Di akhir 2001, saat mengikuti tes kenaikan tingkat/sabuk dari merah muda (jambon) ke sabuk hijau dalam prosesi latihan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Ranting Mojorejo, Jetis, Ponorogo, saya dan para siswa lain dihajar habis-habisan oleh senior kami, para warga PSHT. Fisik rasanya remuk, dan kami hanya bisa misuh-misuh dalam hati akibat “penyiksaan” ini. Hahaha.
Beberapa hari usai digebuki, menjelang latihan rutin kami diajak ngobrol ringan oleh Mas Bashori, pelatih yang kami cintai karena rasa ngemongnya dan caranya mendidik fisik dan jiwa kami.
“Bagaimana, sakit?”
“Ya, mas.” kami menjawab serentak.
“Ketika kalian merasakan sakit karena pukulan dan tendangan, maka sudah seharusnya kalian berpikir bahwa jangan sembarangan mengumbar amarah, jangan sembrono memukul dan menendang, karena sebagaimana yang kalian rasakan kemarin lusa, ditendang dan dipukul itu sakit. Paham?!”
“Nggih, mas.”
Mungkin karena cara mendidiknya yang baik dan penekanan aspek ruhani dan persaudaraan yang dinomorsatukan, nyaris tidak pernah dijumpai anak didik Mas Bashori yang terlibat bentrokan dengan perguruan lain, apalagi tawuran dengan warga kampung. Dua peristiwa yang sering terjadi, dan sesungguhnya sangat memalukan.
Apa yang saya rasakan: dipukul, ditendang, dan dipulasara sedemikian rupa diam-diam mengendap dalam jiwa bahwa kekerasan tidak bakal menyelesaikan masalah, bahkan riskan menimbulkan masalah baru. Saya menyukai para pejuang yang membela haknya maupun para jenderal muslim yang bertempur dengan heroik, tapi sejujurnya saya lebih banyak mengidolakan para juru damai. Mereka yang menyerukan perdamaian di tengah konflik, mereka yang berjuang tanpa kekerasan, dan mereka yang mengakkan panji-panji Islam dengan sedikit “meminggirkan” ayat-ayat perang (qital), sembari mengarusutamakan ayat-ayat cinta kasih. Sungguh-pun resiko yang mereka terima lebih besar dibanding dengan cita-cita yang mereka raih.
Di Pakistan, ramai dikisahkan seorang bodyguard yang membunuh bosnya akibat si majikan menghina Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Pemuda ini akhirnya digantung sebagai konsekwensi tindakannya. Jenazahnya dishalatkan jutaan kaum muslimin Pakistan. Banyak yang mengagumi tindakannya, lalu bertakbir di fesbuk mennyebarkan kabar pemakamannya. Namun, mungkin karena hati saya yang terlampau berkarat, saya malah tidak menyebarkan kabar ini di dinding fesbuk.
Di Pakistan pula, hati saya malah merinding menyaksikan prosesi pemakaman seorang bapak Pakistan di era pascakolonialisme, Maulana Abdussattar Edhi, 8 Juli 2016 silam. Dia adalah orang besar Pakistan pasca Iqbal, Maududi, Ali Jinah, dan Abdul Ghaffar “Badshah” Khan.
Abdussattar adalah pejuang kemanusiaan. Dia mengasuh ratusan panti asuhan, memberdayakan kaum miskin, mendirikan ribuan klinik, merintis jaringan ambulan di hampir seluruh penjuru Pakistan, konsultasi keluarga berencana dan kehamilan, bantuan hukum, medis, dan keuangan gratis bagi tahanan dan orang cacat.
Bersama istrinya, Bilqis, dia berjuang memanusiakan manusia. Dana yang dia terima dari para donatur dikelola untuk kemaslahatan masyarakat tanpa memandang agama dan faksi ideologis. Bersama istri yang setengah abad mendampinginya, Abdussattar hanya tinggal di sebuah apartemen sederhana. Dia hidup bagai paria dengan topangan nurani sekuat permata. Pria dengan kopiah hitam ini benar-benar mempraktikkan isi Surah Al-Ma-un.
Hingga akhir hayatnya, dia masih sering memandikan jenazah orang terlantar dan menyopiri ambulan menjemput orang sakit. Edhi, pria berjanggut kelabu dengan senyum malu-malu itu, memilih berjuang menegakkan kalimatillah justru dengan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Dia disindir borjuis Pakistan dan diancam bunuh kelompok ekstremis Muslim (nggak usah heran, ekstremisme itu nggak punya agama. Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibunuh ekstremis muslim, Gandhi yang Hindu taat malah gugur di tangan ekstremis Hindu, dan Indira Gandhi juga diberondong ekstremis Sikh, dan Yitzhak Rabin dibunuh ekstremis Yahudi).
“Ambulanku Lebih Muslim Dibanding Kalian”
Edhi lahir di Gujarat, India, pada 1928. Kemudian, karena konflik pemisahaan India-Pakistan pada 1947, Edhi harus pindah ke Karachi, Pakistan. Di kota ini dia mengalami kejadian traumatik yang kemudian mempengaruhi hidupnya. Saat itu ibunya yang nyaris sekarat harus segera dilarikan ke rumah sakit terhambat gara-gara hanya ada satu ambulan milik Palang Merah Internasional. Kejadian ini terus menghantuinya.
Dia pun memulai kerja sosialnya dengan membuka toko obat di samping rumahnya. Dia bahkan sering menggratiskan obat karena iba melihat calon pembeli yang tidak punya uang sama sekali.
Langkah sosialnya semakin mantab saat Edhi mendirikan yayasan pada tahun 1957 untuk menerima donasi yang kemudian dia gunakan membantu korban wabah flu Hongkong yang saat itu menyebabkan puluhan warga Pakistan tewas. Di kemudian hari, Edhi memperoleh dana untuk membeli ambulan yang dibawanya sendiri untuk menjemput orang-orang sakit. “Itulah pertama kalinya saya memperoleh kepercayaan yang besar,” katanya.
Sejak saat itu, Yayasan Edhi menjadi lembaga nirlaba raksasa yang menggurita. Organisasi kemanusiaan yang memberikan layanan ambulan, klinik, rumah yatim, bank darah, dan banyak lagi yang lainnya. Semuanya gratis. Kini, tak kurang 2000 ambulan dimiliki yayasan ini. Ketika ada pengeboman (di Pakistan, kejadian ini seolah menjadi “tradisi”), mobil ambulan milik Edhi biasanya lebih dulu tiba dibandingkan dengan ambulan milik pemerintah lokal.
Bahkan, dalam konflik antar suku maupun antar geng di negara ini, mereka akan tunduk pada satu kode etik: apabila ambulan milik Edhi tiba, semua tembak menembak harus dihentikan, semata-mata agar relawan kemanusiaan dari Yayasan Edhi bisa mengevakuasi para korban, baik yang terluka maupun yang sudah tercabut nyawanya.
Edhi sudah terbiasa merawat jenazah yang ditolak keluarganya, maupun jenazah warga sipil yang hancur akibat perang, saat perang India-Pakistan pada 1965 dan 1971. Dia memandikan, mengkafani, menshalatkan hingga menguburkan jenazah ini. Jumlahnya mencapai ratusan. Dan, ketika polisi menemukan jasad Daniel Pearl, reporter Wall Street Journal yang dibunuh jaringan teroris di Karachi pada 2002, Edhi-lah yang mengurusnya. Dia membersihkan dan merapikan sisa-sisa tubuh Pearl yang dimutilasi dan membawanya ke bandara untuk diterbangkan ke AS.
Yayasan Edhi juga dikenal imparsial, tidak memihak kelompok mana pun. Dia menolong siapapun dan di manapun. Di perbatasan Pakistan-Afganistan, di mana konflik sektarian sering terjadi, ambulan Edhi mondar-mandir mengevakuasi para korban, sekaligus juga memberi bantuan kemanusiaan. Bahkan, ketika Badai Katrina menghantam AS, Yayasan Edhi mendonasikan USS 100.000 dolar kepada para korban. Ketika suatu kali ditanya mengapa dia melayani semua orang tanpa pandang bulu, tanpa mendahulukan mereka yang Muslim, pria berjenggot kelabu ini menjawab, “karena ambulans saya lebih Muslim dibanding kalian.”
Saya mengagumi Abdussattar Edhi seutuhnya, manusianya dan perjuangannya yang tanpa kekerasan. Kekerasan senantiasa menimbulkan ekses negatif pada suatu waktu, dan biasanya melahirkan kekerasan dalam jenis lainnya di satu waktu yang lain. Bagi saya perjuangan non-violence jauh lebih rumit dan kompleks, demikian pula upaya merajut persatuan antar berbagai kelompok. Gandhi di India, Burhanuddin Rabbani di Afganistan, dan Ahmad Kadyrov di Chechnya, misalnya, harus mewakafkan nyawanya untuk persatuan bangsanya. Bahkan demi mempersatukan Indonesia, dulu Bung Karno puluhan kali mau dibunuh, dari penggranatan hingga aksi sniper, tapi berkali-kali lolos. Persatuan itu mahal, kawan!
Di tanah air, mungkin pada saat ini dan beberapa bulan ke depan setelah Anda membaca tulisan ini, bakal ada orang yang mengajak perang saudara. Jangan digubris. Ini orang sakit jiwa. Dia tak pernah belajar dari perang saudara di Lebanon selama hampir 30 tahun yang membuat kebangsaan mereka nyaris roboh, dan tak pernah berniat belajar dari Suriah yang hancur lebur. Atau tengoklah Libya, setelah “jihad” melawan Qaddafy, rakyat dapat apa?
*) Rijal Mumazziq Z (Alumni MA Al-Islam Joresan Mlarak Ponorogo)
Tulisan ini memperingati haul ke-1 Abdussattar Edhi (8 Juli 2016-8 Juli 2017)