Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung pesan (risalah) untuk manusia. Namun pensakralan (baca: proses chosifikasi/tasyyi’) oleh umat Islam terhadap kitab petunjuk tersebut telah mengabaikan risalah yang dikandungnya. Di saat Islam mengalami kemandekan, Al-Qur’an sudah tidak lagi sebagai pedoman atau petunjuk hidup, tetapi sekadar “sesuatu” yang –meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd– menjadi perhiasan wanita, pengobatan bagi anak-anak dan hiasan yang digantungkan di tembok serta dipampang di samping benda-beda emas dan perak.
Al-Qur’an juga tidak didekati dengan kesadaran ilmiah namun terbatas pada seni musik dan seni lukis. Dalam kaitannya dengan seni musik, umpamanya, al-Qur’an adalah serangkaian kata dan nada indah yang mendengarkannya saja sudah mendapat pahala dari Allah Swt. dan sambil mengikuti bacaan yang didengarkan akan mendapat dua kali pahala, yakni sebab mendengar dan membacanya. Praktis, pesan (risalah) yang dikandungnya pun sama sekali tersingkirkan.
Kesadaran untuk membaca dengan iming-iming pahala memiliki implikasi yang cukup penting, yaitu munculnya umat yang cenderung kompetitif membaca al-Qur’an, di mana yang terbanyak membaca akan memperoleh pahala sesuai banyaknya bacaannya. Dalil yang dipakainya pun, di samping hadis Nabi bahwa “satu huruf al-Qur’an dibalas sepuluh pahala” juga hadis lain bahwa “qul huwallahu ahad (al-Ikhlas) adalah sepertiga Al-Qur’an.
Secara literer hadis tersebut mengungkapkan sisi kuantitas pahala dalam setiap haruf al-Qur’an, seperti pada hadis pertama. Yang kedua menunjukkan bahwa membaca satu kali surah al-Ikhlash sama pahalanya dengan membaca sepertiga al-Qur’an. Ini adalah pemahaman masyarakat mainstream yang jelas-jelas hanya memprioritaskan kuantitas bacaan, bukan kualitas pesan kandungannya.
Secara kualitas, hadis tersebut merupakan hadis sahih yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dalam bab Keutamaan al-Qur’an. Redaksi lengkapnya:
“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim dan al-Dhahhak al-Masyriqi dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya: “Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu bila ia membaca sepertiga dari Al-Qur’an pada setiap malamnya?” dan ternyata para sahabat merasa kesulitan seraya berkata, “Siapakah di antara kami yang mampu melakukan hal itu wahai Rasulullah?” maka beliau pun bersabda: “Allahul Wahid ash-Shamad (maksudnya surat al-Ikhlash) nilainya adalah sepertiga al-Qur’an.”
Jika al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur’an, maka membaca surat al-ikhlas sebanyak tiga kali setara dengan mengkhatamkan al-Qur’an. Kita telah melihat bagaimana orang-orang membaca surah ini sebanyak mungkin dengan harapan mendapat pahala khataman Al-Qur’an sebanyak-banyaknya. Tetapi benarkah demikian?
Seorang sufi masyhur Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya, Jawahir al-Qur’an, secara tegas menolak pemahaman tersebut. Menurutnya, Nabi Muhammad tidak mungkin mengatakan bahwa memperbanyak bacaan al-Ikhlash setara dengan mengkhatamkan Al-Qur’an. Al-Ghazali memahami maksud sabda Rasulullah di atas sebagai penegasan bahwa kuantitas ayat tidak menentukan kualitasnya. Dengan kata lain bahwa sebagian teks (ayat) meskipun sedikit terkadang memiliki keutamaan dari yang lainnya. Ia mengatakan:
“Saya melihat engkau tidak memahami aspek ini (nilai al-Ikhlash sepertiga). Mungkin engkau mengatakan: hal ini disebutkan hanya untuk memberikan dorongan agar gemar membaca, maksudnya bukan ukuran nilai. Kedudukan kenabian sangat tidak mungkin melakukan hal itu. Mungkin engkau (juga) akan mengatakan: hal ini sulit untuk dipahami dan di-ta’wil, sementara ayat Al-Qur’an lebih dari 6000 ayat, bagaimana mungkin jumlah yang sedikit ini sebanding dengan sepertiganya? Hal ini muncul karena pengetahuan yang sedikit tentang hakikat Al-Qur’an, dan pandangan secara zahir terhadap kata-kata Al-Qur’an sehingga engkau beranggapan bahwa ayat-ayat itu banyak diukur dengan panjangnya kata, dan pendek diukur dengan pendeknya kata. Hal ini bagaikan anggapan orang memilih uang dirham yang banyak daripada satu permata, hanya karena melihat banyaknya (dirham).”
Persepsi masyarakat bahwa “sepertiga” adalah indikasi kegemaran memperbanyak membaca al-Ikhlas bagi al-Ghazali jelas merupakan kekeliruan yang muncul akibat sedikitnya pengetahuan tentang hakikat Kitab Suci.
Al-Qur’an sekadar dilihat dari segi banyak-sedikit, bukan dari hirarki maknanya. Selain itu dalam pernyataan di atas, al-Ghazali juga mengkritik jika ada yang meragukan hirarki teks hanya karena melihat sedikitnya ayat, hal itu seperti mengabaikan permata karena sedikit dan memilih dirham karena banyak, padahal dari segi nilai jelas yang pertama lebih unggul.
Dengan demikian al-Ikhlas semestinya tidak dipahami sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an namun dengan sepertiga “kandungan” Al-Qur’an. Al-Ghazali melanjutkan:
“Perhatikanlah kembali ketiga klasifikasi yang telah kami sebutkan mengenai hal-hal pokok al-Qur’an, yaitu ma’rifatullah, pengetahuan akhirat dan pengetahuan mengenai shirat mustaqim. Ketiga klasifikasi ini merupakan hal pokok, sementara yang lainnya berada di belakangnya (tawabi’). Surah al-Ikhlas memuat satu dari ketiganya, yaitu ma’rifatullah, baik tentang ketauhidan-Nya dan kesucian-Nya dari yang menyekutui-Nya, baik jenis (genus) maupun spesiesnya. Memang benar dalam surah ini tidak ada ungkapan mengenai akhirat dan shirat mustaqim. Telah kami sebutkan bahwa dasar-dasar yang penting dari al-Qur’an adalah ma’rifatullah, pengetahuan akhirat dan pengetahuan shirat mustaqim. Oleh karena itu, surah ini sebanding dengan sepertiga dasar-dasar (kandungan) al-Qur’an sebagaimana yang disabdakan Rasulullah.”
Jika demikian, bahwa maksud sepertiga dalam hadis Nabi adalah sepertiga kandungannya bukan sepertiga bacaannya, maka dapat dipahami bahwa membaca tiga kali surah al-Ikhlas tidak bisa dianggap setara dengan mengkhatamkan Al-Qur’an.
Al-Qur’an, sebagaimana dalam pandangan al-Ghazali memiliki tiga pokok kandungan, yaitu ma’rifatullah (seperti dalam kandungan surah al-Ikhlas), pengetahuan akhirat dan pengetahuan shiratal mustaqim.
Membaca satu, dua atau tiga kali surah al-Ikhlash tetap saja hanya membaca sepertiga kandungan Al-Qur’an, yaitu ma’rifatullah, karena surah al-Ikhlas tidak memiliki dua kandungan pokok yang lain, yakni pengetahuan akhirat dan pengetahuan mengenai shirat mustaqim.
Pemahaman ini secara otomatis meruntuhkan persepsi yang sudah menyebar di masyarakat bahwa pengkhataman al-Qur’an dapat diringkas hanya dengan membaca tiga kali surah al-Ikhlas saja.
Oleh: Ahmad Khoiri, Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT) di STAIN Pamekasan, Madura dan Pegiat di UKK Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Activita.