Aman dalam buku berjudul Seri Materi Tauhid for the Greatest Happiness: Tauhid dan Jihad, (2006 M) menyebut dua jenis anshar thaghut, pembela hukum setan, pembela kekafiran, pembela kemusyrikan, kelompok yang mematikan tauhid, dan sejumlah kalimat menawan lainnya. Ia dengan provokatif menyeru, “janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin.” (Aman, 2006 M: 170).
Tanpa penjelasan yang koherens, Aman menyimpulkan bahwa orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu. (Aman, 2006 M: 168).
Anshar thaghut kedua adalah “Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendekiawan dan juga para ulama atau du’at su’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau Khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at su’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat. Sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun).” (Aman, 2006 M: 168).
Dari mana simpulan ngawur itu didapat? Ia menarik simpulan itu dari pembacaan sekilas Surat An-Nisa’ ayat 76, Surat Al-Baqarah ayat 97-98, hadis riwayat Ahmad, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasa’i, dan fatwa Syekh Sulaiman Ibnu Abdillah Alu Asy-Syaikh. Padahal semua dalil yang diajukan tidak ada kaitannya sama sekali dengan simpulan Aman.
Adapun Surat An-Nisa’ ayat 76 berbicara perihal pasukan umat Islam Madinah yang dipimpin nabi Muhammad SAW dan pasukan orang kafir Makkah. Surat An-Nisa’ ayat 76 berbunyi sebagai berikut:
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Artinya:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu.” (Surat al-Nisa’ ayat 76).
Surat Al-Baqarah ayat 97-98 berbicara tentang kedudukan Jibril dan Mikail di mata sekolompok Yahudi di Madinah. Surat Al-Baqarah ayat 97-98 berbunyi sebagai berikut:
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ () مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
Artinya:
“Katakanlah, ‘barang siapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.’” (Surat Al-Baqarah ayat 97-98).
Menurut Aman, Surat Al-Baqarah ayat 97-98 adalah “Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir.” (Aman, 2006 M: 169). Sampai sini, kita memang tidak menemukan masalah. Tetapi memasukkan tentara, polisi, intilejen, ulama, sipir penjara bahkan wartawan di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila, Aman tidak memiliki nash syar’i atau dalil berupa Al-Qur’an maupun hadits. Lalu dari mana ia dapat bisikan konyol sehingga timbul tafsir provokatif itu? Aman sendiri mengaku bahwa bisikan itu diperoleh dari fatwa seorang ulama yang entah apa kepentingannya dalam dunia ini, bukan dari al-Qur’an maupun hadis.
“Bagaimana tentara, polisi, juga intelijen serta anshar qanun (pembela undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah?” (Aman, 2006 M: 170).
“Syekh Sulaiman Ibnu Abdillah Alu Asy-Syaikh rahimahullah berkata, ‘Sekadar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.’” (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al-Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair). (Aman, 2006 M: 170).
Syekh Sulaiman Ibnu Abdillah Alu Asy-Syaikh yang kemudian diikuti oleh Aman cukup ngawur ketika mengaitkan tentara, polisi, juga intelijen, sipir, ulama, dan juga wartawan yang tidak mengerti apa-apa dengan “anshar thaghut” yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
Tidak ada koherensi antara keduanya. “anshar thaghut” jelas orang kafir Makkah yang berhadapan dengan muslimin Madinah dalam konteks ayat tersebut. Sedangkan tentara, polisi, juga intelijen, sipir, ulama, dan juga wartawan adalah sejenis profesi terpuji dalam rangka menjaga wilayah kekuasaan yang juga dihuni oleh umat Islam demi menjalankan kehidupan beragamanya dengan bebas. Konteks keduanya tidak ketemu alias nggak nyambung.
Syekh Sulaiman Ibnu Abdillah Alu Asy-Syaikh yang kemudian diikuti oleh Aman cukup keliru ketika menafikan keimanan tentara, polisi, juga intelijen, sipir, ulama, dan juga wartawan yang beraktivitas di NKRI. Toh mereka tidak keluar dari enam rukun iman yang diajarkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai masyhur dalam hadis shahih.
Al-Ghazali dalam penelaahannya atas berbagai sekte Islam mengatakan, di tengah umat Islam memang ada orang sejenis Syekh Sulaiman Ibnu Abdillah Alu Asy-Syaikh dan Aman yang ingin mempersempit rahmat Allah yang begitu luas, di mana Allah menerima keimanan orang awam sesuai rukun iman yang disampaikan Jibril AS kepada Rasulullah SAW.