Taruhlah kita memaklumi dan berangkat dari argumen para pemrotes pembakaran bendera, bahwa yang dibakar adalah bendera bertuliskan kalimat Tauhid.
Maka dalam sejarahnya bendera rayah (bendera hitam dengan kalimat tauhid berwarna putih) maupun bendera liwa’ ( putih dengan tulisan hitam Tauhid) itu dikibarkan hanya pada satu peristiwa khusus yakni pada saat peperangan untuk membedakan pasukan ummat Islam dengan musuh.
Memahami fungsi dan posisi bendera tersebut saat era Rosul, maka kita membaca konteks sosial kita saat ini yakni Indonesia masa damai dengan kontrak sosial berdasarkan Pancasila. Pantaskah isyarat perang dimunculkan dalam keadaan damai?
Inilah sebetulnya dalam studi semiotik dan sosiologi memperlihatkan realitas bawah sadar yang kita hadapi saat ini. Kita melihat yang lain yang berbeda dengan kita melalui pengibaran bendera itu tidak dalam kerangka sesama anak bangsa yang hendak mencari solusi bersama namun sebagai musuh dalam medan perang, atau dalam kajian politik disebut politics of apocalyptic.
Apabila kita mengkaji politik Timur Tengah, Fawas Gergez dalam ISIS: A History menjelaskan bahwa kebangkitan ISIS dan runtuhnya tatanan sosial di beberapa negara Timur Tengah seperti di Syria dan Irak terjadi ketika landasan kesepakatan bersama sebagai common ground runtuh dan satu sama lain menempatkan mereka yang berbeda sebagai musuh.
Mengapa “bendera bertuliskan kalimat tauhid” tersebut marak digunakan oleh kaum Islamist mulai dari HTI sampai dengan ISIS, kita bisa menelusurinya melalui genealogi perjalanan sejarah kaum salafi dan Islamis sampai pada intelektual inisiatornya bernama Sayyid Qutb.
Dalam konteks tekanan politik dan represi yang dialaminya dan beberapa rekan2 ikhwan lainnya saat rezime Nasser. Didalam penjara ia menulis karya Ma’alim Fi Thariq dan Tafsir Qur’an Fi Dzilail Qur’an. Argumen utama yang ia bangun adalah bahwa ummat saat ini hidup dalam sistem sosial jahilliyah yang dipimpin oleh thaghut (keadaan takfir) yang membutuhkan pemutusan dengan lingkungan sekelilingnya atau hijrah. Yang didefinisikan dengan konsep takfir wal hijrah.
Keadaan sistem sosial jahilliyah ini yang disebut oleh Qutb sebagai Darul Harb (wilayah perang) untuk membedakan imaji tentang wilayah damai sebagai Darul Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya secara ikonografis oleh kalangan salafis dan Islamis terkini simbol eksistensi mereka di berbagai negara mereka lambangkan dengan penegakan bendera rayah atau bendera perang.
Dengan alur pemahaman seperti ini maka kita dapat mengambil kesimpulan sebagai tindakan apakah pengibaran bendera rayah atau organisasi yang menjadikan bendera tersebut sebagai simbolnya kita tempatkan dalam kesepakatan sosial NKRI dibawah kontrak bersama Pancasila?