Suatu hari, seorang penguasa yang terkenal zalim pernah kedatangan malaikat penacabut nyawa (malaikat maut). Mendapati ada yang datang ke kediamannya, sang raja pun bertanya, “Siapa kamu?”
Malaikat itu menjawab, “Aku adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawamu.”
Sontak, sang raja pun kaget bukan kepalang. Ia lalu meminta keringanan dan memohon agar diberi waktu tenggang atau tempo untuk menyiapkan kematiannya. Tak tanggung-tanggung, waktu yang ia minta adalah tujuh tahun.
Allah SWT pun mengambulkan permintaannya. Dia berkata kepada sang malaikat, “Katakan kepada raja itu, Aku telah menangguhkan kematiannya dan mengabulkan permintaannya.” Segera setelah menyampaikan pesan Allah itu, sang malaikat pun undur diri.
Ternyata, selama waktu tujuh tahun itu, sang raja tidak benar-benar mempersiapkan kematiannya dengan ibadah dan beramal baik. Ia justru mendirikan bangunan yang sangat kokoh yang akan ia gunakan untuk bersembunyi dari kematian. Dipikir, si raja bisa menghindar dari malaikat maut.
Ia membangun sebuah rumah sangat besar. Pintunya terbuat dari besi dan timah. Rumah itu dikelilingi oleh benteng yang sangat kokoh, yang mana dindingnya terbuat dari bebatuan. Tidak hanya itu, di belakang benteng itu, ia bangun pula tujuh lapis parit (sehingga orang yang datang dari belakang benteng, tidak akan bisa melewatinya).
Setelah semuanya jadi, ia bersembunyi di dalam rumah besar itu dan berkata kepada para pengawal dan para penjaga rumah itu untuk tidak mengizinkan siapa saja masuk ke sana selamanya. Ternyata beberapa waktu kemudian, sang malaikat maut masuk ke rumah itu. Melihat kedatangan sesosok makhluk yang akan mencabut nyawanya, sang raja pun berkata, “Darimana mana kamu bisa masuk ke sini? Siapa yang mengizinkanmu masuk?”
“Yang memasukkanku adalah pemilik dunia ini (Allah Swt),” jawab malaikat singkat.
Dengan perasaan yang campur aduk karena merasa ajalnya sudah dekat, sang raja pun memanggil para pengawal dan penjaga pintu rumahnya, “mengapa kamu biarkan orang ini masuk?”
Mereka pun mengatakan bahwa selama ini tidak melihat seorang pun masuk. Mereka juga mengatakan bahwa rumah itu, selama ini, terkunci dan kuncinya hanya mereka yang membawanya. Mereka benar-benar tidak tahu menahu manakala ada yang bisa masuk ke sana.
Malaikat itu pun berkata, “Jika Allah SWT berhendak untuk masuk, maka Dia tak membutuhkan pintu. UtusanNya (malaikat tersebut) juga demikian. Dengan izin-Nya, dinding sekuat apapun dan parit sebanyak apapun tak akan bisa menghalanginya”.
“Lantas apa maksudmu datang ke sini?” tanya sang raja.
“Aku akan mencabut nyawamu,” jawab malaikat.
Sang raja bertanya lagi, “Apakah ini pasti akan terjadi?”.
“Iya, pasti,” malaikat menjawab singkat.
Sang raja pun bertanya bahwa kalau ia benar-benar mati, ruhnya akan pergi ke mana. Malaikat menjelaskan, ruhnya akan pergi ke rumah yang telah ia bangun sendiri. Sang raja tambah penasaran, benarkah ia telah mendirikan rumah untuk dirinya sendiri. “Iya,” jawab malaikat.
“Di mana rumahku?” tanya sang raja tambah penasaran.
Sebelum benar-benar mencabut nyawa sang raja, malaikat maut pun menjawab pertanyaan itu menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an, bahwa rumah masa depan sang raja berada di:
….لَظَى (15) نَزَّاعَةً لِلشَّوَى (16) تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى (17) وَجَمَعَ فَأَوْعَى (18)
“…api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama), dan orang yang mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”. (Al-Ma’arij/70:15-18)
Demikian kisah sang raja yang zalim yang mencoba lari dan menghindar dari kematian. Kisah yang penulis baca dari kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin al-Qulyubi ini memberikan pesan bahwa seberapa pun kita berusaha untuk menghindar dari kematian, maka kematian pasti juga akan mendatangi kita. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ahmad Shihabuddin al-Qalyubi, al-Nawadir (Jeddah: al-Haramain, t.th.), hlm. 89-90.