Ada sebagian umat Islam di Indonesia mengklaim bahwa orang yang menganut paham nasionalisme, bekerjasama dengan BNPT, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), memperjuangkan UUD 45 dan Pancasila termasuk orang-orang yang menjual agamanya dengan uang. Mereka merasa paling bertauhid sendiri, paling Islam sendiri. Mereka menganggap kelompok di luar mereka itu munafik atau kafir. Setiap kali ada orang lain yang mengkritik pemahaman-pemahaman mereka yang menyimpang itu dianggap musuh. Menurut mereka, semua alasan di atas menjadi penyebab terpecah belahnya umat Islam. Salah satu dalil yang dijadikan landasan umat tersebut itu untuk menganggap orang lain di luar kelompoknya adalah munafik atau kafir adalah hadis riwayat Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah bersabda:
«بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya: Segeralah mengerjakan amal saleh sebelum fitnah (akhir zaman tiba) bagaikan potongan malam yang gelap gulita. (Pada saat itu), seorang beriman di pagi hari dan kufur atau sebaliknya. Orang itu mudah menjual agamanya hanya dengan sepeser harta (HR Muslim).
Menurut Imam an-Nawawi, hadis ini merupakan motivasi dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya untuk terus berlomba-lomba melakukan kebaikan dan amal saleh sebelum godaan dunia melekat pada setiap orang di akhir zaman nanti. Amal saleh yang dapat dilakukan umat Islam itu sangat banyak sekali di antaranya memberdayakan perekonomian umat Islam. Bukankah mereka yang mudah menjual agamanya itu di antaranya karena faktor rendahnya penghasilan ekonomi mereka?
Bila demikian, perkataan ulama salaf “Dunia itu sebagai ladang akhirat” sangat sesuai dengan hadis di atas. Maksudnya harta yang kita cari di dunia ini semata-mata digunakan untuk kemaslahatan umat muslim, seperti membiayai pendidikan orang-orang yang tidak mampu, menyantuni panti jompo, dan lain sebagainya, bukan untuk membiayai aksi kekerasan seperti yang terjadi di Timur Tengah yang justru banyak merugikan umat muslim, bahkan tidak jarang korban aksi kekerasan tersebut itu korbannya umat Islam sendiri.
Bila kita perhatikan di media, pelaku kekerasan itu tidak sedikit dari kalangan orang yang secara ekonomi tidak memadai, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Badrus Sholeh. Menurutnya, ekonomi mempunyai peran penting dalam mengubah pengalaman masa lalu para pelaku kekerasan untuk berintegrasi dalam masyarakat dan perdamaian melalui program ekonomi.
Karena itu, dalam riwayat Imam al-Thabrani sahabat Umar pernah bercerita demikian:
جَاءَ رِجَالٌ أَصْحَابُ الصُّفَّةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَوْا إِلَيْهِ الْحَاجَةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا، وَكَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَسْبِقَ الْقَدَرَ، قُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْر
Artinya: Sekelompok sahabat Nabi dari kalangan Ashabus Shuffah mendatangi Nabi dan mengandukan mengenai kebutuhan ekonomi mereka. Nabi pun akhirnya berpesan kepada mereka, “Kefakiran itu bisa menyebabkan kekufuran dan sifat dengki itu dapat mendahului takdir Allah. Karena itu, berdoalah kalian dengan doa Ini:
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ
Selain itu, kelompok kekerasan ini kerap menggunakan versi hadis lain yang menyatakan bahwa umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, kelompok orang muslim yang beriman dan kelompok orang muslim yang munafik. Namun demikian, menurut ahli Hadis Syekh Syu’aib al-Arnauth, hadis yang dikutip mereka itu kualitasnya maudhu’, dan tidak bisa dijadikan dalil agama. Berikut potongan hadis yang dimaksud:
يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ، فُسْطَاطُ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ، وَفُسْطَاطُ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ
Dengan hadis maudhu’ ini, kelompok kekerasan di Indonesia tersebut menganggap umat muslim yang sempat tergabung dalam aksi Bela Islam 212 itu dianggap kelompok orang munafik yang tidak mempunyai keimanan. Artinya, kelompok Bela Islam 212 ini sedikit lagi terjerumus dalam kekufuran. Bukankah ini bagian dari takfir mu’ayyan (mengkafirkan suatu kelompok secara spesifiik)?
Padahal sikap mereka yang mudah menganggap orang lain munafik atau bahkan kafir ini sangat dikecam oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengecam Usamah bin Zaid yang tega melukai bahkan sampai membunuh orang kafir dari suku Juhainah yang baru saja mengucapkan syahadat.
بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أناس من جهينة، فأتيت إلى رجل منهم فذهبت أطعنه فقال: لا إله إلا الله، فطعنته فقتلته، فجئت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبرته، فقال: أقتلته وقد شهد أن لا إله إلا الله؟ قلت: يا رسول الله إنما فعل ذلك تعوذا، قال: فهلا شققت عن قلبه؟
Artinya: Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami pergi ke suku Juhainah. Saat itu aku mendekati salah seorang dari mereka dan aku ingin melukainya. Lalu seketika itu dia mengucapkan syahadat. Namun aku tidak mempedulikannya dan membunuhnya. Aku melapor kepada Nabi atas perbuatanku tersebut. Nabi sempat marah, “Dia sudah bersyahadat tetap Anda bunuh?” “Syahadatnya itu hanya untuk menyelamatkan diri saja, Rasul,” sanggah Usamah. “Apakah Anda dapat membedah hati seseorang (sehingga mengetahui apa isi hati orang itu yang sebenarnya)? (HR Bukhari dan Musllim).
Menurut imam an-Nawawi, hal ini menunjukkan bahwa permasalahan hati bukanlah urusan manusia, termasuk masalah mengkafirkan orang lain. Suku Juhainah yang sudah mengucapkan syahadat secara lisan secara otomatis menjadi seorang muslim secara zahir. Karena itu, Rasulullah mengecam keras perbuatan yang dilakukan Usamah bin Zaid. Imam Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam al-Qurthubi bahwa Usamah bin Zaid tidak diberikan sangsi diyat ataupun kifarat karena salah membunuh orang.
Hal ini dikarenakan pada waktu itu belum turun ayat Alquran mengenai diyat ataupun kifarat. Karena itu, perpecahan umat Islam di akhir zaman itu justru lebih disebabkan oleh munculnya kelompok-kelompok radikal yang mudah mengkafirkan umat muslim yang tidak sepemahaman dengan kelompoknya, bahkan mudah menghalalkan darah umat Islam yang tidak sekelompok dengan mereka. Tentu perbuatan mereka yang seperti ini bertentangan dengan agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.