Mereka yang besar di Lingkungan Islami, termasuk saya, pasti sering mendengar nasihat dari orang tua yang kira-kira begini bunyinya, “Kamu hidup itu yang jujur, makan dari uang yang halal, biar berkah hidupnya. Kalau hidupnya berkah, nanti rezeki kamu digampangin, mau kamu apa pasti dimudahkan sama Allah SWT.”
Ketika memasuki bangku kuliah, seiring mengenal cara berpikir rasionalisme, mulai muncul pertanyaan dalam benak saya, “Bagaimana bisa berkah (sesuatu yang abstrak) mampu memberikan dampak nyata terhadap kehidupan?”
Beragama memang tak semudah yang dibayangkan. Terlebih, karakter milenial yang cenderung kritis hari ini acap kali merujuk segala perintah agama dengan penelitian ilmiah. Seolah-olah kewajiban dan larangan yang telah termaktub dalam Alquran dan hadis harus didukung oleh hasil riset. Bila tidak, maka banyak dari kita yang kehilangan makna beragama. Buat apa melakukan hal yang tidak jelas juntrungannya?
Guru Besar Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Mujib, turut mengakui bahwa berkah adalah suatu hal abstrak yang sulit untuk ditakar atau diteliti. Namun, betapa keberkahan ternyata sangat memberikan dampak bagi kehidupan kita sehari-hari, disadari atau tidak.
Pernyataan itu ia sampaikan ketika menjadi pembicara pada Indonesia Millennial Summit (IMS) 2020 by IDN Media. Sebagai psikolog, Mujib sering berhadapan dengan orang-orang yang mengeluhkan masalah demi masalah dalam hidupnya. Menariknya adalah klien Mujib rata-rata orang yang berkecukupan secara harta dan memumpuni secara jabatan. Akan tetapi, hidup mereka banyak yang tidak bahagia.
Mantan Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu membeberkan satu per satu kisah kliennya guna diambil hikmah.
Pertama, seorang klien mengeluh kepada Mujib karena usia pernikahannya tidak lama. Dia sudah bercerai lebih dari tiga kali. Satu hari, dia bercerita bahwa dirinya melancong ke Amerika Serikat dengan izin liburan kepada keluarganya. Secara diam-diam, ternyata lelaki yang bekerja sebagai direktur ini sudah mengatur janji dengan mantannya.
Kemudian Mujib menjawab, “Penyebab perceraian anda adalah cara mendapatkan uang yang tidak halal.” Mendengar ungkapan tersebut tentu membuat klien marah. Bagaimana bisa seorang psikolog menjawab permasalahan selayaknya agamawan.
Lelaki kelahiran Gresik ini kemudian mengutip sabda Nabi yang kira-kira berbunyi “Sesuap makanan haram itu mengandung dosa.” Mujib melanjutkan, “Dalam bahasa psikologi, orang yang makan dari sumber yang haram akan menyebabkan rasa bersalah. Orang dengan rasa bersalah itu biasanya mudah tempramen dan setres, sehingga terkait perkawinan, dia menganggap solusinya adalah cerai.”
Kisah kedua, Mujib memiliki mahasiswa yang meneliti tentang penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Ketika ditanya kenapa sang mahasiswa mengambil tema tersebut, dia menjawab bila 9-10 persen anak-anak di perumahannya adalah anak-anak berkubutuhan khusus, mereka autis, down syndrome, atau hyperactive.
Ketika ditanya lebih spesifik, komplek perumahan apa itu? Si mahasiswa menjawab, itu adalah perumahan yang diperuntukkan pegawai perusahaan swasta terkemuka di Asia. Dengan kata lain, kalau ditanya uang, tentu mereka tidak kekurangan. Maka, faktor kekurangan gizi tentu tidak relevan untuk menjelaskan fenomena ABK di komplek tersebut.
Setelah Mujib dan mahasiswanya telaah lebih jauh, penyebab banyaknya ABK di komplek tersebut adalah syubhat, atau perkara yang masih samar hukumnya antara halal dan haram. Bisa dikatakan sumber pendapatan para orangtua di komplek tersebut terbilang tidak jelas antara halal atau haram.
Anjuran untuk meninggalkan syubhat pernah diingatkan Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menghindari diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.”
Pakar psikologi Islam kedua di dunia ini melanjutkan, “Saya sering bilang, istilah makanan 4 sehat 5 sempurna itu belum cukup. Tambah 1 lagi, jadi 4 sehat 5 sempurna 6 walafiyat. Apa itu? Halalan tayyiban.”
Ia merujuk pernyataan itu dari buku Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) karangan Imam Al-Ghazali. “Ternyata, apa pun yang masuk ke dalam diri kita itu mengandung unsur-unsur kimia. Termasuk kebahagiaan pun ditentukan oleh komposisi-komposisi yang bersifat spiritual (rezeki yang halal),” terang Mujib.
Pada bagian akhir, Mujib menyimpulkan bahwa perilaku positif ternyata memberikan dampak positif. Begitu pula sebaliknya, perilaku negatif akan memberikan dampak negatif. Mereka yang berbohong dan sering melanggar syariat Islam mudah terserang penyakit psikologis, seperti stres atau depresi, sulit bergaul dengan lingkungan sekitar, dan tidak mudah mengembangkan potensi diri.
“Perilaku yang buruk menghasilkan guilty feeling. Rasa bersalah itulah yang membuat perilaku kita tidak nyaman, gampang stres, gampang depresi. Ya seperti itulah faktor spiritual. Kelihatannya klise, normatif, tapi ternyata betul-betul memberikan implikasi,” tutup Mujib. (AN)
Wallahu a’lam.