Ibu Ani Yudhoyono wafat pada usia 66 tahun. Saya segera teringat dawuh Kanjeng Nabi.
أعمار أمتي ما بين الستين إلى السبعين وأقلهم من يجوز ذلك
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun. Sedikit yang melampaui usia itu” (HR. Tirmidzi).
Saya coba mengakses situs Badan Pusat Statistik dan melihat data angka harapan hidup rata-rata orang-orang Indonesia: ternyata, terus meningkat. Dari 69,8 tahun pada 2010 menjadi 71,2 tahun pada 2018 (diartikan: yang lahir pada tahun 2010 dan 2018 punya harapan hidup selama 69,8 dan 71,2 tahun).
Sedangkan untuk dunia secara keseluruhan, sebagaimana dikutip VOA Indonesia, rata-rata angka harapan hidupnya adalah 73,8 tahun pada 2016.
Jika angka 60 atau 70 dalam pernyataan Nabi itu dimaknai 60-an dan 70-an, berarti pernyataan beliau terkonfirmasi oleh data ilmiah.
Anda dapat bertanya: atas dasar apa Nabi menyatakan demikian? Apakah itu hasil pengamatan Nabi terhadap usia kebanyakan orang-orang pada masa beliau, lalu dijadikan kesimpulan untuk rata-rata usia umat setelah beliau? Atau, itu bagian dari pengetahuan Nabi tentang masa depan?
Anda bisa mengasumsikan sendiri bermacam jawabannya.
Namun, yang jelas, pemaknaan populer dari hadis di atas adalah bahwa usia umat Nabi Muhammad itu pendek–kebanyakan hanya puluhan tahun–jika dibandingkan umat-umat terdahulu yang mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.
Kenapa umat Nabi Muhammad diberi jatah usia rata-rata puluhan tahun? Kenapa tidak ratusan atau ribuan tahun?
Ya enggak tahu. Wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang tahu jawaban pastinya.
Tapi, Anda bisa berpikir dan memberi pemaknaan atas hal itu–Anda bisa menyebutnya “hikmah”.
Hikmah kenapa umat Nabi Muhammad usianya pendek.
Di kelas, Pak Said Aqil Husin Al Munawwar beberapa kali mengatakan, karena usia umat Nabi Muhammad itu pendek-pendek (termasuk Nabi sendiri) maka umat ini diberi keistimewaan. Di antara keistimewaan itu adalah, meski usia pendek, umat diberi peluang untuk mendapatkan kebaikan dan pahala di sisi Tuhan dengan kadar yang berlipat-lipat dari hitungan usia mereka.
(Agaknya Pak Said senang menjelaskan hal demikian. Bisa jadi penjelasan itu sering beliau sampaikan di forum-forum pengajian. Saya coba googling, ternyata itu penjelasan yang sudah umum dalam referensi-referensi kitab klasik terkait hadis di atas).
Keistimewaan usia-pendek-tapi-pahala-berlipat seperti itu hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad. Tidak kepada umat-umat terdahulu.
Jika seseorang berusia 60-an atau 70-an tahun, dia bisa saja mendapatkan pahala dan kebaikan setara pahala dan kebaikan atas amal yang dilakukan selama ratusan tahun oleh umat terdahulu.
Maka, wajar kita jumpai nash-nash yang menginformasikan pelipatgandaan pahala.
Seperti ayat ini:
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا
“Orang yang membawa amal baik, dia mendapat [pahala] sepuluh kali lipat amalnya. Tapi, orang yang membawa perbuatan buruk, dia hanya diberi balasan yang setara dengan keburukannya” (al-An’am: 160).
Karena satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh maka wajar Nabi menyatakan bahwa puasa Ramadan yang dilanjutkan puasa enam hari Syawal itu setara dengan puasa satu tahun.
من صام رمصان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Orang yang berpuasa Ramadan dan dilanjutkan puasa 6 hari Syawal maka puasanya seperti setahun” (HR. Muslim).
Perhitungannya: 30 hari puasa Ramadan + 6 hari puasa Syawal = 36 puasa × 10 = 360 = 1 tahun.
Belum lagi jika Anda rajin berpuasa sunnah lainnya atau melakukan kebaikan-kebaikan lainnya, baik kebaikan vertikal maupun horizontal.
Karena itu pula, umat Nabi Muhammad diberi Lailatul Qadar; keistimewaan khusus untuk umat ini.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan” (al-Qadr: 3).
Seribu bulan setara dengan 83 tahunan.
Dan contoh-contoh lain.
Maka, jika Anda melakukan amal-amal dan mendapatkan kebaikan-kebaikan seperti di atas, barangkali saat ini pahala Anda sudah cukup banyak dan berlebih, melebihi batas jatah usia Anda. Pahala Anda surplus.
Namun, dalam keyakinan Sunni, bukan amal dan pahala yang kelak mengantarkan seseorang masuk ke surga. Sebanyak apa pun amal dan pahala seseorang tetap tidak cukup untuk “membeli” surga yang terlampau “mahal”.
Surga Anda kelak adalah berkat rahmat Allah. Karena kasih sayang Allah.
Rahmat Allah-lah yang kelak menjadi andalan saat Anda menghadap-Nya.
Munajat ini saya dengar dari pengajian Gus Baha. Setelah saya cek, ternyata adalah munajat Umar ibn Abdil Aziz:
اللهم إن لم أكن أهلا أن أبلغ رحمتك فإن رحمتك أهل أن تبلغني
“Ya Allah, jika aku tidak mampu menjangkau rahmat-Mu, sesungguhnya rahmat-Mu mampu menjangkau diriku.”