“Tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Menepati janji-Nya, Yang Menolong hamba-hamba-Nya, Yang Mengerahkan balatentara-Nya, serta membumihanguskan para musuh atas keputusan-Nya sendiri.” (Penggalan Takbir Idul Fitri)
Dalam literatur Islam, pengertian “berhala” identik sebagai objek berbentuk makhluk hidup maupun benda-benda yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Ia dibuat oleh tangan-tangan manusia yang dianggap memiliki kesaktian, namun pada gilirannya menjelma kekuatan magis yang dikeramatkan.
Berhala-berhala itu nyata secara kasatmata, karena mampu ditangkap oleh indera penglihatan manusia. Ia memiliki materi dan bentuk struktur yang jelas, sehingga dapat dipegang, diraba bahkan dirobohkan. Ia tak merekat dengan jasmani manusia, namun kemudian disembah, didewakan dan dipuja-puji oleh mereka yang mempercayai dan mengimaninya.
Ketika peristiwa pembebasan Kota Mekah (Fathu Makkah) berhala-berhala yang ada di sekitar Kakbah dirobohkan dan disingkirkan. Meskipun sejak peristiwa Perang Badar, Rasulullah pernah menegaskan bahwa tugas manusia yang hakiki adalah kesanggupan menyingkirkan berhala-berhala di dalam dirinya, bukan semata-mata berhala fisik yang tampak secara kasatmata.
Jadi, meskipun wujud berhala Manat, Hubal, Latta maupun Uzza telah dirobohkan, namun mereka akan menjelma dalam bentuk lain yang begitu samar tetapi melekat dalam diri setiap manusia. Dapat dikatakan, berhala-berhala itu telah menjelma sebagai gelar, pangkat, jabatan, kedudukan politik, bahkan menampak sebagai harta dan kekayaan duniawi.
Jika diistilahkan sebagai “berhala psikologis” maka tanda-tandanya akan mudah didiagnosa, terutama dengan kiat menghidupkan kesadaran diri. Faktanya, berhala-berhala itu dapat memperlemah kita dari keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan Yang memiliki kekuasaan tunggal. Meminjam istilah dari novel Hafis Azhari yang berjudul Pikiran Orang Indonesia, bahwa berhala-berhala militerisme Orde Baru, telah mewariskan bangsa ini pada kedangkalan berpikir. Orang-orang dibikin ragu dan limbung akan tanggung jawab sosialnya, bahkan hingga menghinggapi kalangan intelektual dan sastrawan sekalipun.
Apa saja yang membawa kita pada justifikasi, legitimasi, hermenutik mencari kompromi, dan cinta yang membuat kita sebagai manusia menjadi lemah dan buta akan kebenaran sejati. Bahkan, para seniman dan sastrawan kita selama tiga dekade cenderung membuat karya-karya mereka sebagai teks sastra yang sakral dan keramat, seolah-olah tak bisa diutak-atik bagaikan kitab-kitab suci.
“Berhala psikologis di kalangan sastrawan Indonesia selama ini dapat menghalangi ketergantungan manusia pada kekuasaan Yang Maha Esa,” ujar Hafis Azhari.
Terkait dengan konsep monoteisme yang ditawarkan melalui karya-karya sasatranya, penulis kelahiran Cilegon, Banten itu menegaskan bahwa tali pengaitnya adalah upaya memerangi hawa nafsu yang jauh lebih berat ketimbang sekadar perang fisik. “Penghancuran berhala psikologis jauh lebih sulit daripada mengahancurkan berhala fisik, sebab musuh itu bisa masuk dan mengubah struktur berpikir dan berperasaan manusia,” tegas Hafis Azhari.
Di era medsos ini, begitu mudahnya umat manusia keranjingan menjadi budak-budak nafsu. Ibarat tali kekang yang menjerat leher, tangan dan kaki. Hawa nafsu itu kerapkali bermanis-manis menampilkan dirinya sebagai bocah ingusan yang kemauannya selalu ingin dituruti. Dan dalam kebanyakan peperangan, seringkali kita dibuat takluk, sehingga menjadi tawanannya.
Seorang sastrawan muslim terkenal, Fariduddin Attar pernah menggambarkan adanya seorang ulama sufi (Fulan) berlari-lari sambil membawa obor di tangannya. Ketika orang-orang bertanya mengapa ia membawa-bawa obor seharian, lalu dijawabnya dengan tegas, “Saya akan membakar Kakbah hingga rata dengan tanah.”
“Kenapa kamu hendak membakar Kakbah?”
“Supaya orang-orang hanya mengabdi pada Yang Memiliki dan Menguasai Kakbah.”
Suatu kali si Fulan justru membawa dua buah obor di tangannya, lalu jawabnya ketika orang-orang bertanya, “Obor yang satu ini untuk membakar surga dan satunya untuk membakar neraka, supaya orang-orang bersembahyang hanya karena Allah semata.”
Attar menggambarkan kualitas ibadah agar manusia sanggup menyibak kedalaman dirinya. Bahwa melakukan ibadah seringkali ditujukan pelakunya karena rasa takut menghadapi api neraka, serta mendapat iming-iming masuk surga. Berhala psikologis seringkali tampak pada mereka yang mengaku-ngaku penganut monoteisme sambil meneriakkan yel-yel “Allahu Akbar”, sementara dalam kalbunya tetap mengenakan stelan jas politeisme. Padahal, akidah ketauhidan sudah ada sejak penciptaan Nabi Adam, bahwa hanya Zat Yang Maha Esa yang layak disembah, dan tidak ada sesembahan lain yang dapat diserupakan dengan-Nya.
Dalam bukunya “Qashashul Anbiya” Ibnu Katsir menceritakan bahwa berhala-berhala yang pertama kali dibuat dinamakan Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr. Dan kesemuanya adalah para pemuka agama dan pentolan ulama yang hidup pada masa interval antara Adam dan Nuh. Konon, asal muasal pembuatan relief-relief patung kelima tokoh itu ditengarai agar dapat mengenang kesalehan-kesalehan mereka. Jika seseorang berdoa meminta pada patung-patung itu, niscaya akan memunculkan stimulus dan gairah ketaatan serta ketekunan dalam beribadah.
Di era kenabian Ibrahim, praktek penyembahan berhala – sebagaimana era Nabi Nuh – marak terjadi di mana-mana. Ibrahim pernah melancarkan aksi heroiknya dengan menghancurkan satu persatu berhala itu. Sambil menenteng sebuah kapak, Ibrahim merangsek menuju tempat peribadatan yang terletak di Babilonia saat ditinggal kaumnya. Mengingat banyaknya sesajen makanan yang teronggok sia-sia di sekelilingnya, Ibrahim lalu mengadakan dialog dengan patung mati yang selalu dipuja-puja dan dikultuskan oleh penganutnya itu.
“Makanan siapakah ini? Siapa yang mau memakan ini semua?” tanya Ibrahim kepada para berhala itu.
Tak ada jawaban sama sekali. Semuanya membisu. Walau dengan nada keras sekalipun, mereka tetap bergeming. Akhirnya, Ibrahim mulai mengayunkan kapaknya dan memecahkan berhala-berhala yang ada. Selasai menghancurkan seluruh berhala, berikutnya Ibrahim ambil siasat dengan cara mengalungkan kapak yang digunakannya di sekitar leher berhala yang paling besar.
Ibrahim telah mempersiapkan argumen-argumen rasional manakala harus berhadapan dengan pembesar-pembesar kaumnya. Ia diserbu dan digelandang oleh aksi militerisme tentara Raja Namrud. Di pengadilan ia mulai diinterogasi dengan cecaran-cecaran tanya yang memojokan dirinya. Ia sudah mafhum rute perdebatan akan mengarah ke sana, dan jawaban apa yang mesti dilontarkan supaya lawan bicaranya tumbang tak berkutik.
“Ibrahim, berarkah Anda yang menghancurkan Tuhan-Tuhan kami?”
“Coba kalian tanyakan pada berhala yang paling besar itu, barangkali dialah pelakunya.”
“Ibrahim, berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia menghancurkan berhala-berhala lainnya, karena ia tak bisa bergerak.”
Pernyataan itu dengan mudah dipatahkan oleh Ibrahim, “Lalu, jika dia tak bergerak, untuk apa kalian menyembah patung-patung itu?”
Keseimbangan paham menjadi limbung, keyakinan menjadi goyah seketika. Serangan balik Ibrahim membuat batin mereka tercekik. Namun, mereka tetap mengunci hati rapat-rapat dengan belenggu hawa nafsunya. Sama sekali tiada berkenan beriman kepada Allah, walaupun tuhan-tuhan ciptaan mereka telah dibabat habis oleh argumen logis Ibrahim.
Eksekusi mati diputuskan oleh Raja Namrud dengan melakukan pembakaran atas dirinya. Di tengah api unggun yang membara, Ibrahim merasa yakin bahwa Allah Maha Kuasa untuk mengubah sifat api, karena Dia-lah Sang Pemilik api, dan Dia-lah Sang Pemilik rasa panas maupun dingin.
“Cukuplah Allah sebagai Pelindungku, karena Dia-lah sebaik-baik penolong dan pelindung bagi hamba-hamba-Nya.”
Seketika itu, sifat api yang panas itu dapat berubah menjadi sejuk dan dingin berkat kekuasaan Allah. Hanya Dia-lah Yang Maha Mengubah segalanya, Dia-lah Sang Pembolak-balik hati manusia, Dia-lah Sang Maha Penolong. Lalu, kepada siapa lagi kita akan meminta pertolongan selain hanya kepada-Nya? Dan siapa pula yang dapat menghalangi murka dan amarah-Nya?
Hingga tibalah waktunya, ketika Raja Namrud disusupi oleh serangga yang menyengat genderang telinganya. Dalam sekaratnya, ia menjerit-jerit histeris oleh perlakuan serangga kecil (ba’udlah) yang menyusup masuk ke lubang telinganya. Orang yang merasa hebat dan perkasa itu, ternyata dengan mudah dibumihanguskan atas kehendak Allah. Hanya oleh seekor serangga sekecil nyamuk yang membuatnya tak berdaya untuk melawannya.
Pada hakikatnya, kita manusia tak memiliki kemampuan untuk membasmi segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. Hanya Tuhan Maha Kuasa yang berhak dan memiliki kewenangan untuk melakukan itu.
Oleh Chudori Sukra
(Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten)