Presiden Iran, Hassan Rouhani pada Selasa (22/9) berpidato di sidang PBB ke-75 untuk menanggapi keputusan sepihak Amerika yang berupaya memperpanjang sanksi nuklir Iran. Menurutnya, perpanjangan sanksi itu akan berakibat pada karier politik Trump, terutama pada helatan pemilu 2020. Karena sejak penarikan diri Amerika dalam kesepakatan nuklir tahun 2018, ketegangan antara Amerika-Iran kian meningkat.
Peningkatan itu terekam dalam beberapa aksi saling kecam, hingga konflik di negara proksi pun tak terhindarkan dan cenderung bertambah intensitasnya. Hingga pada Januari 2020 silam, Amerika di bawah perintah Trump berhasil membunuh Jenderal Qassem Soleimani, salah satu pemimpin Garda Revolusi Iran yang disegani lawan maupun kawan.
Kondisi tersebut bukan tidak mungkin dapat memperburuk citra politik dan menurunkan elektabilitas Trump. Mengingat, masyarakat Amerika dapat menilai ketidak-becusan kinerja Trump dalam menjaga komitmen Amerika pada perdamaian.
Begitupun dalam persoalan domestik, Trump melalui wacana hak asasi manusia (HAM), kesetaraan dan demokrasinya dinilai ‘tidak beres’ dan abnormal. Pasca kematian George Floyd akibat penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan polisi Amerika pada Mei 2020 silam telah menyulut protes besar-besaran di Amerika, serta membuka kembali luka ‘orang kulit hitam’ di Amerika. Persoalan ini jelas menambah ‘cacat’ pemerintahan Trump, baik dalam ranah domestik maupun internasional.
Meski mendapat banyak tekanan dan kecaman dari berbagai pihak, Trump tetap bermain api. Tampilnya Amerika sebagai mediator normalisasi Israel-Uni Emirat Arab (UAE)-Bahrain menambah daftar ‘cacat’ kebijakan politik dalam wacana perdamaian Timur Tengah, terkhusus Palestina. Ditambah dengan arogansi Trump yang tetap mempercayai bahwa keputusan memperpanjang sanksi nuklir Iran merupakan bentuk komitmen Amerika dalam menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan dunia.
Trump beralasan, program pengayaan nuklir Iran adalah ancaman yang berbahaya, yang dapat melahirkan bencana berupa senjata pemusnah massal. Alasan ini diamini Saudi dengan menyatakan, “Timur Tengah adalah zona bebas nuklir, sehingga proyek nuklir Iran ini menghambat perdamaian dan keamanan Kawasan. Karena proyek ini dapat memprovokasi negara-negara Kawasan saling bersaing dalam peningkatan kekuatan, juga membangkitkan semangat separatisme dan terorisme”.
Wacana perdamaian ala Amerika bukan lagi senjata ampuh untuk menarik simpati publik internasional. Mengingat fakta yang beredar adalah sebaliknya. Arogansi, konflik, perang, embargo, chaos, intimidasi dan semacamnya gencar dilesakkan Amerika melalui wajah arogan Trump. Sehingga penolakan-penolakan terhadap rencana perpanjangan sanksi nuklir Iran ini silih bergantian datang menghampiri.
Bahkan, Emmanuel Macron, Presiden Prancis itu dengan tegas berkata, Amerika telah gagal menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terlebih Trump juga gagal dalam membaca peta geopolitik Timur Tengah, terkhusus Iran.
Pada akhirnya, Rouhani tanpa ragu menyatakan, keputusan perpanjangan sanksi nuklir oleh Amerika ini adalah bentuk kemenangan Iran, juga masyarakat internasional. Pasalnya, dalam keputusan Amerika dan Trump tersebut tidak memiliki dasar legal yang diakui hukum internasional, sehingga yang tampak dari keputusan itu adalah arogansi yang menyulut api konflik, yang tentunya bertentangan dengan komitmen perdamaian, stabilitas keamanan, HAM dan demokrasi ala Amerika.
Iran antara Bertahan dan Menyerang
Mengemukanya wacana perpanjangan sanksi nuklir Iran yang dikampanyekan Amerika melahirkan spekulasi yang sarat aroma politis. Mengingat salah satu syarat ‘tak tertulis’ untuk menjadi Presiden Amerika adalah terus melanggengkan konfrontasi dengan Iran. Namun untuk tujuan pragmatis yang demikian, banyak korban dirugikan. Sanksi nuklir Iran berkonsekuensi menurunkan potensi ekonominya. Karena, kelanjutan dari sanksi nuklir adalah embargo ekonomi, yang pastinya sangat amat merugikan.
Sidang Umum PBB ke-75 menjadi kesempatan Iran untuk melakukan serangan balik. Beragam argumen penguat telah dilontarkan Rouhani di forum tersebut. Strategi bertahan yang selama ini diterapkan Iran untuk menghalau wacana arogan Trump terbukti ampuh dengan banyaknya dukungan.
Alih-alih mengintimidasi, Amerika juga Trump semakin terpojok. Negara pemegang kunci kesepakatan nuklir pun menentang keras keputusan Trump itu. Namun, Amerika tidak sendiri. Meski banyak penentangnya, ada beberapa aliansi dan negara sekunya yang tetap setia mendukung Amerika.
Rouhani sendiri sudah tidak mengharapkan adanya negosiasi dalam kesepakatan nuklir ini. Pihaknya sudah bulat untuk tetap pada kesepakatan awal tentang berakhirnya sanksi nuklir pada 18 Otober 2020. Mengingat kini Iran benar-benar sedang berada dalam masa sulit. Krisis ekonomi yang dibarengi dengan menurunnya nilai tukar mata uang Iran, beserta terus melonjaknya kasus penularan Covid-19 menambah daftar haru Iran di tahun 2020 ini. Selain itu, Rouhani juga memahami bahwa kesepakatan nuklir tahun 2018 silam merupakan pencapaian besar dalam sejarah diplomasi di tingkat dunia.
Strategi menyerang Rouhani di sidang PBB tersebut juga menyiratkan pesan tentang berakhirnya era intimidasi, dominasi, hegemoni dan penindasan. Oleh karena itu, Iran selalu siap dengan segala kemungkinan pasca sidang PBB itu meski harus berperang jangka pendek. Sementara itu, Trump dalam pidatonya di sidang PBB tidak mampu berargumentasi dengan baik. Dia hanya menekankan perlunya sanksi nuklir Iran diperpanjang guna menjegal dan melumpuhkan Iran sebagai negara yang menurutnya mendukung tindak terorisme.
Lika-liku kesepakatan nuklir Iran ini seperti drama yang tidak berkesudahan. Episodenya terus menerus hadir dan bersambung menghiasi wacana publik internasional. Di balik itu memang ada kepentingan yang lebih besar nilai keuntungannya. Elektabilitas Trump misalnya, atau pengakuan dunia internasional terhadap komitmen perdamaian Amerika, dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan dengan Zero Sum Game yang terdapat dalam Game Theory.
Mudahnya, terdapat kecenderungan kedua belah pihak yang berkonflik terhadap kepentingan masing-masing. Satu pihak meraup keuntungan sebanyak mungkin, dan pihak yang lain dirugikan sebanyak mungkin. Jika itu terjadi, maka kemenangan diperoleh bagi yang banyak mendapat untung. Di sinilah konflik diametrik beroperasi, sebagaimana Amerika mengoperasikan memainkan struktur diametrik ini pada Iran.
Namun, masih ada faktor-faktor lain yang dapat mengubah algoritma macam itu. Karena selama mendapat sanksi nuklir sejak 2007, Iran hingga kini tetap kuat bertahan. Bahkan secara kalkulasi ekonomi lebih diuntungkan. Namun persoalannya kini, wacana perpanjangan sanksi nuklir Iran yang terbaru masih berjalan. Pertanyaannya, Berhasilkah? [rf]