendadak saya lupa terusannya. Ini terjadi sewaktu saya mengimami shalat witir, selepas tarawih pada malam Ramadhan pertama, beberapa hari lalu.
Beruntung, ponakan saya yang berumur tujuh tahun merevisi, “walal akhiratu khoirul laka minal ula, Om.”
Dan, ya, saya lalu melanjutkan sampai purna surat adh-Dhuha itu, dengan sedikit menahan tawa tentu saja. Shalat saya seketika jauh dari kata khusyu.
Ternyata saya tidak sendiri. Di belahan bumi lain, seorang kiai, sebut saja H Mahfudz, bercerita kalau anak dari seorang temannya memprotes bapaknya yang hanya qulha-qulhu saja sepanjang shalat tarawih.
Itu yang tampak. Selebihnya, saya berani bertaruh bilamana masih banyak kasus serupa yang belum pernah sedahsyat sebelumnya, yakni mengandaikan seorang kepala keluarga, atau minimal laki-laki dewasa, menjadi imam shalat dadakan di tengah pagebluk Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Rupanya, kita memang sedang berada di tengah situasi yang oleh Yuval Noah Harari dalam sebuah artikel berjudul The World after Coronavirus disebut sebagai eksperimen sosial berskala besar. Keputusan-keputusan yang di masa normal butuh pertimbangan berlarut-larut, kiwari harus diputuskan dalam hitungan jam. Itulah watak kedaruratan.
Seperti diketahui, menjamurnya imam baru shalat tarawih merupakan efek domino dari himbauan untuk tidak melakukan shalat tarawih berjamaah di masjid-masjid, mushola-mushola, atau aula-aula. Akibatnya, orang lalu berdiam di rumah, kerja di rumah, dan ibadah di rumah.
Barangkali bukanlah masalah yang berarti, kalau kita sekadar menjadi imam shalat lima waktu yang hanya menyunahkan bacaan surat pilihan selepas al-Fatihah pada dua rakat awal. Tapi yang satu ini berbeda. Ini adalah shalat tarawih, yang berapapun Anda memilih jumlah rakaatnya (8 atau 20), tetap saja mengharuskan improvisasi surat pilihan.
Meski begitu, sekarang kita telah dimudahkan oleh banyak hal. Kecanggihan teknologi adalah salah satunya. Dan ini mungkin sangat membantu di tengah kegalauan fenomena masifnya imam baru tersebut. Lihat saja betapa meruahnya media-media daring menayangkan panduan demi panduan, mulai dari niat puasa Ramadhan, urutan surat pilihan bakal shalat tarawih, hingga bacaan bilal shalat tarwih yang terbukti cukup digandrungi masyarakat digital.
Saya kira, yang demikian itu menegaskan bahwa ketergantungan umat manusia terhadap teknologi sedang berada di puncaknya. Dan, situasi ini mungkin masih akan terus berlangsung, kendati pandemi telah hengkang dari muka bumi.
Kabar baiknya, Kiai-kiai kampung tak mau kalah. Serupa dengan itu, ustaz-ustaz di pesantren perlahan namun pasti mulai terampil dengan layar gawainya, melakukan siaran langsung kajian kitab atau hadis tertentu di kanal-kanal media sosial mereka.
https://instagram.com/p/B_jbHByjslw/
Di lain pihak, ini semacam gayung bersambut: antara pandemi, bulan suci Ramadhan, dan kesadaran digital para pegiat agama yang memang otoritatif di bidangnya. Ketiganya saling menemukan momentumnya.
Bayangkan, di masa-masa sebelumnya konten-konten atau narasi keagamaan di internet bisa dibilang masih didominasi oleh wacana toxic yang sangat hitam putih, monokrom, dan kaca-mata kuda.
Parahnya, itu disponsori oleh pembawaan da’i-da’i malpraktik atau nir-ilmiah yang sekadar menjual popularitas, mengobral kebencian, dan pada puncaknya adalah menyebarkan hasrat menang-menangan. Akibatnya, kehidupan keberagamaan kita pun tak lebih dari kata payah. Umat menjadi gampang marah. Terhadap perbedaan, orang lalu menjadi anti.
Mengutip seorang pengamat media sekaliber Savic Ali, bahwa internet itu laksana sungai besar pengetahuan. Setiap orang diandaikan meneguk air pengetahuan dari sana. Masalahnya, arus besar sungai pengetahuan itu semakin ke mari semakin tercemar oleh limbah-limbah politik, bisnis, dan tentu saja “agama”.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Menguras sungai yang kelewat besar dan deras tentu saja adalah upaya yang amsyong bin sia-sia belaka. Dengan begitu, demikian Savic, win-win solution yang paling masuk akal tanpa menciderai khitah kebebasan berpendapat adalah dengan memperbanyak “mata air” untuk menetralisir aliran sungai yang kian tercemar. Dan, melimpahnya ustaz-ustaz pesantren atau kiai-kiai kampung—biasanya mereka juga merupakan jebolan pesantren— di dunia digital adalah bagian dari memperbanyak “mata air” itu.
Sadar tidak sadar, itulah salah satu berkah dari adanya pandemi hawar Corona. Umat jadi punya alternatif untuk belajar agama. Wacana keagamaan di dunia digital pun menjadi dialektis.
Akhir kalam, inna ma’al ‘usri yusra (yakinlah bahwa setelah kesulitan ada banyak kemudahan). Ya, pandemi Corona memang menyulitkan semua kita, dalam banyak hal. Walakin, sebagai orang beriman, kita seyogianya meyakini bilamana laa yukallifullahu nafsan illa wus ‘aha (Tuhan tidak akan menguji sampai melampaui batas kemampuan kita).
Persoalannya, kelak, apakah orang-orang cerdik-pandai, al-alim al-alamah, atau siapapun mereka yang punya otoritas berbicara agama harus menunggu peluit Tuhan untuk menyebarkan konten-konten postif yang santun dan mencerdaskan kehidupan bangsa?
Semoga saja tidak. Wallahu a’lam.
BACA JUGA Sisi Lain Ngaji Kitab Online: Harus bersanad atau Cukup Penguasaan Atas Kitab yang Dibacakan Saja? Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini