Seandainya mendiang almarhum Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) masih hidup, ia mungkin kagum sekaligus cemas menyaksikan perkembangan teknologi dan perilaku umat Islam saat ini.
Ia besar kemungkinan kagum pada perkembangan teknologi saat ini, buah modernisasi. Misalnya, ia akan mengagumi pesawat tanpa awak, angan-angan para ahli di masa lalu, yang kini sudah beroperasi.
Ia juga mesti takjub melihat orang pegunungan di Garut, Jawa Barat, bisa dengan mudah mengakses edisi terbaru jurnal terkemuka di dunia. Ia bisa jadi akan bangga sebab teknologi telah memberi banyak kemudahan bagi umat manusia, seperti ia bayangkan sebelumnya.
Namun, Cak Nur juga mungkin cemas menyaksikan bagaimana umat Islam memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial. Di media sosial (facebook, twitter, whats app, instagram dan lainnya), banyak pihak yang melabeli dirinya Islami menyebarluaskan berita bohong (fake news). Lebih dari itu, mereka juga mengobral label “kafir” atau “melecehkan Islam” kepada orang lain, yang bertentangan dengan versi ajaran Islam yang ia anut.
Kedua label di atas perlahan-lahan berkembang dari pola pikir sehari-hari menjadi sumber perilaku kekerasan. Mula-mula merendahkan pihak yang dilabeli “kafir”. Belakangan, mereka tidak lagi dilihat sebagai manusia, melainkan musuh yang harus dimusnahkan.
Pada gilirannya, mereka halal darahnya karena dianggap musuh-musuh Islam. Perilaku ini seakan membuktikan penilaian sebagian orang bahwa Islam merupakan rujukan kekacauan, alih-alih sumber keselamatan.
Baginya, Islam garis keras bukanlah Islam yang dicita-citakannya. Sebaliknya, ia mencita-citakan wajah Islam yang damai, modern sekaligus menopang peradaban, bukan kebiadaban, umat manusia.
Dalam salah satu risalahnya, Cak Nur mengutip ayat al-Quran [QS Al-Jatsiyah: 13]: “Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaan-nya, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir atau rasional yang akan mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu”.
Melalui ayat ini, ia ingin menunjukkan bahwa ajaran Islam identik dengan dan mendukung pada cara berpikir yang rasional. Oleh karenanya, Islam tidak bertentangan dengan modernitas. Menjadi modern karenanya adalah suatu keharusan. Bila tidak, umat Islam akan terus tertinggal dari dari umat-umat lainnya.
Pikiran ini muncul sekitar tahun 70-an, ketika Cak Nur menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Saat itu, ia mengamati umat Islam khususnya di Indonesia dalam suasana jumud, nostalgia akut, atau terlampau rindu pada masa lampau.
Akibatnya, umat Islam tidak bisa menampilkan pemikir-pemikir terbaiknya dalam berbagai bidang, khususnya sains dan teknologi. Ia menginginkan Islam dengan semangat baru, semangat yang mendorong umatnya menjadi orang terdepan dalam berbagai temuan ilmu pengetahuan modern.
Modernisasi di sini bukan westernisasi, atau “suatu keseluruhan paham yang membentuk way of life, termasuk hal-hal yang menunjukkan gejala kemerosotan moral Barat.” Jika itu yang dimaksud dengan modernisasi, Cak Nur tegas menolaknya. Modernisasi yang ia perjuangkan adalah perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi berada dalam suatu proses, pencarian kebenaran-kebenaran relatif, yang terus menerus diuji kembali. Modern saat ini, beberapa tahun kemudian akan dianggap tak lagi modern. Karenanya, yang bertahan adalah pengetahuan yang terus menerus diuji kebenarannya. Itulah ilmu pengetahuan modern.
Seruan untuk berorientasi pada ilmu pengetahuan yang rasional ini rupanya beriringan dengan fakta pesatnya umat Islam yang masuk ke perguruan tinggi modern. Banyak di antara mereka yang telah menjadi teknokrat, pengacara, dokter dan lainnya. Singkat cerita pembaharuan Islam yang ia serukan berjalan dengan baik.
Pembaharuan dalam bidang ilmu pengetahuan ini, sayangnya, tidak berjalan beriringan pembaharuan dalam bidang sosial-politik. Bila dalam ilmu pengetahuan, kaum Muslim memanfaatkan pikiran rasional, progresif dan dinamis, ada banyak yang dalam bidang sosial politik berpikir jumud, nostalgia, dan rindu pada masa silam.
Pikiran inilah yang sampai saat ini mengajukan gagasan penerapan syari’ah Islam dalam cita-cita politiknya. Setelah rezim orde baru tumbang, mereka memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, yang menekankan ajaran Islam sebagai dasar bagi pemeluk Islam di Indonesia. Bagi mereka, ilmu pengetahuan boleh berorientasi pada masa depan, sistem politik harus kembali ke masa silam.
Pandangan ini diekspresikan dalam berbagai bentuk. Ada di antara mereka yang memanfaatkan otonomi daerah dengan mendesakkan peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariah Islam.
Mereka meyakini, jika semua daerah menggunakan syariah Islam, tidak ada alasan untuk menolak di level nasional. Ada pula yang mengusahakan melalui pendidikan. Bentuk kedua ini meyakini bahwa jika mayoritas Islam Indonesia diajari tentang islam politik, tidak ada alasan menolak perubahan negara menjadi negara islam di bawah pemerintahan khilafah.
Sementara kedua jenis di atas menggunakan pendekatan dari dalam dan melalui pendidikan, ada kelompok yang memperjuangkan Islam politik dengan menggunakan kekerasan dan pemaksaan. Mereka berduyun-duyun membawa pentungan bila ajaran Islam tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka razia siapa saja yang dianggap seakan-akan pelaku prostitusi, misalnya.
Bentuk terburuk kelompok ini adalah terorisme. Mulai dari bom Bali hingga kekerasan yang diasosiasikan dengan kelompok Islamic State Irak and Syam (ISIS). Kekerasan paling brutal sudah dipertontonkan di Irak dan Suriah. Gerakan ini saat ini merupakan ancaman paling besar bangsa Indonesia.
Betapapun berbeda-beda pendekatan, umat Islam yang merindukan sistem masa lampau ini disatukan oleh sikap keagamaan yang mudah melabeli pihak lain sebagai kafir atau peleceh Islam. Mereka menilai halal menyebar berita palsu dan fitnah kepada mereka yang sudah dicap kafir dan peleceh Islam.
Intimidasi, kekerasan dan teror bukan jalan terbaik untuk memperlihatkan Islam sebagai agama yang menjadi jalan keselamatan. Intimidasi semakin membuat orang lain takut berteman dengan umat Islam. Kekerasan hanya mengeraskan tudingan orang bahwa Islam adalah agama sadis. Teror hanya menegaskan bahwa Islam adalah agama teror. Alih-alih memperbaiki reputasi, ketiganya malah memperburuk citra Islam.
Berislam ala Cak Nur yang menekankan pada berpikir rasional perlu kita pertimbangkan dan kembangkan. Islam modern yang menekankan pikiran rasional adalah Islam yang berorientasi pada masa depan dan kemajuan bersama, tidak saja untuk umat Islam, melainkan juga untuk umat manusia lainnya. Model berislam inilah yang kelak akan berkontribusi pada peradaban, bukan kebiadaban.
Berpikir rasional mengakui ketidaksempurnaan. Sebab tak sempurna, maka muncul pengakuan ada kemungkinan kebenaran dari pihak lain. Karena sifatnya yang relatif, perbedaan tidak bisa dihindari. Menghargai perbedaan, karenanya, adalah prinsip dasar bagi mereka yang berpikir rasional.
Model pikiran ini mengejawantah dalam pandangan Mohammad Hatta, tokoh Muslim sekaligus pendiri bangsa ini. Ia menyatakan bahwa penting memperjuangkan islam, tetapi aspek Islam substansi, yakni misi Islam yang memperjuangkan keadilan sosial bagi segenap bangsa Indonesia.
Memperjuangkan keadilan sosial hanya bisa diperjuangkan melalui pendekatan nirkekerasan. Bagaimana keadilan bisa terwujud jika dilakukan dengan cara paksaan, intimidasi, kekerasan apalagi teror.
Al-Quran mengajarkan bahwa “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia. Tapi barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan segenap umat manusia.”
Jika model ini cara kita berislam, mempraktikkan model Islam rasional, sudah barang tentu Cak Nur akan berdecak kagum tanpa perlu cemas. Sebab Islam kita, Islam rasional, Islam tempat keselamatan segenap umat manusia, Islam yang rahmatan lilalamin.
Penulis: Husni Mubarok, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina.
*Tulisan ini kali pertama terbit di Beritagar.id kerjasama dengan Islami.co