Benih Perlawanan itu Bernama Media Sosial

Benih Perlawanan itu Bernama Media Sosial

Kemarin, percikan “semangat” serupa terlihat di Indonesia. Grafis bergambar Pancasila dengan latar warna biru tua bertuliskan “Peringatan Darurat” diunggah oleh salah satu akun di platform X.

Benih Perlawanan itu Bernama Media Sosial

Pada tanggal 14 Januari 2011, Presiden Tunisia Ben Ali terpaksa mundur dari jabatannya dan melarikan diri setelah 23 tahun berkuasa. Setelah tumbangnya Ben Ali, Tunisia kemudian melakukan transisi menuju pemerintahan demokrasi. Pada 11 Februari 2011, Hosni Mubarak, Presiden Mesir yang berkuasa selama 30 tahun terpaksa menyudahi kekuasaannya setelah masyarakat Mesir melakukan demonstrasi besar selama 18 hari berturut-turut.

Muammar Gaddafi yang sudah memerintah Libya selama lebih dari 40 tahun, digulingkan dan dibunuh pada Oktober 2011 setelah pemberontakan yang didukung oleh intervensi militer NATO. Namun, Libya kemudian jatuh ke dalam konflik bersenjata dan ketidakstabilan yang berkepanjangan. Di sisi yang lain, protes damai di Suriah dengan cepat berkembang menjadi perang saudara setelah rezim Bashar al-Assad merespons dengan kekerasan brutal nan represif. Perang ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut.

Rentetan peristiwa yang dikenal dengan Arab Spring ini dimulai dari kawasan paling barat Afrika Utara, yaitu Tunisia. Diawali insiden tragis pada 17 Desember 2010, ketika Mohamed Bouazizi, seorang penjual buah dan sayuran di kota Sidi Bouzid, Tunisia, membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh pihak berwenang setempat. Bouazizi mengalami penghinaan dan penyitaan barang dagangannya oleh polisi, yang dianggap sebagai manifestasi dari ketidakadilan, korupsi, dan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat.

Aksi membakar diri Bouazizi ini terekam kemudian diunggah ke media sosial. Unggahan video tersebut viral dan memantik respon masyarakat luas. Pemerintahan Tunisia yang dipimpin oleh Ben Ali, yang dinilai otoriter dan korup, mulai mendapat perlawanan melalui berbagai macam protes dan aksi yang dilakukan oleh publik secara kolektif. Setelah dua dekade berkuasa, Ben Ali pun tumbang dan melarikan diri.

Setelah Tunisia, pengaruh “perlawanan masyarakat” tersebut menyebar dan menginspirasi negara lain seperti Libya, Suriah, dan Yaman untuk melakukan perlawanan serupa. Tunisia muncul sebagai satu-satunya negara yang berhasil melakukan transisi ke demokrasi, sementara negara-negara lain seperti Libya, Suriah, dan Yaman terperosok dalam konflik berkepanjangan.

Media Sosial sebagai Medium Perlawanan

Siapa yang menyangka bahwa unggahan video aksi Bouazizi ternyata bisa memantik gejolak politik, menggulingkan kekuasaan, memotori revolusi, dan bahkan merubah model pemerintahan? Media sosial, penemuan baru abad dua puluh satu itu menjadi salah satu faktor kuncinya. Selain media konvensional, saat itu, media sosial memainkan peranan krusial dalam mempercepat laju informasi, membentuk kesadaran kolektif, dan melakukan mobilisasi massa untuk melakukan perlawanan terhadap otoritarianisme pemerintahan di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah.

Kemarin, percikan “semangat” serupa terlihat di Indonesia. Grafis bergambar Pancasila dengan latar warna biru tua bertuliskan “Peringatan Darurat” diunggah oleh salah satu akun di platform X. Tak berselang lama, gambar tersebut diperbincangkan oleh publik maya, menyebar ke berbagai platform media sosial lain, dan membentuk diskursus yang merepresentasikan gejolak politik Indonesia hari ini.

“Jadi kapan kita mau turun ke jalan?” Cuitan salah satu akun di platform X tersebut direspon oleh ribuan cuitan lain dengan “semangat” yang sama. Dalam semalam, efek gambar “Peringatan Darurat” mampu memobilisasi massa di berbagai kota di Indonesia. Pada 22 Agustus, ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat memadati depan gedung DPR dan Mahkamah Konstitusi dan DPRD di berbagai daerah, untuk menyuarakan perlawanan setelah DPR dinilai ingin mengakali putusan MK terkait Revisi Undang-undang Pilkada.

Gambar biru “Peringatan Darurat” yang tersebar di media sosial bukan hanya unggahan gambar biasa. Gambar itu menjadi simbol perlawanan dan menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat. Keresahan akan tindak sewenang-wenang para pejabat baik DPR maupun pemerintah untuk melancarkan agenda politik kelompok tertentu, menyulut kemarahan masyarakat sipil.

Aksi massa yang sangat terorganisir itu hanya “direncanakan” satu malam saja. Tidak hanya aksi turun ke jalan, donasi dalam berbagai bentuk mulai dari makanan, obat, bahkan uang puluhan bahkan mungkin ratusan juta terkumpul dan disalurkan untuk kebutuhan peserta aksi massa. DPR pada akhirnya membatalkan pengesahan RUU Pilkada di hari tersebut. Sekali lagi, gerakan perlawanan ini muncul dari sebuah gambar “Peringatan Darurat” berlatar biru tua yang diunggah di media sosial.

Ruang Interaksi Timbal Balik

Sebelum kemunculan media sosial, pembentukan paradigma publik sangat bisa dikuasai dan dikontrol oleh penguasa. Media konvensional seperti televisi, radio, majalah dan semacamnya, hanya membentuk pola komunikasi satu arah tanpa ada timbal balik. Media sosial yang menyediakan ruang untuk komunikasi dua arah di dunia maya, memunculkan bentuk jurnalisme baru: citizen journalism (jurnalisme warga).

Jurnalisme tipe ini tidak mengharuskan pelakunya memiliki latar belakang jurnalis profesional dan mengedepankan kaidah-kaidah jurnalistik. Citizen journalism mengandalkan kecepatan dalam ketersebaran informasi untuk dikonsumsi publik. Di satu sisi, hal ini memang menguntungkan. Akan tetapi, di sisi lain juga menyimpan berbagai macam kekurangan. Citizen journalism memiliki potensi besar untuk mendemokratisasi informasi, namun juga menghadapi tantangan dalam menjaga kualitas, kredibilitas, dan etika jurnalistik.

Sejumlah kebijakan pemerintah juga banyak dipengaruhi oleh viralitas media sosial (viral-based policy). Kebijakan BPIP, misalnya, mengenai paskibraka yang tidak diperbolehkan untuk mengenakan hijab pada pelaksanaan upacara 17 Agustus di IKN kemarin. BPIP beralasan bahwa hal itu demi keseragaman paskibraka. Setelah foto pengukuhan paskibraka tersebar di berbagai media sosial dan menuai protes publik, BPIP selaku pihak yang bertanggung jawab akhirnya meminta maaf dan memperbolehkan paskibraka yang berhijab untuk tetap mengenakan hijabnya pada saat upacara berlangsung.

Kasus BPIP ini menjadi satu dari sekian banyak kasus dan kebijakan pemerintah yang dipengaruhi pada viral-based policy. Media sosial menjelma menjadi salah satu kekuatan yang mungkin wajib diperhitungkan bagi siapapun, termasuk pemerintah.

Hari ini, media sosial menjadi variabel penting di dalam kehidupan manusia modern. Ia seakan menjadi pisau bermata dua; dapat digunakan untuk menindas, juga untuk melawan. Bisa digunakan untuk membodohi, sekaligus untuk mencerdaskan. Namun, bukankah sudah seharusnya kita bisa memilih, mata pisau mana yang hendak kita gunakan?

(AN)